Awalan

Aku Terima Talakmu Bang! Tapi Jangan Meny3sal!

Aku Terima T4lakmu Bang! Tapi Jangan Meny3sal 


Maisya Anggaraini, dengan ini saya t4lak engkau. Mulai detik ini kamu kubebaskan, aku tak lagi bertanggungjawab atas dirimu.


Bagai tersengat listrik bertekanan tinggi, lututku l3mas seperti tak bertulang saat bang Imran mengucapkan t4lak tepat dihadapan seluruh keluarganya. Aku tak mampu berkata-kata, terdiam memb!su. Sebisa mungkin air mata ini kutahan, aku harus terlihat tegar dihadapan mereka. Kutatap mata kak Emi dia tersenyum puas. Ini yang diharapkan, dia menang.


Akulah sang pembuat masalah, akulah sang pemb3rontak, akulah yang tak pernah taat pada suami. Tak kusangka ternyata bahtera yang kami kayuh hanya bertahan sampai delapan tahun ini. 


"Baik, Mas, kuterima tal4kmu. Setelahnya kita akan lanjutkan semua di persidangan." Ucapku tenang lalu berjalan perlahan menuju kamar. 


Rasanya hari ini cukup lelah, tidak terhitung berapa banyak air mata yang kukeluarkan.


Di dalam kamar kutatap kedua putriku yang masih tertidur pulas. Ya, mereka kelelahan dengan serentetan acara hari ini. Aku menatap keduanya dengan pedih, kubelai perlahan  bergantian. 3go orang tuamu lebih besar dibanding rasa cintanya pada kalian, Nak, batinku.


Kini kedua putriku itu tak memiliki orang tua yang utuh lagi. Ya Allah, kenapa secepat ini. Tanpa sadar bulir bening yang sedari tadi kutahan mulai berjatuhan dari kedua kelopak mataku. D4daku seperti dihvjam panah bertubi-tubi. Baru tadi pagi aku harus melepaskan putri ketiga-ku menghadap sang pemiliknya. Kini aku harus dihadapkan lagi dengan perpisahan bersama suamiku. Ya Allah, seberat inikah takdir yang harus kujalani. Apa sal4hku hingga cobaan datang bertvbi-tvbi. 


 Kutatap tiap inci ruangan ini. Ruangan sebagai saksi betapa bahagianya kami selama tujuh tahun ini. Kamar ini hanya akan menjadi kenangan dimana aku dan bang Imran menghabiskan waktu bersama. Selama tujuh tahun ini tak pernah sekalipun bang Imran mengucapkan kata-kata yang membuatku sedih. Aku sangat mencintainya diapun sama. Katanya akulah pengorbanan yang paling berharga baginya. Iya, enam tahun merajut kasih dengan segala rintangan dia meminangku di dihadapan saudara, pengganti kedua orangtuaku. 


Entah kenapa memasuki, tahun kedelapan pernikahan kami, bang Imran mulai berubah. Dia menuntut banyak hal padaku. Dia juga mulai tidak terbuka segala hal termasuk keuangan. Akupun mulai menaruh cvriga. Tidak seperti dulu, dia sudah mulai 4cuh tak 4cuh padaku. 


Kemarahan bang Imran mulai memuncak tatkala hasil USG anak ketiga kami menunjukkan jenis kelamin p3rempuan. Sejak saat itu rupanya bang Imran sudah merencanakan perc3raian. 


Pikiran yang berk3camuk mengharuskanku mengeluarkan janin dengan usia kandungan berumur 32 Minggu. Bayi mungil itu harus masuk ke dalam inkubator. Berhari-hari diruang itu, putri ketigaku yang kuberi nama Khania Salsabila Maharaja tak kunjung memperlihatkan tanda-tanda kemajuan. Hingga malam tadi selepas isya dia mengalami gagal nafas dan men!nggal. 


Dari sekian banyaknya anggota keluarga yang hadir hanya aku men4ngis. Bang Imran sama sekali tidak menunjukkan raut kes3dihan hanya karena jenis kelaminnya tak sesuai yang diharapkan. Dia terlihat tenang, senyuman masih sanggup ia sunggingkan saat menyalami para pel4yat yang datang. Apa dia sebahagia itu?


Khania-ku sayang, maafkan mama yang tak bisa memberimu kehidupan yang baik, Nak. Semoga engkau dapat menuntun mama menuju surga-Nya nanti. Amin!


🍁🍁🍁


Hai readers selamat datang di cerita baru ini. InsyaAllah cerbung ini nggak terlalu banyak bab. Selamat membaca, jangan lupa tekan subscribe, dan bintang 5-nya ya readers. Semoga Allah mudahkan urusan kita semua. Amin..


🍁🍁🍁


"Selama masa Iddah-mu tinggallah di rumah ini. Aku akan tinggal di mess kantor." Seru bang Imran membuyarkan lamunanku.


"Akan kupenuhi hak-hakmu. Jangan khawatir Kalissa dan Khaira wajib menjadi tanggunganku hingga mereka baligh kelak. Kita bicarakan ini nanti di pengadilan." Tambahnya lagi.


"Kamu sudah sesiap ini ya, Bang?" Aku menoleh padanya dengan senyum g3tir.


"Darah nifasku-pun belum kering kamu telah menj4tuhkan t4lak."


 


Kalau akan begini akhirnya aku tak pernah mau dipersunting oleh-mu, Bang. Ternyata kamu tak bisa menerima segala lebih dan kurangku. Aku tahu aku cukup banyak salah padamu, aku tahu aku ini istri yang buruk. Untuk itu aku minta maaf. Semoga dipernikahanmu selanjutnya berjalan dengan lancar dan kalian mendapat anak laki-laki dan perempuan seperti yang kau impikan, Bang."


"Kamu-pun sama, Dek. Semoga kamu juga mendapatkan laki-laki yang beruntung yang bisa membuatmu bahagia." Mendengar itu aku hanya menyunggingkan senyum.


"Bahagia itu hanya sesaat, Bang. Sama seperti kita, jika tiba masanya nanti aku pasti tercampakkan lagi. Aku tak mau mengulanginya dua kali. Kisah ini menjadi pelajaran bagiku. Biarlah aku menjalani hari-hariku bersama anak-anak. Bagaimana-pun aku ini ibunya, mereka takkan mungkin men!nggalkanku."


"Maafkan Abang, Dek. Terp4ksa Abang harus melepasmu demi orang tua."


"Iya, Bang. Aku berusaha mengerti. Semoga dirimu diliputi bahagia." Aku melangkah menuju kamar mandi. Ingin kutumpahkan segala t4ngis disana. Aku tak sanggup lagi. Bagaimana aku bisa hidup tanpa bang Imran?


Saat keluar dari kamar mandi, bang Imran sedang mengepak barangnya.  Kedua putriku tiba-tiba terbangun. Kalissa mengusap-usap matanya.


"Kita mau pergi, Ma?" Kalissa mendongak.  Dulu setiap kali kami mengepak barang pasti tujuannya mudik atau jalan-jalan. Mungkin dia merasa kali ini sama.


"Nggak, Nak, kita di rumah aja. Papa mau pergi kerja." Kuelus pucuk kepala putri pertamaku itu dengan lembut.


"Kalissa boleh ikut, Pa? Kalissa janji nggak nakal. Kalissa kawani papa, ya?" Ucapnya tanpa menghiraukan ucapanku. Hatiku sungguh berdesir. Kasian sekali kamu, Nak.


"Anak kecil nggak boleh ikut sayang. Nanti kalau sudah selesai, kita jalan-jalan ya." Ucap bang Imran sembari mem3luk putrinya itu.


"Janji ya, Pa." 


"Iya sayang, Kalissa janji jadi anak yang baik, ya. Jaga mama dan adik, jangan buat mama s3dih ya, sayang."


"Iya, Kalissa janji, Pa." Ucapnya. 


Bang Imran kemudian mengecup kening kedua putri-nya itu bergantian.


"Abang pamit, Dek. Jaga kesehatanmu dan anak-anak." Ucapnya tanpa menoleh.


Mas Imran keluar dari kamar dengan menenteng tas besar. Kedua putrinya berhamburan ikut keluar. Seperti biasa pasti ada drama t4ngis saat papa-nya berangkat dari rumah. Kususul mereka, kedua mantan mertuaku juga kak Emi sudah siap hendak pulang. Mungkin bang Imran akan mengantarkan mereka pulang dulu 


"Maisya, kami pulang. Kuanggap kalian berpisah secara baik-baik. Saat dipersidangan nanti tolong jangan memperkeruh suasana. Satu lagi, kamu tak membawa harta banyak saat menikah dulu. Jadi jangan menuntut banyak." Ucap mama mertua dengan tatapan s!nis.


"Kami pulang, jaga anak-anak." Kali ini bapak mertua yang bersuara tanpa menoleh ke arahku.  Aku menyodorkan tangan berniat bersalaman dengan ibu mertua. Dia menepis lalu berjalan sambil menenteng tas mahalnya. Hanya bapak mertua yang menyalami-ku itupun kurasa karena terpaksa. Sedang kak Emi, dia bersedekap sembari memonyongkan bibir.


"Papa, Kalissa ikut."


"Papa dan mama-mu sudah pisah! Nggak usah ikut-ikut!" Bentak kak Emi menatap sinis kedua putriku. Dia memang seb3nci itu pada darah daging kami.


"Kak, mereka tak tahu apa-apa. Tolong jangan begini." Aku mendekat lantas mem3luk Kalissa yang tengah men4ngis.


"Heleh," ucapnya sambil berlalu.


Aku hanya terdiam, meski diz0limi berkali-kali seperti ini bang Imran tetap saja diam. Sudah bisa dipastikan dia memang sudah seb3nci itu padaku.


"Abang pergi, Dek." Ucap Bang Imran, mata kami beradu. Aku hanya mengangguk. Aku berdiri dibalik pintu tak berniat melihat mereka pergi. Kubiarkan Kalisaa dan Khaira men4ngis melepas papanya. Ya Allah kuatkan aku, kuatkan aku, gumamku dalam hati.


Ini malam kedua kepergian putriku, tak ada acarapun seperti orang-orang biasanya yang mengadakan t4kziah tiga hari berturut-turut. Hah, jangankan t4kziah, aku saja yang masih berkabung ditinggal begitu saja. Sebegitu patuhnya bang Imran sehingga masih dalam keadaan nifas-pun dia mampu mengucap t4lak.


Malam ini selepas adzan isya, tak lupa pula kupanjatkan doa mohon agar aku dan kedua putriku diberi perlindungan dan kekuatan.


Kuingat-ingat saat mengandung kemarin. Perhatian bang Imran tak seperti saat kehamilan kedua anaknya dulu. Dia bahkan tak segan-segan meny3ntak ku. Aku sadar mungkin ini cara Allah mencukupkan pend3ritaan putri ke-tiga ku itu. Mungkin kelak jika dia hidup pun pasti merasakan penderita sebab kehadirannya tak pernah diharapkan.


"Ma, Kalissa l4par." Ucap putri pertamaku itu sambil berg3layut.


"Iya sayang, ayo kita ke dapur." Aku bergegas sembari melepas mukena. Aku sudah terbiasa memakai mukena sebagai pengganti hijab.


"Kita makan apa yang ada ya, Nak." Ucapku sambil menyendokkan nasi ke dalam piring. Untunglah masih ada sisa makanan tadi siang yang dimasak para tetangga.


Kusiapkan nasi beserta lauknya ke mulut sikecil Khaira. Sedang Kalissa sudah bisa makan sendiri.


"Makan yang banyak, biar sehat ya."


"Mama nggak makan?" Tanya Kalissa.


"Belum selera sayang. Mama masih kenyang kayaknya."


"Loh kata mama kalau makan sama-sama jadi selera, kan? Ayo buka mulut mama, aaak!" Kalissa mulai  menyuapkan nasi. Aku pun menurut. Entah apa rasanya, sepertinya tenggorokan menolak untuk menelannya. 


"Lagi, Ma." Suapan kedua berhasil masuk dengan bantuan air putih.


"Habis makan kita tidur ya, Nak. Hari ini ibu capek sekali." Ucapku sambil merapikan piring kotor keduanya.


"Perut mama, udah kecil. Dedek bayi udah keluar ya ma? Mana dedeknya?" Ya Allah, Kalissa belum tahu tadi adiknya lah yang kami antar ke makam.


"Adik bayi sudah keluar, sudah diambil lagi oleh Allah." Mengusap pucuk kepalanya.


"Kenapa diambil, Ma? Kan Allah yang buat?" Dia masih keb!ngungan.


"Adik Khania s4kit sayang. Allah lebih sayang Khania, Allah nggak mau adek Khania kes4kitan."


"Oh, gitu ya, Ma? Nanti kita jumpa lagi kan?"


"InsyaAllah sayang. Udah sana gosok gigi." 


Tak berapa lama kedua putriku tertidur. Tinggallah aku seorang diri. Kubelai lembut kasur, biasanya bang Imran disini menemani-ku. Aku kesepian, bang. Aku kehilangan. Tidakkah kamu bisa bertahan sebentar saja sampai aku benar-benar kuat, batinku. 


Aku menatap nanar langit-langit kamar ini. Apa yang harus kulakukan. Aku tinggal sendiri dikota ini. Tak ada yang bisa kumintai tolong. Bagaimana aku bisa menyambung hidup? Aku yakin bang Imran tak akan mungkin memenuhi janjinya menafkahi kedua putriku ini. Sudah pasti orangtua dan kakaknya akan melarang. Ya Allah berat sekali yang harus kujalani ini. 


Bersambung...




Judul: Aku Terima Talakmu Bang! Tapi Jangan Meny3sal!


Nama pena: khaurinoer 


Link Baca👇 https://read.kbm.id/book/detail/61e0aa45-4021-4d95-b920-64c72875edfc?af=82e4d031-df91-4dee-a157-6796a592d6d2

 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel