Terpaksa Menju4l Keh0rm4tan (Bab 2 )
Aku terkesiap saat menoleh ke ambang pintu dapur dan melihat mas Bisma yang sudah bersandar di sana dengan santainya.
Aku memalingkan lagi tatapan mataku ke arah layar telepon genggamku. "Ndak usah, Mas. Saya bisa pulang sendiri. Saya permisi, Mas. Tolong nanti bilangin sama ibu."
"Gak mau sun tangan dulu gitu sama aku?"
"Idih, najis," sewotku yang langsung keluar melalui pintu dapur yang terhubung ke halaman samping tempat menjemur pakaian. Sementara telingaku bisa menangkap suara Mas Bisma yang tergelak.
Setibanya di pinggir jalan, telepon genggamku berdering. Nomor tak dikenal menghubungiku.
"Siapa sih yang menghubungiku? Orang iseng kayaknya. Atau jangan- jangan ini nomor Mas Bisma yang lain?" Aku mendengus kasar dan mengabaikan panggilan telepon itu.
Saat aku kembali melangkah sambil
menunggu angkot lewat, telepon
genggamku kembali berdering.
Kulihat panggilan telepon itu dari
nomor yang sama. Akhirnya
kuputuskan untuk menerima
panggilan telepon itu.
"Halo," sapaku.
"Halo, dengan Bu Seruni, istri dari pak Ihsan?"
"Iya betul. Ini siapa?" tanyaku dengan kerutan yang dalam di keningku.
"Kami dari rumah sakit. Suami Anda mengalami kecelakaan parah."
"Apa?!"
***
Melalui kaca jendela ruang ICU, aku melihat Mas Ihsan yang tergolek lemah tak berdaya dengan berbagai alat medis yang menempel di tubuhnya. Bahkan untuk bernapas pun harus memakai alat bernama CPAP.
"Mas Ihsan! Kenapa harus begini?!" jeritku dengan suara kencang diantara tangisku.
Tiba-tiba telingaku mendengar suara derap langkah kaki yang berlari mendekat ke arahku. Di antara lemahnya tubuhku, aku mencoba membuka mata.
"Semua ini gara-gara kamu, Seruni!"
Suara umpatan itu terasa seperti
menusuk gendang telingaku diikuti
dengan perihnya pipiku yang baru
saja mendapatkan sebuah tamparan
keras. Saat mataku sudah terbuka
lebar, kulihat oleh Bu Minten, Ibu
mertuaku, sudah berdiri di
hadapanku. Padahal hatiku juga
masih terluka melihat keadaan Mas
Ihsan, suamiku.
"Coba aja kamu gak manja, pakai acara pengen diantar jemput segala sama Ihsan. Mungkin anakku gak bakal ngalamin kecelakaan parah kayak gini!" pekiknya lagi, yang terasa begitu menusuk jauh ke dalam relung hatiku yang paling dalam.
Aku merasa tindakan Mas Ihsan itu sebuah kewajaran. Sebagai seorang suami, mengantar jemput istrinya yang bekerja, bukanlah hal buruk.
Bu Minten memang mengucapkan selalu kata-kata benci padaku dengan alasan aku yang berasal dari keluarga yang miskin dan aku yang juga tidak berpendidikan. Aku sadar akan hal itu.
"Sudah, Bu. Jangan marahin Seruni terus. Kita semua sedih dengan keadaan Ihsan."
Aku menoleh ke arah orang yang baru saja berbicara dengan ibu mertuaku. Rupanya yang datang tadi itu bukan hanya ibu mertuaku, tapi ada Mbak Rania, kakak iparku.
Rasanya wajar sih dia datang kemari. Bagaimanapun dia juga menantu dari ibu mertuaku. Meskipun rasanya agak aneh bagiku, karena dia memilih untuk datang ke rumah sakit daripada menemani anak bayinya di rumah.
Di saat hatiku sedang hancur dengan keadaan suamiku, seorang perawat tampak muncul.
"Keluarga dari pasien Ihsan Kusuma?"
Aku yang masih terpuruk di lantai
dingin rumah sakit itu, berusaha
berdiri sekuat tenaga. Meskipun
lututku masih terasa lemah. Belum
sempat aku mengatakan kalau aku
adalah istri dari Mas Ihsan, Bu
Minten dan Mbak Rania sudah lebih
dulu mendekat ke arah perawat
tersebut.
"Saya iparnya dan ini adalah ibunya," kata Mbak Rania.
Meski aku belum mendekat ke arah perawat tersebut, tapi telingaku masih bisa mendengar ucapan dari perawat itu. "Dokter meminta keluarga pasien untuk menemuinya di dalam ruangannya. Ada hal yang harus disampaikan."
"Ibu takut, Ran," ucap ibu mertuaku pada Mbak Rania. "Coba kamu aja yang temuin."
Aku semakin sedih dengan sikap ibu mertuaku. Kenapa juga harus Mbak Rania? Istri dari Mas Ihsan kan aku. Aku benar-benar seperti menantu yang tak dianggap keberadaannya.
"Ya sudah kalau gitu, Bu. Aku akan menemui dokter,," ujar Mbak Rania yang tampak begitu peduli pada suamiku.
'Jangan-jangan wanita itu pengen turun ranjang. Tak akan aku biarkan suamiku menikah lagi. Aku tak siap menjadi istri pertama,'
Aku sungguh tak habis pikir dengan sikap dua orang itu. Mereka seolah tak mempedulikan dengan keberadaanku yang bahkan tengah sangat hancur dengan kondisi mas Ihsan.
Baiklah, aku mengalah saja. Daripada ibu mertuaku semakin membenciku. Akupun memilih tunggu. duduk di kursi
"Enak-enakan ya kamu duduk di sini, Perempuan pembawa sial. Padahal dulu aku sudah melarang Ihsan untuk menikahimu! Mending Ihsan nikah sama si Suci daripada sama kamu!"