Awalan

MISTERI HARTA DARI MAJIKAN


 Baru 3 bulan aku bekerja sebagai pembantu, mendiang majikanku lebih memilih mempercayakan hart4nya padaku ketimbang pada istrinya. Sebenarnya apa yang dipikirkannya?


***


"Jadi, berdasarkan surat wasiat yang dibuat dan ditandatangani Tuan Cahyadi Arif pada tanggal 22 Agustus 2023, hart4 kekay4an beliau berikan kepada Nyonya Rima selaku istri sah Tuan Cahyadi, Tuan Muda, dan Nona Syana Adiba."


Sontak kepala Syana yang awalnya tertunduk terangkat ke atas. Ia seperti orang yang baru saja dilempari petasan. Kaget bukan main rasanya. 


"Bagaimana mungkin, Pak?" teriak Clarissa --putri Tuan Cahyadi-- yang sama terkejutnya dengan Syana. "Kenapa nama Mama nggak ada. Lagian Syana juga bukan istri, bukan anak, bukan kerabat. Perempuan ini cuma pembantu. Mana bisa hart4 Papa diberikan sama pembantu. Nggak masuk di akal."


"Alasan persisnya saya nggak tahu, Nona. Saya hanya menyampaikan sesuai apa yang diamanatkan Tuan Cahyadi semasa hidupnya." Haidar, orang kepercayaan Cahyadi yang ditugaskan membacakan surat wasiat itu berbicara.


"Tapi ini nggak logis, Pak. Pembantu itu kerja di sini belum lama. Kalau Papa berniat memberikan kekayaannya sama pembantu, kenapa bukan Mbok Unah aja yang udah bekerja puluhan tahun, atau Pak Anwar, atau Mbak Ratih, atau mungkin Mang Aceng? Kenapa justru dikasihin pembantu yang paling baru sih?"


"Kamu pasti telah melakukan sesuatu pada suamiku." Dengan cekatan, Hesti, istri Tuan Cahyadi, mencengkram dagu Syana. Kepalanya berdenyut nyeri lantaran namanya tidak ada di dalam daftar.


"Ampun Nyonya. Saya benar-benar tidak tahu." Syana meringis.


"Kalau kamu cuma diam, nggak melakukan apa-apa, nggak mungkin suamiku memberikan hart4nya sama pembantu sepertimu. Di sini ada aku dan putrinya. Ayo ngaku. Apa yang sudah kamu lakukan sama suamiku? Apa kamu sudah mengancamnya, haa?"


"Mana mungkin saya berani Nyonya, yang ada saya bisa dipecat kalau melakukan itu."


"Lalu apa yang sudah kamu lakukan, haa? Ah, ya ... kamu pasti mengguna-guna suamiku," tuduh Hesti dengan sorot mata berapi-api.


"Nyonya tahu sendiri saya selalu di rumah. Jika Tuan sedang istirahat, saya selalu membantu pekerjaan ART lain sesuai perintah Nyonya. Lantas kapan saya pergi ke dukunnya?"


Meskipun terlahir di dusun, Syana bukanlah gadis penakut. Ia masih memiliki nyali untuk membela diri. Hidup sebatang kara di tengah kerasnya kota besar, ditambah dengan sejarah hidup yang penuh air mata, Syana telah terlatih menjadi kuat, seperti sekarang. 


"Aku nggak percaya dengan omonganmu. Siapa tahu, kamu telah merencanakan semuanya sebelum masuk ke rumah ini." Wanita paruh baya yang wajahnya terlihat jauh lebih muda dari usianya itu terus mencecar Syana. Ia merasa dikhianati. 


Dengan tangannya sendiri, Hesti memungut Syana yang sempat lontang-lantung di jalanan lantaran kehilangan pekerjaan, memberinya tempat tinggal, makanan, serta kepercayaan. Tanpa diduga, gadis berwajah polos itu justru menus*kknya dari belakang. Hatinya sakit tidak terkira.


"Atau jangan-jangan, kamu menggendam suamiku? Ngaku kamu." Hesti ganti menarik rambut Syana yang dikuncir kuda.


"Mohon tenang, Nyonya Hesti. Jangan melakukan tindak kekerasan." Suara Haidar membuat tarikan di rambut Syana mengendur, lalu terlepas. 


"Pasti ada kesalahan, Pak. Mungkin Papa melakukan itu dalam keadaan tidak sadar, atau mungkin di bawah tekanan seseorang." Clarissa menegakkan tubuhnya. Ia berjalan angkuh mendekati Haidar.


Haidar tersenyum. "Tuan Cahyadi membuat surat ini dalam keadaan sadar sepenuhnya. Ada tanda tangannya di sini, matrai, dua orang saksi yang langsung saya datangkan ke mari. Silakan, bisa dicek salinannya. Surat ini sah."


"Tapi buat apa Papa melakukan itu. Selama ini hubungan kita baik-baik aja, Pak."


Haidar mengendikkan kedua bahunya.


"Oh ... aku tahu. Kamu pasti diam-diam telah menggoda Papa, masuk ke kamarnya saat Mama nggak ada dan melakukan pergum*lan haram." Dituding-tuding wajah Syana dengan jari lentik Clarissa.


"Kurang aj*r." Hesti yang termakan hasutan anaknya buru-buru mengangkat tangannya. Beruntung Haidar dan kedua saksinya berhasil melerai. 


"Saya tekankan sekali lagi, Nyonya jangan berbuat k4sar. Kalau sampai Nyonya memukul Nona Syana, Nona Syana tidak terima dan membawa kasus ini ke jalur hukum, Nyonya bisa mendekam di balik penjara. Ingat itu Nyonya."


"O, iya. Saya hampir lupa, pesan ini tidak tertulis dalam wasiat. Tapi saya harus menyampaikannya, karena ini amanat. Tuan Cahyadi pernah mengatakan, selama Nyonya Rima dan Tuan Muda belum kembali, Nona Syana dipercaya untuk mengelolanya semua asetnya. Satu lagi, jika Nona Syana mau ... saya tekankan sekali lagi, jika Nona Syana mau, Nona Syana bisa memberikan jatah bulanan dan tempat tinggal pada Nyonya Hesti dan Nona Clarissa. Tapi, itu tidak ada paksaan. Jika Nona Syana mau saja. Namun, jika dia tidak berkenan, mereka berdua harus segera angkat kaki dari rumah ini."


Hesti dan Clarissa kompak mendelik.


"Baiklah Nona Syana, mari kita selesaikan surat menyurat ini. Ikuti saya."


Syana berjalan mengikuti Haidar menuju mobil. Entah ke mana, pria berusia 30 tahun itu akan membawanya. Ia menurut saja.


***


Setelah menyelesaikan surat menyurat, Syana kembali dipulangkan. Mengingat reaksi brutal Hesti dan Clarissa, serta merasa bahwa Syana akan mengalami hari-hari sulit selepas surat itu dibacakan, Haidar memberi Syana nomor ponselnya.


"Jika Nona Syana membutuhkan bantuan, hubungi saya kapanpun. Tuan Cahyadi percaya sama Nona. Nona pasti bisa mengemban semua ini dengan baik."


Kata-kata yang baru saja diucapkan oleh Haidar membuat Syana teringat akan ucapan majikannya seminggu, sebelum Tuan Cahyadi meninggal dunia. 


"Aku percaya sama kamu. Kamu gadis yang baik. Apa kamu mau menolongku, Nak? Jika kamu mau, aku janji akan memberikan imbalan. Kamu tidak akan kekurangan lagi di sisa umurmu." Syana berhenti mendorong kursi roda yang diduduki majikannya. 


"Jika saya bisa, tentu saja saya akan membantu, Tuan. Tak perlu memberi saya imbalan. Saya sudah banyak berhutang budi pada Tuan dan Nyonya."


"Aku ingin kamu menjaga hart4ku yang paling berharga. Nanti, di hari yang tepat, aku akan menjelaskan apa yang harus kamu lakukan."


Syana menekuk dahinya dalam. 


Sayangnya, hari yang tepat itu tak akan pernah tiba. Tuan Cahyadi berpulang sebelum memberi Syana penjelasan. 


"Nona Syana ... masuklah. Tunggu apalagi."


Syana tersadar. Haidar membunyikan klaskon sebelum pergi. Dengan langkah gamang, Syana berjalan memasuki kediaman megah yang katanya telah diberikan kepadanya. 


"Aku harus menjaga hart4 Tuan yang seperti apa? Nyonya Hesti juga bisa melakukannya," gumam Syana. 


Tepat di teras, langkahnya dipaksa berhenti. Pakaian dan barang-barangnya sudah terserak di lantai, seperti sengaja dilempar dari dalam.


"Mama, srigala berbulu dombanya sudah pulang tuh," teriak Clarissa dari ambang pintu.


Hesti buru-buru keluar. "Jal*ng, punguti semua itu lalu segera pergi dari sini. Jangan harap kamu bisa menikmati hart4 suamiku. Segeralah pergi, sebelum aku berubah pikiran lalu mencek*kmu sampai mat*." 


Urat-urat di wajah cantik itu terlihat menonjol parah, pertanda kemarahan Hesti tengah berada di puncak.


"Mbok Unah ...."


"Iya, Nyah." Wanita senja itu muncul dari belakang tubuh Hesti.


"Tunjukkin di mana letak pintu gerbang sama jal*ng ini. Pastikan juga dia nggak kembali." Hesti menutup kasar pintu itu.


"Mari Non Syana, simbok bantu."


Setelah membereskan pakaian dan barangnya, Syana diantar Mbok Unah ke pintu gerbang.


"Begitulah Non, watak asli Nyonya. Simbok udah afal. Makanya Nyonya Rima dan Tuan Muda pergi dari rumah."


"Tuan Muda?"


Syana sudah pernah dengar kalau Tuan Cahyadi memiliki dua istri. Tapi tentang Tuan Muda, ia baru dengar kali ini.


"Tuan Muda itu anak kandungnya Tuan Cahyadi dan istri pertamanya. Jadi Nyonya Hesti itu seorang janda beranak satu sewaktu menikah di bawah tangan sama Tuan Cahyadi, Non."


"Ooooohhhh ...." Syana manggut-manggut. "Ah, ya Mbok, jangan panggil Non, dong. Kedengerannya nggak enak. Panggil Syana aja."


"Jangan. Non Syana sekarang udah jadi orang yang dipilih sama majikan Mbok. Kalau saran Simbok, lebih baik Non hubungi Pak Haidar terus masuk ke rumah lagi."


"Mbok Unah ... jangan lama-lama." Tiba-tiba Clarissa berteriak dari ambang pintu."


"Kalau gitu saya permisi, Non." Mbok Unah meninggalkan Syana di balik pintu gerbang. Tak lupa ia menggembok pintu gerbang itu.


"Nyonya Rima? Tuan Muda? Apa mungkin mereka yang dimaksud harta berharg4 sama Tuan Cahyadi ya?" 


Syana mengambil gawai yang sejak tadi dikantonginya untuk menelepon Haidar. Jika benar keluarga Tuan Cahyadi pergi meninggalkan rumah, maka Syana harus membawa mereka kembali. Sebelum itu, Syana tidak boleh terusir. Ia harus kembali untuk menertibkan Hesti dan Clarissa.


"Hallo, Pak Haidar ...."


Bersambung ....


***


Kira-kira jawabannya Haidar kayak gimana ya? 🤔


Baca selengkapnya di aplikasi KBM App. 


Judul : MISTERI HARTA DARI MAJIKAN

Penulis : MyaRira


Atau klik link tautan di bawah:


https://read.kbm.id/book/detail/35d32ee9-03d3-4bfa-89f2-2b83d78cdaa7

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel