Awalan

BISIKAN MESRA ART


 BISIKAN MESRA ART 25


Mislati tersadar di ruangan berlangit-langit putih. Dia berusaha mengingat apa yang terjadi sebelumnya. Bayangan Kartawirya yang mengusirnya berkelebat, Bonar yang memberi saran, juga supir taksi yang menurunkannya di depan hotel. Mislati akhirnya ingat kalau dia tertabrak mobil.


 


“Syukurlah kamu sudah sadar.” Terdengar suara seorang wanita.


 


“Siapa Anda?” tanya Mislati pada wanita berlipstik merah hati tersebut.


 


“Maaf, Dek. Tadi mobil saya menabrakmu. Saya telat menginjak rem karena kamu menyeberang dengan tiba-tiba. Oh ya, kenalkan nama saya Ike.”


 


“Terimakasih sudah menolong saya,” kata Mislati.


 


“Tadinya saya ingin membawamu ke rumah sakit tapi setelah saya periksa, tidak ada luka di tubuhmu. Kamu hanya pingsan jadi saya membawamu ke rumahku.”


 


“Maaf, saya merepotkan. Tadinya saya ingin menginap di hotel. Saya buru-buru jadi tidak melihat kanan dan kiri sebelum menyeberang.”


 


“Hotel bintang tiga itu?”


 


“Iya.”


 


“Untung kamu nggak jadi menginap di sana. Saya kenal pemiliknya dan saya pernah dapat job untuk mengusir hantu di hotel itu karena sering ganggu tamu yang menginap. Tapi, pemiliknya terlalu pelit. Ketika saya memintanya untuk melakukan ritual doa dengan mengorbankan satu ekor kebo bule, dia tidak mau. Sayang uangnya, katanya. Kebo bule harganya mahal, satu ekor bisa sampai 30 juta,” terang Ike sembari menuang air ke gelas lelu memberikannya pada Mislati.


 


Mislati yang tadinya berbaring, perlahan duduk, dan menerima gelas itu.


 


“Jadi Anda adalah dukun?” tanya Mislati.


 


“Dukun itu kan kalau di kampung, Dek. Di kota, orang nyebut paranormal. Ayo, diminum airnya supaya lekas pulih.”


 


“Terimakasih.” Mislati meneguk air itu.


 


“Maaf kalau saya lancang, ya, Dek. Tapi dari hasil terawangan saya, adek ini sedang sangat sedih. Sedih membuat energimu rendah sehingga hal-hal sial akan mudah mendatangimu. Contoh kesialannya adalah … kamu tertabrak mobil saya. Bolehkah saya tahu masalahmu apa, Dek? Barangkali saya bisa bantu.”


 


“Dari mana saya harus mulai cerita? Saya malu.”


 


“Cerita saja. saya sudah sering menampung masalah orang. Macam-macam, ada yang suaminya menikah lagi sampai selingkuh sama mertuanya sendiri. Kerahasiaannya bisa saya jamin, Dek.”


 


Mislati akhirnya luluh juga oleh bujuk rayu Ike. Perempuan itu pun menceritakan masalahnya, mulai dari pertemua dengan Jatmika, pemuda itu mencari ayahnya, perbedaan status sosial, hingga pengusiran oleh Kartawirya.


 


“Sekarang saya tidak tahu lagi harus tinggal di mana. Ingin menemui bapak tapi saya malu dan kasihan nanti beliau sedih.”


 


“Intinya, mertuamu tidak suka padamu karena kalian beda status sosial, begitu?”


 


“Iya.”


 


“Gampang sih. Kamu hanya perlu membuat mertuamu suka padamu biar bisa diterima sebagai menantu.”


 


“Tapi … bagaimana caranya? Saingan saya terlalu berat. Dia bangsawan cantik berdarah Belanda.”


 


“Saya tahu caranya. Saya bisa bantu kamu.”


 


“Sungguh? Tapi … saya tidak punya uang.”


 


“Tenang saja, Dek. Saya berniat membantu dengan tulus. Anggap saja sebagai ucapan permintaan maaf saya karena telah menabrakmu.”


 


“Terimakasih, Nyonya Ike.”


 


“Saya akan memberimu mantra pelet dan memberi tahu bagaimana cara menggunakannya. Kamu bisa memakai mantra itu untuk membuat laki-laki mana pun menyukaimu. Tergantung niat di dalam hatimu. Apakah laki-laki itu ingin kau jadikan suami atau sebatas agar bisa menerimamu dalam rumahnya.”


 


“Bagaimana mantranya, Nyonya?” Mislati penasaran dan tidak sabar ingin menggunakan mantra itu untuk meluluhkan hati Kartawirya agar mau menerimanya sebagai menantu.


 


”Tapi, kamu sedang kurang sehat sekarang. Tidak akan ada efeknya kalau kamu lakukan saat sedang tidak enak badan karena fokusmu mudah terpecah. Kamu harus pulih dulu. Istirahatlah dulu di sini barang satu atau dua hari. Setelah itu kita baru muali belajarnya.”


 


 Mislati tidak punya pilihan selain menuruti apa kata Ike. Selain itu, tawaran Ike juga memudahkan dirinya sehingga tidak perlu terburu-buru mencari tempat kos.


 


“Apa Mas Jatmika akan mencariku setelah tahu aku tidak ada di rumahnya?” batin Mislati.


 


*


 


Sepulang dari pabrik, Jatmika kebingungan mencari Mislati karena istrinya itu tidak ada di kamar. Dia bertanya pada semua pelayan tapi tidak ada yang menjawab. 


 


“Bonaaar!” teriak Jatmika memanggil kepala pelayan.


 


Bonar berlari dari ruang tengah, mendekati Jatmika yang berdiri dengan berkacak pinggang di bawah tangga.


 


“Ada apa, Den?”


 


“Ke mana istriku?”


 


“Maaf saya mengatakan ini, Den. Tapi kanjeng putro mengusirnya karena Mislati ketahuan mencuri perhiasan milik mendiang kanjeng putri.”


 


“Bohong kamu! Tidak mungkin Mislati bertindak seperti itu. Dia gadis polos dan jujur,” bela Jatmika.


 


“Apanya yang tidak mungkin?” Kartawirya menyela. Laki-laki paruh baya itu berjalan mendekati Jatmika dan Bonar dari arah pintu utama, sekitar dua puluh langkah di sebelah kanan tangga.


 


“Ini pasti fitnah, Romo.” Jatmika bersikeras.


 


“Siapa yang memfitnah? Semua orang menjadi saksi dan melihat Mislati masuk ke kamar ibumu. Lagipula untuk apa para pelayan di sini memfitnah Mislati? Apa untungnya buat mereka?” sanggah Kartawirya.


 


“Bukan mereka yang memfitnah,” ujar Jatmika lirih.


 


“Kau menuduhku? Berani-beraninya kau ini. Bukan sesuatu yang mengherankan jika gadis itu mencuri saat melihat perhiasan mewah. Ingatlah derajatnya, Jatmika!” Kartawirya berkata tegas.


 


“Daripada kau sibuk mencari maling itu, lebih baik kau urus pernikahan dengan Paulina. Salam satu atau dua hari, berpisah dengan istrimu memang menyakitkan, tapi lukamu akan sembuh seiring berjalannya waktu dan merasakan cinta yang baru dengan Paulina. Percayalah apa kataku karena aku sudah makan asam garam kehidupan,” imbuhnya sebelum berlalu meninggalkan Jatmika.


 


“Sabar, Den,” hibur Bonar.


 


Bonar tahu kalau Mislati tidak mencuri. Kartawirya sudah memerintahkan para pelayan untuk membuat alasan yang sama jika Jatmika bertanya mengapa Mislati pergi, oleh sebab itu Bonar tidak berani menceritakan kebenarannya pada Jatmika. Bonar tidak ingin dimurkai Kartawirya yang bisa mengancam pekerjaan yang selama ini dilakoninya.


 


“Ke mana Mislati pergi? Dia tidak kenal siapa-siapa di kota ini. Dia tidak mungkin mencuri. Ini pasti akal-akalan romo,” gumam Jatmika. Tangannya mengepal menahan amarah.


 


“Jangan bicara begitu, Den. Nanti didengar kanjeng putro malah runyam masalahnya,” kata Bonar. Dia berusaha mengingatkan Jatmika.


 


“Apa yang harus saya katakan pada Pak Kasdipo?” Jatmika sangat sedih. Dia merasa tidak becus menjadi laki-laki karena tidak bisa menjaga istrinya.


 


“Dia akan marah kalau tahu, Den,” ucap Bonar.


 


Jatmika memandang Bonar dengan sorot penuh tanya.


 


“Apa maksudmu?”


 


“Den Jatmika tidak perlu memberitahunya.”


 


“Bagaimana kalau Mislati mencari bapaknya? Bapaknya juga ada di kota ini. Meski saya tidak bilang, dia pasti tahu dari Mislati. Ngaco kamu, Bonar.”


 


“Tidak, Den. Saya yakin Mislati tidak ke sana. Dia pasti malu menemui bapaknya setelah ketahuan mencuri.” 


 


Bonar sebenarnya tahu kalau Mislati ditabrak seorang wanita dan ikut ke mobil wanita itu. Dia menyuruh salah satu anak buahnya untuk mengikuti ke mana taksi yang ditumpangi Mislati pergi. Jalan tempat Mislati tertabrak mobil berlawanan arah dengan mebel tempat Kasdipo bekerja.


 


“Ke mana saya harus mencarinya?”


 


“Kenapa Den Jatmika tidak menurut saja apa kata kanjeng putro? Den Jatmika adalah anak laki-laki di rumah ini, yang berkewajiban mikul duwur mendem jeru, menjunjung tinggi martabat dan menutupi aib keluarga.”


 


“Enak sekali bicaramu, Bonar.”


 


“Maafkan saya, Den. Saya sudah lama bekerja pada kanjeng putro jadi sudah tahu sifatnya. Keputusan beliau tidak pernah bisa diganggu gugat.”


 


“Argh! Sama saja kau ini, Bonar. Cuma uang saja yang ada dalam pikiranmu dan pikiran romo. Saya muak berada di rumah ini,” kata Jatmika dengan suara keras. Laki-laki itu melangkah panjang menuju halaman.


 


Pemuda itu masuk ke mobil, membanting pintu dengan keras, lalu melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Pikiran Jatmika kalut. Dia bingung akan mencari Mislati di mana, dan lebih bingung lagi jika ingat bahwa sang ayah menolak pernikahannya dengan Mislati. Di satu sisi, Jatmika mencintai Mislati. Di sisi lain, dia takut durhaka pada ayahnya. 


 


Pikiran yang kacau membuat Jatmika tidak lagi fokus menyetir. Ketika sampai di jalan menikung, bukannya menginjak rem, Jatmika menambah gas. Mobilnya melaju kencang, menabrak pembatas jalan dan terjun ke jurang.


Sudah tamat di KBM APP

Bisikan Mesra ART - Mien Hessel

"Nanti malam kuhisap, ya, Pak."


Pesan itu masuk ke ponsel suami Lila dan diberi nama Servis Laptop....


Baca selengkapnya di aplikasi KBM App. Klik link di bawah:

https://read.kbm.id/book/detail/214df4c2-116a-4fb9-b193-e46e1806cdab

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel