IBUKU BUKAN PEMBANTU (3)
"Hallo Mas Danu?" Tak ada sahutan lagi dari dalam ponselku. Aku merasa heran, kenapa tiba-tiba sambungan teleponnya terputus.
Namun, aku tak ambil pusing dan memilih masuk ke dalam kamar yang aku tempati dulu. Keadaan kamar masih sama persis seperti dulu, ternyata Ibu merawat kamarku dengan baik, tetapi tetap saja semua barang yang ada di sana sudah terlihat usang.
"Nok, ayo makan," ajak Ibu setelah menyiapkan makanan yang aku pesan lewat aplikasi hijau. Cepat sekali makanannya datang, padahal tadinya aku berencana mandi lebih dulu.
Namun, makanan-makanan tersebut sudah rapi terhidang di atas meja, tak enak kalau harus membiarkan Ibu menunggu, kuputuskan makan lebih dulu baru mandi. Aku dan Ibu mulai makan sambil sesekali menceritakan kehidupanku di singapura.
"Nok, mana suamimu? Apa kamu malu membawa suamimu ke rumah ini?" tanya Ibu sela-sela kegiatannya menyuapiku, kebiasaan Ibu tetap tidak bisa di rubah, jika aku baru pertama kali datang ke rumah, ia akan menyuapiku makan.
"Bukan begitu, Bu. Dia masih ada urusan di kota, minggu ini pasti ke sini, karena ada pekerjaan juga yang harus di urus," jawabku yang hanya di angguki oleh Ibu.
"Oh begitu, besok pagi kamu mau datang, kan? Ke acara syukuran Wa Darsih dan Bik Minah, katanya si, Pak RT menyarankan acaranya jadi di gabung begitu, karena rumah mereka juga berdekatan, biar tidak membuat repot warga yang ikut mendoakan," ucap Ibu.
Aku manggut-manggut mendengar penjelasan ibu, tapi dari yang aku tangkap, si. Baik Wa Darsih maupun Bik Minah sama-sama tidak mau mengalah, hingga membuat Pak RT menjadikan acara mereka berjalan bersamaan, tentunya agar tidak membuat tetangga bingung harus datang ke mana, tebakku.
"Aku akan menemani Ibu," sahutku, jangan sampai Ibu di hina lagi di sana, aku harus memastikan Ibu aman dan meninggikan derajat Ibu di depan mereka.
Belum habis makanan yang kita makan, tiba-tiba terdengar salam dari luar, "Assalamualaikum."
"Waalaikumusalam," jawabku dan Ibu bersamaan, Ibu lalu membuka pintu, Mas Danu dan Mbak Fitri masuk dengan tergesa dan langsung memberondongku dengan banyak pertanyaan.
"Afifah, kenapa pulang? Kapan kamu datang? Kok tidak memberitahu, Mas?"
"Tanyanya satu-satu, Mas," ucapku bingung menjawab pertanyaannya. "Mas sendiri bagaimana kabarnya? sepertinya sangat sehat." tanyaku berbasa-basi sambil sedikit menyindir.
"Mmm-mas baik, Oh iya kenalkan, ini istri Mas, namanya Fitri, dan ini Zara ponakanmu," jelas Mas Danu semakin salah tingkah.
"Tadi Mbak, kesini? Kenapa balik lagi?" tanyaku pada wanita modis dengan riasan medok di hadapanku.
"Iya, tadi Mbak kelupaan, ada yang ketinggalan," jawab Mbak Fitri sambil cengengesan.
"Kamu belum jawab pertanyaan, Mas, Fah?" tanya Mas Danu masih penasaran alasan kepulanganku. dengan
"Ahh, itu. Aku ingin menetap di Indonesia, dan aku enggak bilang akan pulang, karena ingin memberi kalian kejutan, tapi ternyata aku yang terkejut." Aku sengaja bersikap sarkas untuk mengetahui alasan apa yang akan Mas Danu ucapkan untuk semua kekacauan ini.
"Terkejut? Maksud kamu apa?" tanya Mas Danu gugup.
"Mas, aku memberi uang belanja ibu 5 juta per bulan, kenapa Ibu sampai tidak punya lauk sama sekali di rumah. Lalu, kata Uwa Darsih dan Bik Minah, katanya Ibu suka minta makan bergantian ke sana, dan sebagai gantinya ibu bantu-bantu kerja di sana, kenapa bisa begitu, Mas?" Aku masih mencoba bersikap tenang, masih ingin mendengarkan apa alasan Mas Danu.
"Apa? Ibu minta makanan ke Uwa Darsih dan Bik Minah? Masalah ini Mas, benar-benar enggak tahu, Fah." Mas Danu terlihat terkejut, entah itu benar atau tidak, ekspresinya menunjukkan memang dia terkejut.
"Bu, kenapa Ibu melakukan itu, padahal aku tiap bulan kasih ibu uang," lanjut Mas Danu sambil mendekati Ibu, Mas Danu terlihat meremas tangan Ibu.
"Begini sebenarnya, Fah. Kami mengaku salah, lebih tepatnya Mbak yang salah, uang yang kamu kasih sebanyak 5 juta itu, Mbak hanya kasih ke Ibu 2 juta, Karena Mas Danu menganggur, Mbak harus beli susu buat Zara, Maafkan Mbak, ya. Maafkan Aku ya, Bu." Mbak Fitri ikut- ikutan mendekat ke arah Ibu, kini keduanya berada di hadapan Ibu.
Tiba-tiba raut wajah Ibu berubah. "Sudahlah Fah, Ibu Ikhlas Kok, Nak." Ibu menatapku sendu, "Kalian bangunlah," ucap Ibu pada Mas Danu dan Mbak Fitri.
Aku menghela nafas pelan, sebaik itu Ibu pada anak dan menantu tirinya itu, tapi, aku merasa ada hal yang Ibu sembunyikan. Namun, aku tak bisa kembali protes, karena jika Ibu berkata sudah, maka aku harus menurutinya.
"Baiklah untuk masalah ini aku diam, kalau begitu, bagaimana uang 200 juta yang lima bulan lalu aku kirimkan untuk renovasi rumah ini, Mas Danu bilang rumah ini sudah hampir roboh dan butuh di renovasi, kenapa keadaannya masih seperti ini?" cercaku.
"Itu itu " Mas Danu terlihat kebingungan, kulirik Mbak Fitri, ia pun terlihat sama, gelagat keduanya aneh.
"200 juta apa?" tanya Ibu penasaran.
"Jadi, Bu. Sekitar 5 bulan yang lalu, Mas Danu meminta uang sebesar 200 juta, katanya untuk renovasi rumah ini, dan aku langsung mentransfernya, tapi kenyataannya rumah ini hampir roboh seperti ini, kemanakan uang itu, Mas?" tanyaku kesal.
"Uu-uangnya ada kok, Fah. Maksud Mas ...." Mas Danu terlihat sangat kebingungan untuk menjawab.
"Uangnya sudah di buat renovasi, rumah Mbak, Fah. Memangnya Mas Danu enggak bilang, kalau yang mau di renovasi itu rumah Mbak, rumah yang sekarang Kakakmu dan ponakanmu tinggali," ucap Mbak Fitri enteng.
"Apa!" Aku sampai ternganga mendengar ucapannya yang begitu mudah terlontar dari mulut Mbak Fitri.
"Astaghfirullahaladzim," aku mengelus dadaku yang bergemuruh, bagaimana bisa ada orang tidak mempunyai malu seperti Mbak Fitri. "Mbak, apa hubungannya aku yang bekerja mati-matian di negeri orang dan uangnya dengan mudah kamu pakai untuk renovasi rumah Mbak yang bukan siapa-siapa aku, orang bodoh mana yang mau memberikan uang cuma-cuma?" emosiku mulai memuncak.
"Lihat, adik kamu ini ternyata perhitungan sekali, Mas. Lagian juga rumah itu di tinggali Kakaknya dan ponakannya, bukan orang lain," celetuk Mbak Fitri, membuat darahku semakin mendidih. Ingin aku cakar saja wajah sok cantik Mbak Fitri, untung saja aku masih waras.
"Fit, biar aku yang berbicara dengan Afifah." Mas Danu menarik tangan Mbak Fitri untuk mundur ke belakang tubuhnya.
"Fah, maafkan Mas, ini semua gara- gara Mas, yang enggak becus sebagai kepala keluarga dan sebagai anak, tolong kamu dapat memaklumi keadaan, Mas. Mas Janji akan mengganti uang itu sedikit demi sedikit," ucap Mas Danu terlihat menyesal.
"Mas enak saja mau ganti!" Mbak Fitri melotot ke pada Mas Danu, "Bagaimana kamu bisa menggantinya, kamu kerja saja tidak," omel Mbak Fitri.
Aku kembali melotot mendengar ucapan Mbak Fitri, terus aku harus mengikhlaskan uang 200 jutaku untuk rumah orang yang tak ada hubungannya denganku? Enak sekali Marimar.
"Fah, kamu tolong Mas ya, kali ini saja. Beri Mas waktu, Mas janji bakal ganti kalau Mas sudah bekerja. Untuk itu, jika ada info lowongan pekerjaan kamu beri tahu Mas, ya." ucap Mas Danu dengan muka sok polosnya.
Demi Allah, rasanya aku ingin melempar dua orang tak tahu malu di hadapanku ini.
"Afifah Suara Ibu membuatku sedikit mereda.
"Iya Bu," sahutku.
"Sudah, jangan ribut-ribut, malu di
dengar tetangga. Sekarang tolong
kamu maafkan Kakakmu, bantulah
dia. Rumah ini masih bisa di tinggali,
Kok. Ibu enggak apa-apa," ucap Ibu,
ia begitu mudah memaafkan Mas
Danu yang notabenenya hanya anak
tiri. Mas Danu memang satu ayah
denganku, tetapi berbeda Ibu.
Namun, Ibu begitu sayang kepadanya
seperti anaknya sendiri, tetapi Mas
Danu tak tahu diri.
Betapa kesalnya aku, uang 200 juta itu tidak sedikit, di tambah lagi, uang bulanan yang aku berikan pada Mas Danu, hanya sampai ke Ibu 2 juta saja, itu juga masih kusangsikan, benar atau tidak kalau ibu menerima uang dua juta sebulan. Jika Ibu menerima uang tersebut, setidaknya ibu masih bisa membeli lauk pauk meski hanya sepotong tempe, dan Ibu juga tidak sampai harus menjadi buruh atau pembantu di rumah Uwa Darsih dan Bik Minah, pasti ada yang tidak beres, aku harus menyelidiki apa yang terjadi.
"Sudahlah Mas, ayo kita pergi saja," ucap Mbak Fitri mengajak Mas Danu pergi, belum juga mereka melangkah pergi, tiba-tiba di luar terdengar suara gaduh memanggil-manggil nama Ibu.
"Hasnah ... Hasnah ...!"
Siapa si, ribut-ribut di depan rumah orang?