Baca Sampai Tamat
DIBABUKAN MERTUA, DIRATUKAN MAJIKAN 8
Pintu depan tiba-tiba terbuka. Sesosok pria berkemeja putih sambil menenteng jas dan tas kerja masuk tanpa salam. Memakai sepatu sampai masuk ke dalam. Tak berselang lama, masuk lelaki muda dengan penampilan lebih santai lalu berteriak.
"Assalamualaikum! Orang ganteng pulang!"
"Itu suami saya pulang," ucap Bu Yasmin lalu bangkit dari duduknya. Gegas dia berjalan menghampiri suaminya.
Bisa kutebak di antara dua lelaki yang baru masuk tadi. Lelaki kaku yang masuk rumah tanpa melepas sepatu terlebih dahulu adalah suami Bu Yasmin.
Dilihat dari wajahnya, sepertinya usianya lebih tua dibandingkan Bu Yasmin. Mungkin sekitar tiga puluh lima tahun. Tubuhnya tinggi tegap dan atletis. Berambut pendek, berkulit cokelat terang, bermata agak sipit khas aktor-aktor ganteng drama Korea.
Lelaki kedua yang penampilannya santai dan ceria, pasti ipar yang tadi Bu Yasmin ceritakan. Usianya mungkin seumuran Bu Yasmin, sekitar tiga puluh tahun, tapi terlihat lebih awet muda karena penampilannya yang kekinian khas eksekutif muda yang urakan.
"Wuiih ... ada yang seneng, nih!" seru Bu Yasmin ikut senang.
Aku melongo ketika melihat Bu Yasmin malah menghampiri lelaki yang tadi kutebak adalah iparnya. Dia mengambil alih tas kerja lelaki itu dan menggiringnya duduk di meja makan.
Sementara lelaki kaku tadi duduk di sofa ruang tivi dan melepas sepatunya di sana lalu menuju wastafel mencuci tangan.
"Iya, dong! Hari ini perusahaan menang tender!" seru lelaki yang kini duduk di meja makan.
"Alhamdulillah ... keknya mesti syukuran, nih!" seru Bu Yasmin sambil melirik lelaki kaku tadi. Wajah lelaki itu nampak lelah tak bersemangat.
"Atur aja. Gue terima beres," jawab lelaki kaku yang kini berjalan menuju meja makan.
"Sip, kalau gitu! Jangan lupa modal buat syukurannya ditransfer, ya."
"Oke," jawab lelaki itu singkat, lalu duduk di meja makan.
"Oh ya, Mas. Ini Diah, juru masak kita yang baru. Hari ini dia yang masak, loh," Bu Yasmin memperkenalkanku pada suaminya yang berwajah ramah.
"Di, kenalin ini suami saya Pak Zyan dan ini kakak ipar saya, Pak Reiner," tunjuk Bu Yasmin pada kedua lelaki itu.
Aku menganggukkan kepala tanda menyapa.
Dari dekat bisa kulihat antara Pak Zyan dan Pak Reiner ada kemiripan. Hanya saja garis wajah Pak Reiner lebih tegas dan kaku. Mahal senyum. Sementara wajah Pak Zyan lebih chubby dan murah senyum.
"Gantinya Mbok Darmi?" tanya Pak Reiner memastikan.
"Iya," jawab Bu Yasmin sembari menyendokkan nasi ke piring Pak Zyan.
"Kelihatannya masih muda, ya." Pak Zyan ikut berkomentar.
"Iya, usianya sembilan belas tahun," Bu Yasmin menaruh paha ayam ke piring Pak Zyan.
"Uhukk! Uhukk!" Pak Reiner terbatuk-batuk saat minum air. Aku gegas mengambilkan tisu dan memberikannya pada Pak Reiner.
"Kamu nggak salah? Sembilan belas tahun? Saya kira tiga puluh tahun." Pak Reiner melirikku sekilas.
'Dih, lemes juga nih mulut bapak-bapak,' gumamku dalam hati.
"Ya nggak salah, sesuai sama KTP dia, kok," jawab Bu Yasmin sambil melihatku tak enak hati.
"Dia bisa masak?" lanjut Pak Reiner.
"Lah, ini yang di depan kamu, ya masakan dia," jawab Bu Yasmin.
"Nggak yakin bakal enak." Pak Reiner meragukan kemampuanku.
"Itu nasi uduk yang pernah kamu puji nasi uduk terdebest seplanet Bekasi, ya buatan ART baruku."
"Serius? Nggak percaya gue." Pak Reiner menimpali.
Sepertinya bapak satu ini suka ngajak gelud di meja makan.
"Di, kamu juga makan gih sama yang lain. Makan yang banyak. Untuk menghadapi orang-orang julid kita butuh banyak tenaga," sindir Bu Yasmin sambil melirik Pak Reiner.
Aku pamit ke dapur, makan malam bersama dengan Bik Sum dan Mas Tarno.
"Siapa yang julid? Gue ngomong fakta, loh. Siapapun akan mengira usia ART barumu itu tiga puluhan. Ya, kagetlah gue usia dia baru sembilan belas tahun." Samar-samar kudengar suara Pak Reiner.
Dia benar. Tidak ada yang menyangka usiaku baru sembilan belas tahun. Enam bulan menikah dengan Bang Rozak, membuatku tampak lebih tua. Capek fisik, capek pikiran.
"Di, hayuk makan!" ajak Bik Sum yang duduk di lantai dapur dengan Mas Tarno. Nasi, ayam goreng, sayur lodeh dan sambal terasi ada di tengah mereka.
Aku ikut duduk di lantai dan mulai menyedok nasi ke piring yang sudah disediakan Bik Sum.
"Masakan kamu enak loh, Di!" seru Mas Tarno dengan mulut penuh.
"Iya, mudah-mudahan Bu Yasmin dan Pak Zyan cocok dengan masakan kamu," ucap Bik Sum setelah selesai mengunyah.
Aku mengaminkan.
"Eh, Bik. Pak Reiner itu siapa?" tanyaku penasaran.
"Oh, Pak Reiner itu kakaknya Pak Zyan. Kalau hari Jumat gini memang suka main ke sini, kadang menginap. Yang Bibik tau, Pak Reiner itu atasannya Pak Zyan kalau di kantor. Pak Reiner direktur, Pak Zyan wakil direktur. Kalau yang belum kenal pasti ngira dia orangnya jutek, serius, nggak suka becanda, ketus. Iya sih, kadang-kadang. Tapi orangnya baik, nggak banyak omong, pendiem. Beda sama Pak Zyan yang ramah-tamah, suka senyum," jawab Bik Sum panjang lebar.
"Apanya yang pendiem, Bik? Tadi saya dikatain Pak Reiner. Katanya umur saya seperti tiga puluh tahun. Dia sampai keselek nggak percaya kalau umur saya baru sembilan belas tahun," protesku.
Bik Sum dan Mas Tarno tertawa.
"Bibik juga ngiranya begitu, makanya Bibik berani bawa kamu kerja di sini. Nggak taunya kamu masih muda. Untung bisa masak, nggak malu-maluin Bibik deh, hehehe ...." Bik Sum terkekeh.
"Kalau udah gajian, nikmatin, bahagiain diri sendiri. Jangan pelit-pelit kalau buat diri sendiri, sebagian pake buat perawatan. Dijamin penampilan kamu bakal sesuai umurmu." Bik Sum memberi nasihat.
Aku mengangguk-angguk mengerti.
"Kalau rajin perawatan, yang ada bakal keliatan awet muda, kek Bu Yasmin. Perawatannya luar dalam. Pak Zyan nggak pelit ke istri. Semua uang gajinya dipegang Bu Yasmin. Perempuan kalau udah begitu, bahagia hidupnya. Beruntung Bu Yasmin amanah, pinter ngelola duit suaminya." Mas Tarno ikut berkomentar.
"Suami idaman kalau begitu, ya?" ucapku sambil menggigit paha ayam.
"Iya, godaannya banyak. Kalau jadi Pak Zyan, mesti kuat iman. Cewek cantik banyak yang antri katanya," balas Bik Sum.
"Antri ngapain?"
"Jadi istri kedua."
"Ya, ampun. Semua laki-laki ya mesti kuat iman, Bik. Kalau nggak digoda, ya tergoda, bisa juga malah menggoda. Iya kan, Mas?" tanyaku pada Mas Tarno. Satu-satunya laki-laki di antara kami.
"Nah, betul kata Diah. Sifat laki-laki ya seperti itulah, hehehe ...." kekeh Mas Tarno.
"Kalau Pak Reiner gimana?" tanyaku masih penasaran.
"Kalau Pak Reiner nasib rumah tangganya kurang baik. Tahun kemarin cerai. Katanya sih istrinya ketahuan selingkuh sama rekan kerjanya. Istrinya wanita karir, belum siap punya anak. Padahal Pak Reiner udah pengen banget punya anak. Non Lily jadi ponakan kesayangan Pak Reiner," jawab Bik Sum sambil berbisik.
Kegiatan para ART begini amat ya? Kepo sama kehidupan para majikannya. Berbisik-bisik ngomongin, bertukar informasi mengenai majikan.
"Oooh, gitu ya? Mungkin itu salah satu sebab kenapa Pak Reiner agak kaku, jutek dan julid kali, ya?" Akhirnya aku memberi kesimpulan.
"Ekheeeem! Makan sambil bergosip itu apa tambah enak?" Terdengar suara seseorang dari belakang.
Kami semua menengok ke sumber suara. Alamak! Pak Reiner!
Laki-laki itu berjalan santai, membuka pintu kulkas, mengeluarkan botol sirup lemon, menuangkan dalam gelas lalu mencampurnya dengan air dingin dan menenggaknya sampai habis.
"Kamu! Juru masak baru!" Telunjuknya mengarah padaku.
'Mati aku!' pekikku dalam hati.
"Iii ... Iya, Pak. Saya?" jawabku gagap. Aku takut dipecat. Belum juga sehari kerja masa sudah dipecat?
"Saya menginap di sini. Besok pagi, masak nasi uduk yang biasa kamu jual!" perintah Pak Reiner tegas.
Aku melongo. Kupikir, aku bakal kena semprot.
Tanpa menunggu jawabanku, laki-laki itu berlalu, kembali ke meja makan.
"Nasib baik ...." Bik Sum dan Mas Tarno mengelus dada masing-masing lalu kembali melanjutkan makan.
Aku ikut mengelus dadaku sendiri. Hampir saja!
*
Uhhhuuy ceritanya makin seruuuu 😍
Tiap babnya makin lucu, makin haru, bisa bikin hatimu bahagia bapeeerr paraaah 😍
Setting cerita Diah itu di Bekasi dan Santorini Yunani, yaaa.
Selengkapnya 👇
https://read.kbm.id/book/detail/7abf20d3-d3de-4221-b800-36c5298af10f?af=09c7e809-c55d-d096-1be4-0c9c4cab45cb