Awalan

IPAR-IPAR MAUT

 

"Mas, kok perasaan udah nggak kerasa, ya?" tanyaku pada mas Idris.


"Apa sih, Dek. Masih kerasa kok!" kilahnya sambil terus bergerak maju mundur sesuka hatinya.


Ya, beginilah setiap kali kami melakukan hubungan suami istri, semangat yang awalnya berkobar-kobar, hanya bertahan beberapa detik setelah pertandingan di mulai.


"Kok kamu nggak semangat sih, Dek?" ucap mas Idris ketus.


"Lah gimana mau semangat, yang itu aja loyo!" batinku. Namun aku tidak seberani itu mengatakan yang sebenarnya.


"Udah ah, belum juga apa-apa kamu udah lemes. Males mas jadinya," sergah mas Idris lalu meninggalkanku begitu saja. Ia langsung mencabut senjatanya lali memakai sarung dan kaos putih. Ia pun berlalu keluar kamar membanting pintu.


Selama lima tahun pernikahan, sudah setahun terakhir kejadian seperti ini selalu berulang, padahal sebelumnya mas Idris adalah laki-laki perkasa yang sangat kuat dalam segala hal. Tidak hanya kuat dalam menjalani pekerjaan yang berat, namun ia juga kuat dalam setiap ronde saat kita sedang saling menginginkan.


Mas Idris, laki-laki itu menikahiku saat usiaku masih 20 tahun, sedangkan usianya saat itu 24 tahun. Kini, di usia pernikahan yang sudah lebih dari lima tahun lamanya, kami belum juga di karuniai seorang keturunan.


Aku sudah bersabar selama setahun terakhir, setiap kali aku di salahkan karena ia merasa belum puas soal urusan ranjang. Aku yang salah, hanya aku yang bersalah. Mas Idris tidak sekalipun mengoreksi dirinya, selalu aku yang di anggap kurang dalam melayaninya.


Aku hanya bisa menangis setiap kali mas Idris pergi begitu saja meninggalkanku di kamar sendirian. Ia akan pergi ke pos satpam yang terletak di kampung sebelah. Lalu tak pulang hingga fajar datang.


Satu tahun terakhir, aku sering melihat Mas Idris mulai mengkonsumsi obat kuat. Meski aku tak tahu alasan sebenarnya karena sejak awal tak ada yang salah dengannya. 


Dulu ia selalu perkasa, namun setiap kali aku tanya kenapa harus memakai obat tersebut, ia selalu beralasan bahwa pekerjaannya di pabrik sedang sangat sibuk. 


Aku tidak pernah mempermasalahkan jika selama seminggu lebih ia tidak menyentuhku, namun aku melihat mas Idris seperti ada yang janggal, dan sampai saat ini aku tidak pernah tahu apa yang sedang ia sembunyikan.


...


Pagi harinya seperti biasa, aku sudah menyiapkan sarapan dan secangkir kopi hitam kesukaannya. Aku melirik jam dinding bergambar kartun yang berada di atas tembok pintu ruang tengah. Jam setengah enam, mas Idris pasti segera pulang.


Hanya selang beberapa menit setelah semua makanan terhidang di atas meja, mas Idris datang dengan raut muka yang berantakan. Ia terlihat lelah, nampak dari matanya yang memerah karena kurang tidur. Memang benar, ia pasti tidak tidur semalaman karena bermain kartu di pos satpam.


"Mas," sapaku mesra. "Sarapan dulu, yuk."


Bagaimanapun, aku selalu berusaha menjadi istri yang baik, aku selalu bertutur kata halus, sopan, dan berusaha menyenangkan hatinya.


"Nggak nafsu!" bentak mas Idris.


"Ini kan makanan kesukaanmu, Mas. Ayam bumbu merah super pedas. Cobain dulu," pintaku, masih berusaha sabar.


Tidak menghiraukan permintaanku, mas Idris tetap melanjutkan langkahnya menuju kamar, aku mengikuti, memperhatikan suamiku yang sedang kurang enak hati, semua ini pasti karena masalah semalam.


Aku melihat mas Idris masuk ke kamar mandi, ia menyambar handuk yang tergantung di dekat pintu. Dengan cepat, aku menyiapkan seragam kerjanya.


Mas Idris bekerja di sebuah pabrik yang bergerak di bidang industri makanan, sudah sejak ia lulus sekolah ia mengabdikan diri untuk bekerja di perusahaan tersebut. Gaji 5 juta perbulan, sudah sangat cukup bagi kami yang hanya tinggal berdua. Tidak ada cicilan motor, rumah, atau apapaun.


Bisa di bilang, kehidupan kami cukup. Rumah yang kami tempati saat ini adalah rumah pemberian dari orang tua mas Idris, Kami memiliki dua sepeda motor, satu sepeda motor matic milikku sebagai pemberian ayahku, satu sepeda motor miliknya, hasil dari kerja kerasnya sendiri.


"Dek, sepatu mas kok belum dicuci, sih?" ujar mas Idris dari dalam kamar. Aku yang sibuk menyiapkan bekal makan siangnya langsung bergegas menghampiri.


"Kemarin kan hujan, Mas. Mau tak cuci nanti nggak kering," jawabku.


"Ah, kamu ini, Dek, dek." Mas Idris manyun, nada suaranya yang mulai berubah, aku cukup senang, ia tidak lagi marah.


"Oh ya, Mas. Nanti aku mau ke rumah Nina, mau ambil barang."


"Ambil barang apa?" tanya mas Idris penasaran.


"Ada deh. Sesuatu," ucapku genit sambil mengerlingkan sebelah mata.


"Ya sudah, terserah."


Mas Idris pun duduk di kursi makan, ia langsung menyantap habis sarapan yang aku siapkan. 


Seperti inilah kehidupan rumah tangga kami, setiap kali salah satu di antara kami marah, itu hanya bertahan selama satu hari, kadang tidak sampai, kemudian kami kembali akur.


"Jangan lupa bekal makan siangnya ya, Mas," ucapku.


"Iya," jawab mas Idris sambil membersihkan mulutnya dengan tisu.


"Oh ya, Dek. Ricki sama Ricko kan udah wisuda, dia mau kerja di pabrik tempat mas kerja. Minggu depan katanya baru mau naruh lamaran," ujar mas Idris.


"Ya bagus. Habis kuliah bisa langsung cari kerja. Kenapa nggak kerja di kantor-kantor aja mas?" tanyaku, kedua adik ipar kembarku itu adalah sarjana yang baru lulus S1, karena mereka mengambil jurusan di bidang industri, mereka juga pasti menginginkan bekerja di pabrik, tentu dengan posisi yang lebih tinggi dari suamiku. Maklum, mas Idris hanya lulusan SMA.


"Nggak tahu, nggak ada yang cocok katanya. Mau ngelamar di pabrik-pabrik dulu," jawab mas Idris.


Setelah membahas dua adiknya, ia pamit untuk segera berangkat kerja.


"Mas berangkat dulu, hati-hati kalau mau ke mana-mana, jaga rumah, ya."


"Iya, Mas." Aku lalu mencium punggung tangan suamiku.


Setelah suara sepeda motor yang di kendarai mas Idris sudah tak terdengar, aku segera bersiap untuk ke rumah Nina. Rumahku dan rumah Nina tidak terlalu jauh, hanya berbeda gang saja. Kami biasa beretemu kalau memang hanya ada perlu, karena Nina adalah ibu rumah tangga yang sibuk dengan dua anak dan bisnis jualan onlinenya.


"Aku mau ambil yang ini 10 sachet ya, Na." Aku menunjuk sebuah barang yang terbungkus plastik bergambar tukang jamu.


"Wah, banyak banget belinya, Ra. Di jamin deh, suamimu bakal klepek-klepek!" seru Nina.


"Ini gimana cara konsumsinya, Na? nggak ada efek sampingnya, 'kan?" tanyaku.


"Kan ini jamu herbal, nggak ada lah. Minum dua kali sehari aja cukup. Ini manfaatnya untuk merawat area sensitif kita biar terjaga kelembabannya, terus ini juga bikin wangi dan rapet. Ibu-ibu sekomplek udah pada ngerasain loh," ucap Nina.


"Ah, yang bener nih?"


"Serius, Ra. Ini aku ada lagi, ini kapsul yang gunanya untuk mengencangkan otot-otot kewanitaan. Jadi pas di pakek, reaksinya jadi menjepit. Nanti bikin suamimu jerit-jerit, sumpah!"


"Dasar ini tukang jamu!" batinku.

Bisa saja caranya bikin orang tertarik. Dan benar saja, aku tidak bisa menolak apa yang Nina tawarkan.


"Ya udah, aku ambil satu bungkus yang isi 20 kapsul, ya."


Akhirnya, aku membeli semua yang aku butuhkan.  Sudah sebulan terakhir aku berencana untuk membeli obat-obat herbal ini. Dengan begitu, aku berharap mas Idris tidak pernah kecewa lagi setiap malam.


Setelah sampai di rumah, aku langsung menyeduh satu sachet jamu, dan nanti sore, aku akan minum satu sachet lagi.


"Semoga ini berhasil!" batinku girang.


***


Sore harinya, aku melihat mas Idris sudah memarkirkan motornya di depan rumah kami, ia tampak sangat lelah.


"Kok udah pulang, Mas?" tanyaku, karena biasanya dia pulang setelah maghrib.


"Lagi nggak enak badan, Dek. Tadi izin," jawabnya.


Aku mengikuti mas Idris ke kamar, ia melepas seragam kerjanya kemudian mandi, aku pun duduk di kamar menunggunya sampai selesai mandi.


"Mau aku buatin kopi, Mas?" tawarku.


"Boleh, gulanya sedikit aja, ya, Dek. Tadi pas di periksa di klinik, gula darah mas agak tinggi."


"Oh, iya."


Setelah membuat secangkir kopi, aku membawanya ke mas Idris yang sedang leyeh-leyeh di depan tv ruang tengah.


"Ini, Mas. Di minum," ucapku.


Mas Idris langsung menyeruput kopi panasnya.


"Tadi jadi ke rumah Nina?" tanyanya.


"Iya, jadi. Uang belanjaku mungkin kurang. Soalnya aku perlu beli sesuatu, ujarku.


"Beli apa memang?" tanya mas Idris terlihat curiga. Selama ini aku memang tidak pernah memakai uang belanja untuk membeli barang-barang lain, karena kami selalu bersifat hemat dalam setiap pengeluaran, untuk urusan skincare, aku selalu mendapatkan jatah sendiri setiap dua bulan sekali.


Tidak mau mas Idris curiga, aku langsung ke dapur dan menunjukkan barang-barang yang sudah ku beli dari Nina.


"Beli ini tadi," ucapku, menyerahkan kantong plastik berwarna putih bening.


"Wah, kamu beli jamu sari rapet ya, Dek. Pasti enak nih," ujar mas Idris berseri-seri.


Deg!


"Kok mas Idris tau sih kalau ini jamu sari rapet? kan nggak ada tulisan apa-apa," tanyaku. Obat dengan bungkus yang bergambar tukang jamu ini memang tidak menampilkan merk atau tulisan apapun, lalu dari mana mas Idris tau kalau ini jamu sari rapet.


Mendadak gugup, mas Idris langsung salah tingkah.


"Ya nebak aja. Mas pernah lihat di situs belanja online kok," ujarnya.


"Oh ...." Aku hanya ber-oh ria. Mungkin benar yang ia katakan, ini memang jamu herbal yang sering di jual secara online, karena mas Idris juga suka berbelanja daring, dia pasti pernah melihatnya di suatu marketplace.


🍁🍁🍁


Judul : IPAR-IPAR MAUT 

Penulis : Pemulung Kisah


https://read.kbm.id/book/detail/7dfe9ef5-a8ff-1974-7895-e978ff9de5cf?af=da46b743-fa02-e48f-04ca-0b1cb9fb00a7

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel