Baca selengkapnya
“Mas, ponselnya tidak diangkat?” tanya Azalia sambil mengikat rambutnya yang berantakan karena ulahku.
“Matikan saja, Sayang.” Aku menyahut cepat karena tak ingin terganggu oleh pesan –pesan Mama.
Malam ini adalah malam kebahagiaan kami. Terutama Azalia, dia pasti akan sedih kalau harus membahas ketidak setujuan Mama atas pernikahan kami. Sebelum menikah, Azalia bahkan sempat mundur jika restu Mama tak juga turun. Meski hatinya sakit dan melepasku dengan air mata. Tapi dia adalah gadis yang mengerti agama, mana bisa menjalani kehidupan pernikahan tanpa restu orang tua?
Sampai –sampai kami harus bermusyawarah membawa Afif menghadap keluarga besarnya. Dan aku bahkan harus menceritakan bagai mana buruknya tabiat Mama yang sekali pun tak pernah sholat dan membuka aurat. Mama yang membiarkanku hidup bebas di luar rumah, dan berharap ketika bertemu Azalia, pola pergaulanku terjaga.
Aku bisa melihat cinta di mata gadis bernama Azalia. Dia luluh dan mau menerimaku kembali kala Pak Dendi dan Bu Dendi bilang akan mendukung pernikahan kami. Mendoakan agar pernikahan kami nantinya diberkahi. Karena itulah, Azalia luluh dan akhirnya setuju melangsungkan pernikahan tanpa Mama.
Azalia menurut dan mematikan ponsel. Walau ada kalimat menggantung di belakang.
“Tapi itu tadi ... dari Mama.”
Aku hanya tersenyum dan kembali menariknya kembali ke ranjang. Meneruskan acara kami yang tertunda.
______________________
Keesokan harinya ....
Kulirik sekilas ponsel yang tergeletak di nakas sebelum menyusul Azalia ke luar untuk sarapan bersama keluarga yang lain. Sengaja tak kunyalakan sejak Azalia menon –aktifkannya semalam.
“Mbak! Rambutmu basah! Tumben keramas pagi! Biasa juga cuci muka doang berangkat kerja!” ucap pemuda yang duduk di semester akhir kuliahnya, kala ia melihat Azalia mendekat.
“Jaga mulutmu, Bocil!” seru Azalia kesal sambil memukul pundak Amir keras. Yah, dia tampak benar –benar kesal kali ini.
Lucu melihat aslinya dia saat berinteraksi dengan saudaranya. Karena selama ini yang kukenal dari sosok Azalia adalah gadis yang tak banyak bicara dan dewasa, dan kali ini ... dia terlihat seperti anak kecil karena kesal pada saudaranya.
“Makan yang banyak, Jav. Jangan sampai kamu kalah gemuk dari istrimu.” Pak Dendi mengangkat sendok, mengarahkan padaku lalu pada Azalia yang duduk di sampingku.
“Nggeh, Pak.”
“Ish, Bapak ini! Siapa yang gemuk? Aku kan gak pernah gemuk dari dulu!” Azalia mengerucutkan bibirnya karena ingin protes.
“Bener. Mbak Azalia mana pernah gemuk? Dia cuma mekar Pak!” celetuk Amir.
“Kamu ngeselin banget, sih!” Sontak saja Azalia memukul bahu adiknya dengan keras. “Ini bukan gemuk, bukan juga melar. Masa berat 45 kilo dibilang gemuk!” Dia terlihat beneran marah kali ini.
“Hem, ya. Dia hanya Chubby. Makanya kesannya gemuk.” Aku turut menimpali membela istriku pertama kalinya di rumah orang tuanya sendiri.
“Ciee ... sudah ada yang belain ni ye. Udah Mas, jangan dibela. Kalau perlu Mas ikut bully dia biar gak gede kepala!” Amir seolah tak terima.
“Aku tidak membelanya, Mir. Aku bicara jujur. Dia hanya chubby saja pipinya,” bantahku lagi.
Wajah Azalia memerah. Dia senyum –senyum karena aku membelanya. Aku ingin mengatakan padanya, biar hati perempuan cantik itu makin bahagia. Bahwa aku tulus memujinya.
“Duh, kayaknya aku musti cari target lain. Kakakku sudah punya Ayang yang lindungin dia,” ceplos Amir kemudian, yang disambut tawa semua orang. Bapak, Ibu dan aku.
Sementara Azalia, dia masih tampak malu –malu karena perlakuanku padanya.
“Kalau gitu, lekas selesaikan kuliahmu, kerja dan cari Ayang!” Ibu menggoda Amir kemudian.
Di sela aktiftitas makan kami, suara dering terdengar dari kamar kami. Sontak saja aku menoleh ke arah Azalia. Karena ponselku dalam kondisi mati, pasti yang bunyi sekarang adalah ponselnya.
“Sebentar.” Azalia bangkit dan berjalan ke arah kamar.
Hanya sebentar kami teralihkan oleh dering ponsel tersebut. Nyatanya mereka yang tertinggal di meja makan kembali mengobrol dan saling melempar candaan. Sementara aku, sesekali menoleh ke arah Azalia. Dia begitu lama dan serius menerima telepon, sehingga membuatku penasaran dan tertuntun berjalan ke arahnya.
“Ada apa?” tanyaku.
Azalia menoleh ke arahku dengan tatapan syok. Ia lalu menutup telepon dan bicara padaku.
“Mas, aku nggak ngerti maksud Mama kamu. Kenapa dia bilang kita tak boleh melakukan akad nikah karena kita adalah saudara.”
_____
Azalia menoleh ke arahku dengan tatapan syok. Ia lalu menutup telepon dan bicara padaku.
“Mas, aku nggak ngerti maksud Mama kamu. Kenapa dia bilang kita tak boleh melakukan akad nikah karena kita adalah saudara.”
“Apa?” Apa maksud Mama?
Istriku terlihat bingung. Dan aku sendiri jelas lebih bingung dari pada dia, karena hanya sepenggal yang kudengar darinya. Langkahku sontak terayun mendekat pada wanita cantik yang mengenakan daster dan berdiri membeku itu.
Apa ini alasan Mama melarangku menikah? Atau hanya bisa –bisanya dia saja mengarang cerita demi agar pernikahanku batal sesuai keinginannya?
Tidak aku tak percaya ini. Kuhela napas berat. Namun, aku tak mau memperlihatkan beban pada Azalia.
“Dari Mama?” tanyaku sok polos. Sebuah pertanyaan yang jelas –jelas tak memerlukan jawaban, karena Azalia sudah mengatakannya.
Azalia mengangguk. Keningnya berkerut, tanda ia sedang berpikir keras. Sementara aku ... tentu saja ingin tahu secara utuh apa yang Mama katakan dan apa maksudnya?
Tak ingin statment tak jelas bahwa ‘Kami adalah saudara’ terdengar sampai ke luar, aku pun menutup pintu kamar. Lalu, meraih tubuh Azalia. Memeluk dan mengecup keningnya berkali. Memberinya kehangatan agar ia merasa tenang dan tidak berpikir berlebihan tentang ini. Aku yakin ini hanya akal –akalan Mama. Yah, aku yakin sudah memeriksa ini. Apakah ada hubungan antara Mama dengan keluarga Azalia.
“Kamu tenang ya, Sayang.” Kuusap pelan rambutnya yang masih setengah basah. Aroma wangi shampo menguar, membangkitkan pikiran yang seharusnya tak kupikirkan sekarang.
Ah, ya kenapa dia gak pakai hair dryer sih? Karena ini juga dia jadi bulan –bulanan Amir. Aku menggeleng. Menepis pikiran kotor yang seharusnya tak boleh muncul itu.
“Mas, mungkin kalau yang ngomong anak kecil aku gak akan kepikiran. Tapi ini Mama kamu, Mas. Mertuaku.” Kini bisa kulihat kaca –kaca di kedua mata bening Azinza. Tampaknya emosi telah menguasai hatinya.
Yah, beneran dah. Kalau wanita itu memang baperan begini. Mau marah atas sikapnya juga nggak tega. Aku sedang sayang –sayangnya ini pada istriku.
“Hem, andai kamu tahu dan kenal siapa Mama, kamu pasti tidak akan percaya begitu saja,” ucapku kemudian, yang mencegah pikiran buruk tentang ucapan tak jelas Mama.
Maaf Ma, aku harus kembali menjelek –jelekkanmu di depan istriku. Tapi mau bagaimana lagi. Aku tak mau rumah tanggaku hancur hanya karena sifat Mama yang kekanakan.
“Sudah, Mas. Kalau gitu, Mas perjelas ke Mama. Apa maksud beliau bicara begitu. Aku yakin dia tak mungkin sembarangan bicara mengenai hal seserius itu.”
“Sayang, Mama itu tahunya kita belum nikah. Jadi wajar, dia mencari segala cara agar kita tak jadi menikah. Palingan nanti kalau aku percaya dan luluh, Mama baru minta maaf sudah berdusta. Dan saat itu pasti aku sudah menikah dengan Deandra. Kamu mau begitu?” tanyaku sengaja memancing kecemburuan Azalia dengan menyebut nama Deandra.
“Mas ... kenapa kita harus begini. Ini meragukan!” Azalia menekan suaranya dengan nada rendah. Aku tahu dia pasti tak mau terdengar oleh keluarganya di luar kamar kami.
“Oke, oke. Mas akan bicara pada Mama.” Aku akhirnya menyerah. Karena wanita cantik itu tak mau juga mendengar ucapanku.
Setelah mengembus berat. Aku pun bergerak ke arah nakas. Mengambil ponselku yang mati dan menyalakannya, agar bisa menghubungi Mama. Wanita yang paling menentang pernikahan kami.
Sementara itu, saat melihat Azalia, betapa tak tenang dan gelisahnya dia. Dia pasti tak sabar mendapat kepastian dari apa yang Mama katakan. Yah, andai Mama adalah orang sebaik Pak Salam dan istrinya yang sekarang jadi mertuaku, tentu aku akan langsung percaya apa yang Mama katakan.
Tak lama, hanya hitungan detik sejak panggilan tersambung, Mama langsung mengangkatnya.
“Halo, Ma,” sapaku pada orang di seberang.
“Halo, Jev. Kamu sedang di mana? Benar kamu mengadakan pernikahan tanpa Mama? Jadi ini, alasan kamu maksa Mama nemui Nenek kamu di Malaysia? Karena kamu mau menikah diam –diam! Hah?! Jawab!” Suara itu terdengar meletup –letup seperti peluru memberondong otakku.
Mama pasti benar –benar murka sekarang. Tapi ... tetap saja berbohong soal hubungan darah itu tidak lucu dan sangat keterlaluan. Aku juga berhak marah untuk ini.
“Ma, kenapa Mama begini? Mama tahu pilihanku adalah gadis baik. Apa yang salah?!”
“Kamu salah, Jev. Kamu sangat salah! Harusnya kamu tidak begini! Kalau Mama melarang pasti ada alasannya! Sebaiknya kamu pulang. Kata Bibi kamu tidak di rumah. Mama juga sedang menuju pulang sekarang. Kita harus bicara!”
“Ma ....” Perdebatan ini berasa alot.
Azalia bahkan sampai menangis dan menenggelamkan dirinya ke dalam bantal. Tampaknya dia percaya pada Mama. Yah, Mama sangat serius ketika menentang sesuatu.
“Jangan nikahi Azalia, Jev. Dia adikmu! Dia sedarah denganmu!” Lagi, Mama mengucap itu seolah tidak tergoyahkan oleh apa pun.
“Mama. Mama bercanda kan, Ma?!” Aku tertawa kesal mendengarnya. Ini kelewat konyol. “Kenapa Mama mengulang lagi ucapan Mama pada Azalia.”
“Mama serius, Jev. Kalau kamu tidak percaya cobalah tes DNA!” tekan Mama di ujung telepon.
Ini sangat mengejutkan. Mama bahkan sampai memintaku tes DNA.
“Apa?” Aku sudah kehabisan kata –kata. Rasanya syok.
Belum lagi bisa menormalkan perasaanku karena ucapan Mama, perhatianku teralihkan oleh ucapan Azalia.
“Nggak! Ini pasti salah! Aku akan bertanya pada Bapak, Mas!” Perempuan itu bangkit dari ranjang. Mengusap air matanya kasar dan melangkah ke luar kamar.
Next ....
Kira –kira tes DNA gak ya? Terus hasilnya gimana? Tinggalin jejak dong ...
Cerita ini sudah tamat di KBM App
Judul: Nikah Sedarah (Masih Gadis Menyusui 2)
Penulis: wafafarha93
Link
:
https://read.kbm.id/book/detail/e8158bda-8f8f-41c4-901f-786c50becfdd?af=691ae0e5-0c0b-3eb2-77cf-2fa5965f5f37