Maaf, Ayahmu Miskin
“Kamu malu, Nak, karena Bapak kasih ini?”
Pak Mulyadi menyembunyikan beberapa tangkai bunga kertas yang tadi diambilnya di kebun tempat ia bekerja. Lantas menundukkan wajah menyembunyikan netranya yang berkaca-kaca.
Tadi, sebelum berangkat untuk menghadiri acara wisuda anaknya dengan sepeda tua yang dimiliki, Pak Mulyadi melihat majikannya membawa buket bunga besar untuk putrinya yang juga berwisuda hari ini. Dan karena ia tak punya uang untuk membeli buket bunga seperti majikan untuk diberikan pada putrinya, ia pun mengambil beberapa tangkai bunga kertas yang tadi ia potong dari pohonnya untuk dirapikan.
“Pak, lihat Iris!”
Mendengar ucapan putrinya, bukan mendongak, Pak Mulyadi semakin merunduk. Ia merasa pasti putrinya itu sangat malu dengan kedatangannya, apalagi dengan membawa bunga kertas, tak seperti orang tua lainnya yang membawa buket bunga mahal, besar, bahkan ada yang lebih mewah dari buket-buket bunga itu.
“Pak—”
“Maaf, Nak, kamu pasti sedih bahkan malu karena Bapak datang hanya membawa ini. Tidak seperti yang lainnya. Bukan tak ingin, hanya saja …, kemarin yang diberikan pada Iris, itu ua ng terakhir Bapak.”
“Lalu Bapak ke sini naik apa?” Saat menoleh ke parkiran, Iris langsung mendapatkan jawabannya sendiri, begitu melihat sepeda tua milik bapaknya terparkir jauh di pojokan, sengaja tidak ditaruh di dekat-dekat kendaraan mahal lainnya karena takut mengganggu bahkan merusak.
“Ya ampun, Pak, jadi Bapak ke sini naik sepeda, padahal jaraknya sangat jauh, bahkan tadi sempat hujan juga.”
Kali ini mata Iris yang berkaca-kaca, sedangkan bapaknya hanya tersenyum sambil mengelap-elap baju lusuhnya yang sedikit basah dengan tangannya yang keriput.
“Setelah perjuangan Bapak semua ini, lantas Iris mau sedih bahkan malu. Tidak, malah Iris bangga dan terharu.” Wanita dengan toga hitam menghiasi tubuh mungilnya, dan medali cumlaude menggantung di dadanya tersebut maju dan mengambil bunga kertas yang disembunyikan di belakang bapaknya, lalu menciumnya dengan setetes air mata.
Barulah, setelah melihat itu Pak Mulyadi berani menatap. “Jadi kamu gak malu dengan bunga pemberian Bapak, dan—”
“Iris, jadi dia ayahmu?”
Iris langsung menoleh pada Reyhan—Dosen Pembimbing Skripsinya. Pria itu berencana akan melamarnya malam ini. Namun, setelah tahu kenyataannya ….
“Iya, Pak Rey, beliau ayah saya.” Dengan bangga Iris menjawab, namun membuat ekspresi Reyhan langsung berubah, seperti terkejut.
“Lho, bukannya kamu putri dari Pak Yono, aku sering lihat kamu pulang ke rumah besarnya,” kata Reyhan dengan raut tak percaya.
“Ya Iyalah, Iris sering pergi ke rumah besar ayahku, sebab bapak dia tuh tukang kebun di rumahku.” Seorang wanita bernama Ros menyahuti, wanita itu tersenyum sin is sambil melipat tangannya di da da.
“Apa! T–tukang kebun?” Raut Reyhan keheranan, menatap bapak Iris dengan pakaian lusuhnya.
“Benar. Pak Reyhan kaget, ya? Pasti baru tahu.” Ros menatap Iris, wanita yang dianggap saingannya selama ini. “Pantas saja ngejar Iris, bahkan mau lamar mahasiswi mis kin ini juga.”
Pak Mulyadi terkejut mendengar putrinya mau dilamar dosennya sendiri.
“Sebenarnya yang mau aku lamar itu putrinya Pak Yono, sesuai keinginan ibuku. Karena aku sering lihat Iris pergi ke rumah itu, aku pikir dia putri atau—”
“Lho, itu artinya Pak Rey mau lamar aku, dong?” Ros yang memang iri dengan Iris yang bisa disukai Reyhan, bahkan juga menyukai dosennya tersebut, langsung saja berbinar.
“Benar, yang mau Pak Rey lamar adalah aku, hanya saja salah paham mengira Iris putra ayahku, dia itu memang suka kebanyakan gaya, berpenampilan seperti orang kaya, padahal sebenarnya dia itu putri dari bapak tukang kebun yang mis kin.” Suara Ros begitu lantang hingga mengundang perhatian orang sekitar, tentu saja mereka mendekat untuk menyaksikan apa yang terjadi.
Iris panik, sedangkan Ros tersenyum, ia sengaja ingin mempermalukan Iris, mu suhnya, di depan orang banyak, terutama Reyhan.
“Ros, dengar. Aku tidak pernah—”
“Alah, jadi selama ini kamu bertingkah sebagai an ak ayahku untuk menarik perhatian Pak Rey.” Ros memotong ucapan Iris, sengaja tak ingin memberikan kesempatan untuk bicara apa lagi menjelaskan.
“Dengar semuanya! Ternyata dia itu sudah tahu bahwa Pak Reyhan sebenarnya ingin melamar putri dari Pak Yono, yaitu ayahku sendiri, karena itu ia berlagak seperti orang kaya dan sering pergi ke rumahku agar disangka keluarga sana. Padahal putri Pak Yono adalah aku.”
Iris hanya geleng-geleng kepala mendengar fit nah Ros, andai bukan putri dari majikan tempat di mana bapaknya bekerja, sudah dari tadi ia mena bok mul ut tak beradab Ros.
“Iris itu anaknya orang mis kin, lihat saja bapaknya—” Kalimat Ros terhenti saat melihat bunga kertas yang dipegang Iris. “Lho, ini, ‘kan, bunga kertas yang ada di kebun rumahku.” Ros langsung meram pas dan menatap ta jam Pak Mulyadi. “Jadi bunga yang diberikan pada putrimu ini hasil mencu ri?” Lantang suara Ros. Sedangkan Pak Mulyadi menggeleng, sebab ia memang tak mencu ri, ia mengambil bunga yang memang akan dibuang.
“Dasar orang mis kin, sudahlah tak bermodal, mencu ri lagi!” Dengan kasar tangan Ros mendo rong bahu Pak Mulyadi, tubuh kurus itu tentu saja terjungkal ke belakang hingga jatuh dan lengannya tergores paving.
“Ros, keterlaluan kamu!” Iris langsung menghampiri bapaknya dan membantunya untuk berdiri, sedangkan yang lainnya hanya menonton, termasuk Reyhan.
“Yang keterlaluan itu bapakmu, sudah mis kin gak mampu beli buket bunga seperti yang lainnya, malah mencu ri. Apa ini, bapak dari putri yang berperingkat cumlaude, seorang—” Ucapan Ros terhenti saat Iris melayangkan tam paran.
“Iris, beraninya kau memu kulku? Putri dari majikan bapakmu?” Bergetar suara Ros sambil memegangi pipinya.
“Aku tidak peduli siapa kamu. Kamu sudah menyakiti bapakku.”
“Bapakmu itu pencu ri. Pun kamu sudah mencu ri Pak Rey dariku. Dia itu sebenarnya mau lamar aku, bukan kamu. Ya, ‘kan, Pak Rey?” Ros menoleh menatap dosen mudanya yang berdiri tak jauh darinya. Pria itu hanya menatap sebentar, lantas menoleh ke Iris.
“Aku mau bicara.” Reyhan menarik lengan Iris, membawanya agak jauh. “Maaf, Ris, aku tidak bisa melanjutkan rencanaku nanti malam untuk melamar kamu.”
Iris tersenyum. “Karena saya putri orang mis kin, Pak?”
“Aku tidak masalah dengan itu, Ris, tapi orang tuaku …, tentu ia tak akan mau melakukan itu untuk nanti malam. Sebelumnya mereka setuju —”
“Tidak apa. Pak Reyhan tidak perlu merasa bersalah. Semua orang tua ingin yang terbaik untuk anaknya, begitupun dengan orang tua Bapak.” Setelahnya Iris langsung ingin pergi, namun, tiba-tiba bapaknya datang dan berlutut di depan Reyhan.
“Nak, tolong, jangan batalkan niatmu untuk melamar putri Bapak!”
“Pak, apa yang dilakukan Bapak?” Sontak saja Iris yang terkejut langsung menarik bapaknya untuk berdiri, namun, tak berhasil.
“Tolong, meski Iris putri dari orang tua mis kin seperti saya, tapi insyaAllah dia wanita yang baik, selain pintar dia juga rajin.” Pak Mulyadi terus memohon bersimpuh di depan Reyhan, tak ingin putrinya batal dilamar hanya gara-gara dirinya datang.
Reyhan bergeming, menatap sendu pada Pak Mulyadi.
“Eh, Pak. Jangan ju al kesedihan, dong, demi menggaet pria ta jir seperti Pak Reyhan. Dia itu sebenarnya mau lamar aku, hanya saja putri Bapak ngaku-ngaku jadi an aknya ayahku.” Ros yang segera datang langsung menimpali.
“Jadi kamu beneran tidak jadi untuk melamar an ak saya?” Pak Mulyadi masih menatap penuh harap pada Reyhan.
Bibir Reyhan berkebit, tampak ragu untuk menjawab. “Maafkan saya, Pak,” ucapnya akhirnya dengan kepala tertunduk.
“Nah, ‘kan, Pak Rey itu gak mau lamar Iris “ Ros tersenyum penuh kemenangan.
“Kalau gitu, biar aku saja yang melamar putri Pak Mulyadi.”
Sontak semuanya menoleh ke sumber suara yang berasal dari seorang pria berjas rapi yang berdiri tak jauh di sana.
Reyhan terkejut mengetahui siapa pemilik suara itu, lebih-lebih Iris.
Sebab pria yang mengatakan ingin melamar dirinya adalah ….
Baca selengkapnya di KBM
Judul: Maaf, Ayahmu Mis kin
Author: Sakura Sen
Baca selengkapnya di aplikasi KBM App.