Anakku Di Pasung Saat Aku Jadi TKW
Anakku Di Pasung Saat Aku Jadi TKW
Bab 9
"Puaskan saja dulu halu kamu sebelum aku membuat hidup kalian seperti Aluna!"
Rahang Bang Amar mengeras dengan wajah yang berubah merah padam. Tatapannya sangat nyalang bak hewan buas yang siap menerkam mangsa.
"Aluna gi la, jadi wajar jika dia dipasung!" ujar Bang Amar, nadanya ditekan seolah-olah ingin memperjelas kalimatnya.
"Dia menjadi begitu karena kalian!" Aku mencengkram kerah baju yang dikenakan oleh Bang Amar dengan penuh amarah.
"Kamu tidak tau kenakalan seperti apa yang Aluna lakukan selama kamu pergi!" jawab Bang Amar lagi.
"Aku mengenal anak-anakku dengan baik, jadi jangan pernah mencoba mengotori pikiranku dengan ucapan tidak bergunamu itu!" sungutku kesal.
Aku melepaskan cengkraman kemudian mendorong tubuh Bang Amar, rasanya dadaku hendak meledak akibat amarah yang terus menyergap tanpa jeda. Namun aku harus bisa mengendalikan semuanya sesuai rencana yang sudah aku susun rapih.
Setelah mengganti pakaian aku pergi ke dapur untuk membuat sarapan. Hari ini ada janji untuk bertemu dengan kepala sekolah Aluna. Menurut berita yang kudapat dari beberapa tetangga, ternyata anak sulungku putus sekolah sejak tiga tahun yang lalu sedangkan Alvin hanya pernah mengenyam bangku pendidikan sampai kelas satu SD saja.
Selama ini aku selalu mengirimkan uang lebih demi masa depan anak-anak, Bang Amar kerap menyampaikan berita penuh suka cita tentang prestasi yang Aluna capai.
"Tahun ini Aluna juara satu, Nay." Dengan senyum mengembang Bang Amar berkata, wajah tampannya menghiasi layar ponsel.
"Alhamdulilah kalau gitu, Bang." Aku pun tidak kalah sumringah mendengar kabar bahagia ini."Boleh aku bicara dengan Aluna dan Alvin, Bang?" sambungku. Pasalnya sudah lama aku tidak mendengar suara mereka.
"Ah ... sayang sekali, mereka sudah pergi ke masjid untuk mengaji." Bang Amar berkata dengan raut wajah kecewa.
"Tidak apa-apa, Bang. Sampaikan aja salam untuk anak-anak," jawabku pasrah. Akhir-akhir ini aku begitu sibuk karena majikanku kerap masuk rumah sakit, sehingga waktu untuk bermain ponsel sangat sedikit.
"Kamu fokus saja kerja, rumah kita sedikit lagi selesai biar kamu bisa segera pulang," ucap Bang Amar sebelum mengakhiri panggilannya.
===
"Mau kemana, Nay?" Suara Nek Aminah mengejutkan, aku melirik wanita tua yang sedang duduk di teras rumahnya itu.
"Mau ke sekolah Aluna, Nek." Terpaksa aku mampir sebentar.
"Bagaimana keadaan Aluna sekarang?" tanya Nek Aminah, bibirnya merah akibat mengunyah daun sirih.
"Alhamdulilah sudah lumayan membaik, Nek." Aku tersenyum seraya menjawab. Nek Aminah menghela napas lega, kemudian tangan keriputnya menggenggam tanganku.
"Jangan terlalu dekat dengan Adnan, Nay." Suaranya lirih tetapi terdengar meyakinkan.
"Kenapa, Nek?" Aku mengerutkan kening. Adnan adalah anak semata wayang Nek Aminah. Namun perempuan tua itu masih tetap tinggal di rumah gubuknya padahal Adnan sudah sukses menjadi sponsor terkenal.
Saat masih kecil rumah kayu Nek Aminah selalu menjadi pelindung untuk melarikan diri ketika Bapak sedang kumat. Adnan pula yang selalu membantuku untuk bisa lolos dari hukuman Bapak.
Namun saat remaja perselisihan di antara kami terjadi, Adnan begitu marah ketika mengetahui rencana pernikahanku dengan Bang Amar. Hubungan pertemanan pun menjadi renggang, Adnan pergi merantau ke Jakarta setelah lulus SMA.
"Naya!"
Aku tersandar dari lamunan akibat suara Adnan yang memanggil, dia keluar dari mobil kemudian menghampiriku yang masih duduk di samping Nek Aminah.
"Jalan-jalan yuk," ajaknya dengan bibir mengembang menampilkan senyum manis.
"Nggak bisa, Nan. Aku ada janji dengan kepala sekolah Aluna," tolakku halus.
"Kalau begitu mari aku antar," usul Adnan lagi.
"Tidak usah, aku sudah pesan ojek dan sebentar lagi pasti datang." Aku kembali menolak ajakannya. Adnan tampak kesal, raut wajahnya berubah dingin.
Tidak berselang lama tukang ojek langganan pun datang, aku langsung bergegas membawa Alvin untuk segera pergi.
Perjalanan menuju sekolah Aluna tidak terlalu jauh, hanya saja harus melewati jalanan sepi karena tidak ada rumah warga. Sekelilingnya dipenuhi oleh pohon-pohon kayu yang besar dan kebun sayuran milik warga.
"Sudah sampai, Teh." Tukang ojek memberhentikan kuda besinya di parkiran.
"Terima kasih, Mang." Aku menyodorkan uang sebagai ongkosnya.
Aku segera masuk ke area sekolah yang masih terlihat rame oleh anak-anak itu. Berjalan menyusuri setiap ruangan sampai berhenti di pintu dengan tulisan ruangan kepala sekolah.
"Silakan masuk, Bu." Terdengar sahutan dari dalam setelah aku mengetuk pintu.
Bu Heni yang merupakan kepala sekolah di SD ini menyambut kedatanganku dengan ramah seraya mempersilakan untuk duduk.
"Apa Alvin masih bisa sekolah di sini, Bu?" tanyaku.
"Tentu saja, Bu Naya. Tapi mungkin Alvin harus mengulang dari kelas satu." Aku mengangguk paham.
Saat ini usia Alvin sembilan tahun, seharusnya sudah duduk di kelas tiga namun dia berhenti sekolah setelah kenaikan kelas satu. Alasannya belum aku ketahui karena semua ini dilakukan oleh Bang Amar dan Asty, itulah aku dengar dari keterangan Alvin.
"Bagaimana dengan Aluna?" tanya Bu Heni.
"Dia masih sakit, Bu." Aku menjawab.
"Aku ikut prihatin, Bu. Sebenarnya Aluna anak yang baik dan pintar tetapi dia berubah menjadi pemarah dan kerap menciderai teman-temannya." Penjelasan Bu Heni berhasil membuat kedua alisku saling bertaut.
Sejak kecil Aluna memiliki sifat penyayang, hatinya lembut sehingga tidak pernah melakukan kekerasan terhadap siapa pun. Hatiku setengah tidak percaya dengan penuturan Bu Heni.
"Aluna anak yang baik, Bu. Jadi tidak mungkin dia berubah tanpa sebab," kilahku membela.
"Iya, itu yang kami rasakan. Sejak kelas tiga Aluna mulai berubah, dia sering telat datang ke sekolah. Ketika ditanya dia hanya diam, tatapannya kosong. Tapi beberapa guru pernah melihat luka memar di leher dan tangan Aluna."
Dadaku berdebar hebat mendengar keterangan Bu Heni, tanpa terasa sudut mata merembeskan buliran bening. Aku segera menyekanya.
Setelah panjang lebar mengobrol, aku harus undur diri karena semua tujuan sudah selesai dilakukan. Alvin sudah bisa mulai sekolah lagi.
Kini keadaan Alvin pun sudah jauh lebih baik dari sebelumnya, bahkan anak bungsuku itu lebih ceria.
"Bu," panggil Alvin. Aku sedang berjalan pun berhenti dan menengok ke arahnya yang menggandeng lenganku. Sengaja aku pulang tidak memanggil tukang ojek lagi, ingin menghabiskan waktu dengan Alvin.
"Kenapa, Nak?" tanyaku lembut.
"Kak Aluna pernah di bawa ke sana oleh Om Adnan," ujar Alvin seraya menunjuk ke arah saung yang letaknya di tengah kebun.
"Kapan?" Aku langsung bertanya dengan perasaan campur aduk.
"Sudah lama," jawab Alvin.
"Apa kamu lihat yang dilakukan oleh Om Adnan pada Aluna?" Pikiran sudah dihantui oleh berbagai prasangka buruk.
"Tidak, tapi kata Om Adnan hanya memberikan ice cream untuk Kak Aluna." Dengan polos Alvin menjelaskan.
"Ice cream?" Aku mengulang kalimatnya.
"Iya, Om Adnan selalu membawakan aku dan Kak Aluna ice cream. Tapi aku tidak dibolehkan ikut ke sana, jadi aku hanya nunggu di sini."
Ya Allah ... apa yang terjadi dengan anak-anakku?