Dibalik Diamnya Istri Ternyata ....
SUAMIKU MENOLAK KUAJAK MELEWATI MALAM PAN4S, TERNYATA KARENA DIA ... #1
"Mas! Mas Ardi! Siapa wanita itu, Mas? ... Mas! Mas Ardi jangan pergi! Mas Ardi jangan ... kumohon ...." Dia melihat sang suami melangkah tanpa ragu meninggalkanya. Suaminya menggendong bayi dan didampingi seorang wanita cantik. Tangisnya langsung pecah, dia luruh begitu saja di lantai. Wanita itu membekap mulutnya dengan gelengan tak percaya.
Sakit ... bagai ada bilah pis4u taj4m meny4yat hati. Begitu miris, rasa cinta tulusnya ternyata terc4bik-cabik. Nyeri, ternyata kesetiaannya terkhianati. Padahal selama ini suaminya bersikap lembut dan mesra. Semakin nyeri saat suami bahkan tak menoleh lagi padanya.
Keringat telah membasahi keningnya. Nafasnya tersengal berat dengan menggerakkan kepalanya tak karuan.
"Mas!" Wanita itu terbangun duduk dengan nafas berat. Dia bergetar merangkup wajahnya. Katanya, firasat istri sangat kuat pada apa yang sedang dilakukan suaminya. Terutama soal berpalingnya hati.
Wanita itu lantas menyambar ponselnya di nakas. Masih dengan tangan bergetar.
[Mas, kapan pulang?] Pesan itu terkirim dua hari yang lalu dan belum juga dibaca oleh suaminya. Wanita itu meringkuk sambil memegang ponsel menunggu pesan balasan.
Sepi .... Sendiri .... Gemuruh guntur membuat dada wanita itu semakin teriris. Kilatan petir telah menyentak jiwanya membangkitkan kesenduan, dan membuat mata sembab itu terbelalak ketakutan. Hujan di malam pekat seolah ingin isakannya cepat terhenti. Apa ia tahu yang sedang dirasakan wanita itu? Suaminya tak pulang selama tiga bulan dan sulit dihubungi. Katanya ada masalah penting dan darurat soal pekerjaan di luar kota. Apa harus sampai tidak memberi kabar, atau sesibuk itukah sampai tak ada waktu membaca pesan?
Decitan mobil yang berhenti di depan rumah dua lantai itu terdengar jelas.
"Apa itu Mas Ardi? Suamiku pulang?" Alya Fathiya-wanita yang setiap malam menangis menunggu suaminya itu menyeka air mata sembari berlari keluar dengan rasa harap jika itu benar suaminya.
"Mas, Mas Ardi! Apa benar Mas pulang?" Hentakan kaki Alya sangat jelas menuruni anak tangga.
Derit pintu yang dibuka dari luar membuat Alya tersenyum. Ya, suaminya pulang dan seperti itu kebiasaannya jika pulang tengah malam. Sengaja Alya menaruh kunci cadangan di tempat biasa agar suatu saat suaminya pulang bisa langsung masuk.
Alya menyalakan lampu agar jelas siapa yang datang.
"Mas ....." Seketika mata binar itu redup, senyumnya meringsut kala melihat apa yang dibawa suaminya pulang.
"Alya, aku bawa anak temanku. Kamu rawat dengan baik. Temanku itu sedang dalam masalah besar. Istrinya pendarahan saat melahirkan dan dia nggak punya keluarga lagi. Nggak ada yang jaga anak ini, makanya aku bawa kemari agar bisa kamu rawat. Itung-itung kamu nggak kesepian lagi." Ardi begitu lancar mengucap rangkaian kata itu seolah telah dihafalnya sejak tadi.
"Oooooeee .... Oooooeee ...." Tangis bayi itu serak lirih memilukan seperti sudah menangis lama sekali.
Alya masih terpaku menatap penampilan suaminya. Lusuh, seperti tidak berganti pakaian beberapa hari. Wajahnya pucat berantakan. Matanya kuyu dengan lingkaran hitam yang sangat jelas. "Anak teman kamu? Teman yang mana, Mas? Setahuku istri temanmu nggak ada yang lagi hamil." Dia tahu teman kantor atau teman sekolah yang masih sedat dengan suaminya.
Ardi tampak celingukan, dia membolakan matanya dengan senyum kaku. "Ehm, kamu gendong dulu, nanti akan aku ceritakan. Sekarang aku lapar, kamu buatin makanan apa saja. Aku mau mandi dulu, bau keringat." Dia menyerahkan bayi merah itu pada istrinya, lalu cepat ke lantai atas.
"Mas ini susunya di mana?" teriak Alya dengan des4han berat. Tadi dia ingin menghambur memeluk dan menumpahkan rasa rindu yang membuncah ruah, tapi ... dia bahkan tak melihat raut wajah kerinduan dari suaminya.
"Di mobil, kamu ambil saja!" teriak Ardi.
Alya menatap wajah bayi itu dan sontak matanya melebar. Dimungkinkan bayi itu memang baru beberapa hari yang lalu lahir. Namun, bukan itu yang membuat dada Alya bergetar hebat, tapi ... wajah bayi itu sekilas punya kemiripan dengan wajah suaminya.
"Astagfirullah hal adzim ... aku nggak boleh suudzon. Wajah bisa saja sedikit sama. Apalagi wajah bayi, wajahnya masih berubah-ubah." Alya membuat elakan pikirannya sendiri.
Akan tetapi, semua pikiran itu belum mau pergi. Jantung Alya masih berdetak kencang karena praduganya.
"Ah, bukan saudara kandung saja banyak yang mirip kok. Bukankah ada 7 atau berapa yang mirip wajahnya di dunia ini?" Alya menghempas kuat pikiran buruknya.
Alya gegas keluar menuju mobil. Dia membuka pintu belakang, ada tas bayi dan beberapa paper bag.
Sayang sekali dia tidak punya pengurus rumah yang menetap. Pembantu dan tukang kebunnya masih tetangga dan akan pulang sore hari, jadi dia harus membawa semua itu sendiri.
"Mas! Mas! Mas Ardi gimana sih, masa aku harus membawa sambil gendong bayi?" teriak Alya, dia kerepotan.
Alya mendapat satu gendongan bayi baru di salah satu paper bag. "Siapa yang belanja semua ini? Teman Mas Ardi?" Tak mau berpikir macam-macam, Alya gegas membuka dan menggunakan gendongan itu.
Satu persatu barang-barang itu diturunkan menggunakan satu tangannya. Tak mau menunggu suami datang, Alya membawa barang-barang itu ke dalam sendirian meski harus bolak-balik beberapa kali.
"Oooooeee .... Oooooeee ....." Bayi itu sudah menangis serak dari tadi.
"Ssshh sshh sshh sshh ... sabar ya. Sebentar lagi akan tante buatkan susu untukmu."
Alya mengambil hal terpenting dulu, susu dan botolnya. Untung saja dia tidak gagap soal mengurus bayi, jadi dia bisa cepat membuat susu. Dulu wanita itu sering membantu mengurus bayi saudaranya.
'Andai saja Mas Ardi nggak pakai pengaman setiap berhubungan, anak kami pasti juga baru lahir,' batin Alya sambil mengaduk susu. Hati seorang istri itu pilu dan kecewa, tapi bisa apa?
Mereka menikah sekitar satu tahun, dan selama itu Ardi selalu bilang kalau belum siap mempunyai anak. Dia ingin fokus mengejar posisi karir dulu dan punya rumah yang lebih besar. Padahal, Alya tidak menuntut semua itu. Posisi suaminya sebagai manajer sudah sangat Alya syukuri. Rumah dua lantai itu juga sudah sangat nyaman baginya. Namun, karena tak mau banyak berdebat, Alya memilih mengalah.
"Oooooeee .... Ooemmm ...." tangisan bayi terbungkam oleh ujung botol susu. Bayi itu menyesap begitu kuat, sepertinya dia sangat kelaparan.
Selang beberapa saat, bayi itu tertidur, mungkin karena sangat lelah menangis. Alya sengaja meletakkan di kamar sebelah kamar utama.
Sekali lagi Alya menatap intens wajah bayi itu.
Memang sangat jelas beberapa potongan wajah suaminya ada pada bayi itu. Dadanya kembali sesak dengan banyak pikiran buruk dan kecurigaan. "Nggak! Nggak mungkin!" Dia menggeleng.
Merasa bayi itu telah pulas, Alya gegas ke dapur dan membuat nasi goreng karena itu yang paling cepat. Meski rasa hatinya tak karuan, walau ada rasa mengganjal, tetap saja dia melakukan tugas sebagai istri dan ... mengurus bayi yang belum dia ketahui asal muasalnya.
Nasi goreng tersaji, dia cepat naik ke lantai dua kamar bayi. Ternyata bayi itu masih pulas. Lantas Alya masuk ke kamar utama.
"Mas." Dia mendapati Ardi telah tidur. Suaminya itu bahkan sampai mendengur.
'Nggak biasanya mas Ardi mendengur. Seperti beberapa hari nggak tidur saja,' batin Alya.
Alya duduk di sisi ranj4ng dan ragu ingin membangunkan suaminya untuk makan.
"Sudahlah, dia pasti sangat lelah."
Alya memilih masuk ke kamar mandi. Seperti biasa, dia akan membersihkan setelah suaminya memakainya karena Ardi terbiasa melempar pakaian kotor sembarangan.
Alya memungut celana panjang hitam suaminya. Lantas entah kenapa hatinya tergerak untuk merog0h kantong celana itu. Ada sesuatu di dalamnya dan segera dia ambil.
Matanya membulat dengan detakan jantung cepat. Dadanya bergetar menatap apa yang dia dapat. "Astagfirullah hal adzim ... Ya Allah, apa ini?"
Bisa dibaca selengkapnya di KBM
Judul : Dibalik Diamnya Istri Ternyata ....
BY Angsa Kecil
https://read.kbm.id/book/detail/bbc08e81-bf2f-4346-aa87-3aca81d7447b?af=54220ca5-a4f7-447a-a1d8-b293237f4387