Lanjut Baca
Aku mengirim banyak uang untuk kebutuhan sehari-hari Ibu. Untuk biaya renovasi rumah Ibu sampai ratus4n jut4. Tapi kenyataan yang kudapati, ibu kekurangan makan dan rumah kami tak sedikitpun direnovasi. Setelah kuselidiki aku tahu siapa par4sit selama ini.
*
IBUKU BUKAN PEMBANTU (2)
Aku diam tak bisa menjawab ucapan Bi Minah, bukan karena itu benar, tetapi sudah pasti ini ulah Mas Danu yang menelantarkan Ibu, jika benar seperti dugaanku, aku tidak akan diam begitu saja.
“Maaf Wa, Bik, aku harus membawa Ibu pulang,” ucapku sopan, lalu menggandeng tangan Ibu, melangkah pergi melalui pintu belakang yang tadi kulewati.
Wa Darsih terus memanggil namaku dan Ibu, tapi tidak kuhiraukan, aku terus menuntun Ibu menjauh. Tak membutuhkan waktu lama untuk sampai di rumah, karena jarak rumah kami hanya beberapa jengkal saja.
“Kamu kapan datang, Nok? Ibu, biasa simpan kunci di sini, kenapa kamu tidak langsung masuk saja,” ucap Ibu sambil merogoh kunci yang ada di bawah keset, kemudian membuka pintu usang yang sudah akan habis di makan rayap.
“Hari ini aku baru sampai, Bu. Dan langsung ke sini. Sebenarnya apa yang terjadi, Bu?” tanyaku saat Ibu sibuk bolak balik ke dapur membawakanku minum segelas air putih dari teko plastik. Aku menatap sedih keadaan rumah yang sudah begitu reot, tembok yang sudah mulai terkelupas, terlihat batu bata merah dan butiran pasir yang berserakan di lantai, bukan lantai, lebih tepatnya plesteran semen yang juga pecah-pecah, miris hatiku melihatnya.
“Bagaimana kabarmu, Nok? Kenapa kamu baru pulang? Ibu selalu berdoa agar kamu baik-baik saja, di mana pun kamu berada.” Ibu tidak menjawab pertanyaanku, ia justru bertanya sambil mengelus-elus rambutku yang tertutup hijab.
“Maafkan Ifa, Bu. Ifa mendapat beasiswa kuliah di Singapura selama 5 tahun terakhir ini, selain itu Ifa harus bekerja, sehingga belum bisa pulang,” ucapku sambil menggenggam tangan Ibu.
Awalnya aku pergi ke Jakarta saat bapak masih hidup, saat itu usaha toko kelontong bapa sedang maju. Sayangnya, bapak meninggal di tahun pertamaku kuliah, mulai saat itu aku aku harus bekerja keras agar tidak putus kuliah. Aku menjalani perkuliahan dan juga bekerja secara bersamaan menjadi pelayan di sebuah kafe dan berusaha mencari peluang beasiswa kuliah luar negeri. Meskipun hidupku berat, tapi aku tidak lupa dengan Ibu, uang yang kudapatkan memang tak seberapa, tapi selalu kusisihkan uang gajiku untuk Ibu, dan aku kirim lewat mas Danu, Kakak satu ayah denganku.
Orang-orang kampung hanya tahu kalau aku memutuskan bekerja di Jakarta menjadi pelayan karena putus kuliah, lalu bekerja ke luar negeri menjadi TKW. Padahal aku mendapat beasiswa penuh di singapura, karena termasuk salah satu mahasiswa berprestasi sehingga mendapat Beasiswa S1 dan S2 di Singapura.
“Enggak apa-apa, Nok. Yang penting kamu sehat sekarang, Ibu sudah senang, Masmu bilang, kamu jadi TKW di singapura, dan pulangnya akan lama atau kemungkinan tidak pulang, karena sudah menikah di sana, apa itu benar?”
Aku mengangguk menanggapi pertanyaan Ibu, aku memang pergi ke singapura untuk kuliah dan bekerja. Sepertinya Allah memberiku rencana yang indah untukku, aku mendapatkan jodoh di sana, tetapi untuk tidak pulang, aku tidak pernah berkata seperti itu, “Aku tidak mungkin enggak pulang, Bu. Aku punya Ibu di sini, aku hanya belum bisa pulang saja.”
“Syukurlah, Nok. Ibu hanya khawatir kamu tidak ada kabar sama sekali,” ucap Ibu menyayangkan.
“Maafkan aku, Bu. Padahal aku selalu mengabari kabar lewat Mas Danu,” ucapku menyesal, harusnya saat itu kubelikan Ibu Ponsel saja. Namun, menyesal pun percuma.
“Ya sudah enggak apa-apa, yang penting kamu sudah di sini, lalu kamu sudah makan belum? Ibu hanya punya nasi, tidak ada lauk,” tawar Ibu terdengar miris di telingaku.
“Ibu, kenapa Ibu tidak membeli lauk?” tanyaku.
“Ibu tidak ada uang, Nok.”
Jawaban Ibu untuk ke sekian kalinya membuatku menyesal, “Di mana Mas Danu, Bu?” tanyaku penasaran di mana dia, kenapa membiarkan Ibu kekurangan seperti ini, padahal setiap bulan aku rutin mengirim uang untuk Ibu, tetapi Ibu bilang tidak punya uang.
“Dia tinggal di rumah istrinya, dan sudah lama tidak pulang.” Wajahnya Ibu sedikit terlihat murung saat membahas Mas Danu.
“Selama ini Ibu tidak pernah di beri uang Oleh Mas Danu?” Aku ingin tahu jawaban Ibu. Jawaban Ibu menentukan apa yang akan aku lakukan pada Mas Danu.
“Hidup Kakakmu itu juga susah, Nok. Jangan kan untuk Ibu, terkadang istrinya suka ke sini untuk menitipkan Zara, putrinya. Karena harus bekerja.”
“Mas Danu sudah menikah?” Aku terkejut dan sedikit kecewa, kenapa Mas Danu menikah tanpa memberitahuku.
“Sudah, Danu menikah dengan gadis Desa tetangga, namanya Fitri, rumahnya tak jauh dari sini. Sekarang Zara sudah berusia 3 tahun, ia sangat lucu,” ucap Ibu sambil tersenyum mengingat sosok Zara cucunya.
“Jadi benar Mas Danu tidak pernah memberi uang pada, Ibu?” tanyaku memastikan, jika benar, ke mana uang yang selama ini kukirimkan, jumlahnya 5 juta per-bulan. Lalu 5 bulan lalu saat aku mengabari Mas Danu kalau aku baru saja menikah, Mas Danu meminta uang untuk renovasi rumah Ibu, dan aku mengiriminya uang sebanyak 200juta, tapi kenyataannya rumah ini hampir roboh tak tersentuh.
“Sudahlah, Nok. Bukan kewajiban Danu juga untuk membiayai, Ibu. Apalagi sekarang ia sudah beristri,” ujar Ibu Pasrah.
“Bukan itu masalahnya, Bu. Tapi aku ....”
Ucapanku terpotong saat tiba-tiba pintu terbuka tanpa salam, seorang wanita berpakaian modis menggendong gadis kecil, masuk begitu saja.
“Bu ... Ibu ....” serunya tidak menyadari keberadaanku.
Ibu bangkit dari duduknya dan segera berjalan perlahan menuju ruang tamu.
“Aku titip Zara lagi ya, Bu. Mungkin pulangnya agak malam,” kata wanita itu memberikan gadis kecil bernama Zara pada Ibu. Aku tahu siapa dia sekarang, dia pasti Mbak Fitri istri dari Mas Danu.
Mata kami sempat bertatapan, karena sudah terlanjur bertatapan, aku pun bangkit dan ingin menyapanya.
“Siapa dia, Bu?” tanyanya dengan tatapan sinis, menatapku dari ujung kaki sampai ujung kepala.
“Dia Afifah, adik Iparmu,” jawab Ibu.
“Apa, Afifah!?” Matanya hampir saja loncat dari tempatnya saat mendengar namaku di sebut, ada apa dengan reaksinya itu? mencurigakan sekali pikirku.
Mbak Fitri segera mengambil Zara dari gendongan Ibu, dan pergi begitu saja dari hadapan kami, aku dan Ibu hanya saling pandang melihat gelagat aneh Mbak Fitri.
Lalu tiba-tiba ponselku bergetar, ada panggilan masuk dari Mas Danu. Aku menggeser tombol hijau yang tertera di layar ponselku.
“Halo, Assalamualaikum,” sapaku.
“Fah, kamu kok, belum transfer jatah Ibu untuk bulan ini!?” tanyanya dengan suara agak meninggi.
Aku menjauhkan ponsel dari telingaku karena suara Mas Danu cukup mengganggu, bulan ini aku memang sengaja belum transfer ke Mas Danu, karena akan memberikan langsung pada Ibu, toh aku sudah ada di sini, pikirku.
“Fah, kamu dengar tidak?” Suara Mas Danu kembali terdengar kesal.
Saat aku baru saja ingin berbicara, terdengar suara wanita dari dalam ponsel Mas Danu dan sambungan telepon pun terputus.
***
Kakak sendiri kok ya tega makan duit buat ibunya. Wajib dic3kek kakak model begini mah.
Skuuyyy langsung meluncur biar tau kek mana pembalasan buat kakak lic*ik seperti ini.
Tinggal klik link ini je 👇
https://read.kbm.id/book/detail/70746092-209b-42bc-b9bc-2cc083746900?af=1d22ef50-db6d-4348-82ec-aa8fb7709273