DAGING KEONG UNTUK TIGA ANAKKU
ANAKKU KELAPARAN DAN KEDINGINAN SAAT KAMI TINGGAL DI KANDANG KAMBING (10)
Belum sempat Mira meraih botol pupuk, di saat bersamaan Arka terbangun karena kaget dengan pergerakan ibunya.
“Ibu mau ke mana?” tanya Arka sambil menggosok mata. Kepalanya masih pusing karena baru sebentar tidur nyenyak malah dibuat terkejut.
Mira terdiam sejenak, pikirannya mendadak semakin kacau dan bingung, tak tahu harus berbuat apa.
“Ibu mau membetulkan selendang yang miring biar angin tidak terlalu banyak masuk ke kamar kita ini.”
Arka terdiam sejenak.
“Bu, tadi Arka mimpi jadi dokter,” ucap si sulung tiba-tiba.
Mira kembali ke posisi semula, mengurungkan niat untuk mengambil botol pupuk karena tidak mungkin baginya melakukan hal seperti itu di saat anaknya terjaga.
“Ah, iya. Bagus sekali.” Mira tersenyum gugup.
“Padahal Arka ingin jadi tentara biar bisa menjaga ibu tapi malah mimpi jadi dokter.” Arka menghela napas. “Tapi tidak apa-apa, mau jadi apa saja yang pasti Arka ingin membahagiakan ibu, Arka mau buat rumah yang besar untuk ibu,” sambungnya sambil merentangkan tangan, memperagakan betapa besarnya rumah yang ia inginkan.
Mira tersenyum seraya menahan pilu, entah kenapa ucapan Arka membuatnya lagi-lagi diselimuti sesal. Ia merasa menjadi ibu yang buruk, egois, memikirkan kesulitan diri sendiri, bahkan sampai berniat mengakhiri kehidupan sang anak yang memiliki sebuah cita-cita mulia.
Air mata itu lagi-lagi mengalir deras. Mira merasa malu, di tengah keputusasaannya ternyata Arka malah sedang menyimpan cita-cita yang begitu tinggi dan mulia.
“Ibu kenapa nangis?” Arka sekilas melihat air mata sang ibu di tengah remang-remang cahaya obor buatan Mira.
Pertanyaan Arka semakin menambah pilu. Mira pun segera memeluk tubuh mungil nan kurus itu.
“Maafin Ibu yang belum bisa bahagiain Arka dan adik-adikku.”
Mira lagi-lagi melepas semua beban di pundak pada tubuh mungil itu. Sebuah pelukan terasa begitu nyaman ditengah badai yang menghantam. Kehangatan itu seakan menyulut kembali keinginan Mira untuk bertahan hidup.
Si sulung segera menyeka air mata ibunya, dipegang pula pipi Mira dengan kedua tangan mungil, lalu Arka menatap dengan lekat.
“Ibu jangan nangis terus! Kata Ayah, Arka itu anak pertama dan nantinya yang bakal jaga ibu. Nanti ayah malah sedih kalau tahu Arka malah nggak bisa jaga dan bikin ibu nangis terus,” oceh Arka yang kala itu begitu terlihat dewasa.
Tangis Mira semakin kencang saking tak kuasa menahan pilu. Suaranya yang cukup keras pun lantas membangunkan Hana dan Kiano yang sudah terlelap. Kedua anak kecil yang tidak ingin melihat Ibunya bersedih itu pun lantas segera memeluk dengan erat.
“Ibu jangan nangis lagi.”
“Mbu, anan ais,” tutur Kiano, membeo ucapan Hana.
Mira masih belum puas meluapkan semua lukanya, suara tangisnya cukup keras dan menyayat hati. Si buah hati yang tak mengerti dengan keadaan sang ibu hanya bisa menenangkan dengan sebuah pelukan. Tangan-tangan mungil itu begitu erat mencengkram tubuh dari perempuan yang bagi mereka adalah seorang malaikat.
“Ibu, maafin Hana tadi nggak mau dengerin kata Ibu. Hana janji mau jadi anak yang baik,” ungkap Hana dan suara bergetar, tampaknya bocah itu sudah mulai bersedih melihat ibunya menangis.
“Arka juga janji mau ngalah sama Hana, Bu.” Si sulung merasa sedikit bersalah dan berpikir jika salah satu faktor ibunya menangis adalah dirinya dan sang adik.
Untuk beberapa saat Mira terus berlarut dalam tangisnya. Luka dan pilu yang sebelumnya dipendam seolah meluap melalui setiap bulir-bulir air. Ya, meski seorang ibu harus terlihat kuat di depan anaknya, tetap saja Mira adalah manusia biasa yang begitu lemah. Kehilangan suami dan diusir dari desa karena fitnah di saat bersamaan mungkin akan membuat beberapa orang menjadi gila jika mengalami hal serupa.
Tiga tangan kecil itu serentak menepuk pundak Mira.
“Ibu jangan bersedih lagi. Kita bertiga pasti bahagiain Ibu,” ungkap si sulung.
Malam itu di tengah gelap malam dan dingin yang menusuk, ketiga bocah kecil yang belum mengerti apa-apa dituntut keadaan untuk menjadi dewasa sebelum waktunya. Mereka berusaha menenangkan dan menghibur satu-satunya tempat berlindung. Hingga tanpa sadar ketiga terlelap sambil berpelukan.
****
Pagi itu terik matahari terasa begitu menyengat karena sinarnya begitu bebas masuk menembus selendang tipis yang bagi Mira dan anak-anaknya adalah sebuah dinding.
Mira terbangun, matanya bengkak akibat terlalu lama menangis. Kali ini sebuah senyum terukir di wajah wanita cantik itu.
“Ya, aku tidak boleh kalah dari tiga bocah menggemaskan ini.”
Semangat Mira kembali. Ia malu pada diri sendiri yang begitu lemah di saat anak-anaknya saja begitu kuat dan tegar.
“Hari ini makan apa, ya?” Mira merenung sejenak yang ada di depannya kini hanyalah hamparan sawah dan sungai kecil. “Ide bagus, sepertinya anak-anak akan suka.”
Mira pun bergegas menanak nasi terlebih dahulu, lalu setelah matang beberapa saat kemudian ia bungkus dengan daun pisang.
“Selamat pagi anaknya ibu.” Mira menciumi ketiga anaknya yang baru saja bangun.
Hana dan Arka saling melirik, merasa heran dengan tingkah sang ibu yang jauh berbeda dengan tadi malam.
“Kenapa malah melamun?” Mira tampak keheranan.
“Nggak, cuma aneh aja. Kok ibu senyum-senyum terus begitu,” sahut Hana sambil mengucek matanya.
“Ibu ada kejutan.” Mira terlihat begitu antusias, membuat Arka dan Hana semakin bingung dibuatnya.
Mata Arka dan Hana membola, lalu mereka saling pandang dan tersenyum.
“Kejutan apa itu, Bu?” Hana tak kalah antusias.
“Sekarang, kalian siap-siap dulu. Kita akan pergi ke tempat yang menyenangkan.” Mira tersenyum lebar.
“Siap, Bu.” Hana dan Arka menaruh tangannya di kening, memberi hormat.
Mira tertawa kecil melihat tingkah buah hatinya. Kini rasanya tidak ada lagi alasan lagi baginya untuk menghancurkan senyum tiga anak kecil tak berdosa tersebut.
Mereka sudah siap, membawa bekal nasi dan beberapa kayu bakar kering. Hingga saat di tepi sungai, Mira menghentikan langkahnya.
“Kenapa berhenti, Bu?” Arka keheranan.
“Karena kejutan yang ibu maksud ada di sini.”
Arka dan Hana masih terlihat kebingungan.
“Ibu menemukan tali pancing dan kail. Tinggal kita ikat pada bambu kecil ini ….” Mira membuat simpul pada bambu. “Dan, jadilah alat pancing ala Ibu.”
“Wow, Arka mau mancing.”
“Hana juga mau, Bu.” Hana melirik Arka, sinis.
Mira menggelengkan kepala, lalu berkata, “gantian, ya. Hana dan Kiano biar mandi dulu saja.”
“Yee, mandi di sungai!” Hana melompat kegirangan.
Arka hanya tersenyum melihat Hana kegirangan.
‘Huh, rasakan air dingin di pagi hari,’ batin Arka dengan lirikan tajam.
Hana dan Kiano malah asyik bermain air di bagian sungai yang dangkal. Mira menyiapkan kayu bakar seraya mengawasi tidak jauh dari tempat kedua anaknya berada sedangkan Arka tampak semakin fokus memancing sejak mendapat dua ikan berukuran besar.
Di tengah kesibukan Mira dan anak-anaknya, tiba-tiba muncul seseorang dari arah kebun.
“Apa yang sedang kalian lakukan di sini?” Orang tersebut menatap Mira dengan sorot mata tajam.
Baca kisah selengkapnya di KBM app.
Judul : DAGING KEONG UNTUK TIGA ANAKKU
Penulis : L.A. Zahra
Atau bisa klik link di bawah ini :
https://read.kbm.id/book/detail/29f00bf7-1a1c-49c4-8b7f-c4771bc726b2?af=5ed1419e-32ea-4989-8558-70db07857392