Mereka Tak Tahu Siapa Istriku
Tiba-tiba saja raut muka Bude Rahmi dan Mayang terlihat tegang dan merah padam.
‘Loh, kenapa ekspresi wajah mereka seperti itu, ya,’ batinku heran.
"Aku tak percaya! Dia pasti ingin membohongiku! Lagian mana ada, sih, orang kaya yang berpenampilan burik seperti dia!" gumam Bude Rahmi dengan wajah yang masih terlihat merah padam.
Kulihat Mayang hanya menganggukkan kepala tanpa berucap sedikitpun.
Sementara, istriku terlihat cuek.
Kulirik jemarinya membuka aplikasi M-banking-nya.
Sepertinya dia sedang mentransfer sejumlah uang yang dipinjam pegawainya tadi.
Dan, menulis pesan pada lelaki tersebut untuk sekedar memberitahukan bahwa uang pinjamannya sudah ditransfer ke rekening calon mertuanya.
“Ya, sudah yuk kita pamit, Mas. Udah sore,” ajak istriku dan bangkit dari duduknya.
Aku juga ikut bangkit dan bersiap menyalami Bude Rahmi dan Mayang.
“Udah langsung pulang aja sana! Muak dengan orang yang suka membual.” Bude Rahmi menolak tanganku seperti yang dilakukannya pada Hania tadi.
“Ya sudah, yuk!” Dengan memendam perasaan kesal akupun menarik tangan Hania mengajaknya keluar dari rumah itu.
Saat kami baru saja keluar dari pintu rumah tersebut terdengar suara teriakan Bude Rahmi.
[Jadi, sudah kamu transfer uangnya ke rekening Ibu?! Ya sudah, kalau gitu Ibu cek di M-banking ibu, ya, Bagas! Terima kasih, loh. Akan ibu bikin acara resepsi pernikahan kalian resepsi yang paling megah di kampung ini. Ibu akan undang perangkat-perangkat desa dan pejabat Kabupaten. Pokoknya semua orang-orang berkelas.]
Mendengar itu aku dan Hania langsung saling berpandangan.
Hania tampak mengangkat bahunya sebelum kemudian mengenakan sandal jepitnya.
Kemudian kami pun berjalan ke tempat dimana sepeda motor bututku yang ku parkirkan di bawah sebuah batang pohon nangka, tepat di halaman depan rumah Bude Rahmi.
BRRRUUUUMMMM … BRUUUUMMM … PLETUUUUKKK …
Suara deru mesin sepeda motorku seketika berbunyi saat aku mengengkolnya. Suaranya terdengar bising sekali.
“Ayo, jalan Mas! “ seru istriku yang duduk di belakangku. Tangannya menepuk lembut bahuku.
BRUUUUMMM …
Segera ku gas motorku, dan kemudian meninggalkan tempat tersebut.
“Dasar wong kere! Bikin ribut aja!” sempat Aku menoleh ke belakang, dan kulihat Pakde Budiman – suami Bude Rahmi sudah berdiri di depan pintu, sambil berteriak dan mengacungkan tangannya ke arah kami.
Langsung ku tambah kecepatan sepeda motor kebanggaan milikku, karena aku takut lelaki itu akan mengejar kami.
***
“Lah, kok, cepet amat pulangnya?” Ibu menyambut kedatangan kami dengan pertanyaannya.
Wajahnya yang teduh, membuat ketegangan yang tadi sempat kurasakan, seketika berubah menjadi tenang kembali.
“Iya, Bu, udah sore!” jawabku sekenanya, tak ingin membuatnya bersedih jika kuceritakan tentang mulut kakaknya yang sudah habis-habisan menghina keluaga kami dan istriku.
Lalu kujatuhkan bokongku di atas kursi rotan yang ada di ruang tamu sederhana rumah kami.
Aku merasakan tubuh dan pikiranku lelah sekali.
“Pasti ada alasan lain, ‘kan, Mas? Kenapa Mas dan Mbak Hania buru-buru pulang? Aku tebak, karena ada duo dedemit yang nyinyir itu, kan? Yang kalau ngoceh selalu bikin telinga panas.” Nining yang baru saja keluar dari kamarnya tiba-tiba saja ikut campur pembicaraan kami.
“Huuuusssttt, ndak boleh ngomong begitu Nduk! Sudah sana siapkan makan malam untuk kita!” Kulihat Ibu tak suka mendengar adikku berbicara seperti itu. Ibuku memang benar-benar wanita hebat, yang selalu mengajarkan kami anak-anaknya untuk menjaga setiap ucapan dan perilaku kami, tak peduli meski hatinya sudah disakiti.
“Begini, Bu, supaya Mbak Hania nggak kaget melihat kelakuan keluarga Bude Rahmi yang sangat mengerikan itu. Hiiiii!” Kulihat adikku bergidik seperti baru saja melihat hantu.
Kedua netra ibuku seketika tampak membesar sempurna, namun begitu, aura kelembutan pada wajahnya tetap terlihat.
“Sudah sana, jangan kebanyakan ngomong. Tolong siapkan makan malam untuk kita. Jangan sampai Mbak Hania kelaparan nanti.” Ibuku dengan suaranya yang lembut langsung mengulang perintahnya pada adikku.
“Siap, Bos! Segera laksanakan!” Tangan adikku terlihat diletakkan di atas alisnya yang tebal, memberi hormat pada ibuku.
Melihat itu aku dan Hania sontak tertawa geli.
Sedang ibuku menepis tangannya, minta adikku segera pergi.
Malam harinya selepas Salat Isya, kami pun duduk berkumpul di atas tikar pandan yang digelar di ruang tengah.
Aroma makan malam yang sudah tersaji di tengah-tengah tikar pandan tersebut sangat menggugah seleraku. Kulihat istriku sedang memegangi perutnya.
“Kenapa lapar, ya!” tanyaku sedikit menggodanya.
“Heee'ehhh!” jawabnya dengan suara manja.
“Sebentar lagi, ya, kita tunggu Bapak pulang dari mushola dulu.” Aku berusaha menyabarkan istriku, dan ia hanya mengangguk patuh.
“Kalau kalian sudah lapar, ayo, makan saja dulu! Nggak usah nunggu Bapak. Bapak suka ngobrol tuh sama Pak Imam.” Ibu yang sedang menjahit kemeja bapak, ternyata mendengar percakapan kami berdua, lalu mempersilakan kami untuk makan terlebih dahulu.
“ Iya Mas, Mbak, buruan makan! Nggak usah nunggu aku juga! Sebab aku diet, loh!” Si centil Nining ikut-ikutan bicara. Padahal kami sama sekali tidak mengingatnya.
“Enggak, ah … biar kami nunggu Bapak saja. Lebih enak kalau makan sama-sama.” Hania menolak permintaan ibu dan adikku.
Lebih dari seperempat jam kami menanti Bapak pulang, tapi batang hidung lelaki tersebut belum juga tampak.
Sampai sebuah teriakan mengagetkan kami semua.
“Kamaaaalll, tolong, Bapakmu pingsan di depan rumah Bude Rahmi.” Suara teriakan seorang lelaki yang berasal dari luar rumah, sontak membuat kami semua berhamburan keluar untuk mengetahui lebih jelas apa sebenarnya yang terjadi.
“Tadi istriku, sekarang Bapakku pula yang menjadi sasaran mereka!” geramku sambil terus berlari menuju teras.
.
.
.
Mereka Tak Tahu Siapa Istriku - Vanessa Nesa
Hania - istriku, selalu dipandang sebelah mata oleh keluarga besarku. Mereka menganggap Hania adalah...
Baca selengkapnya di aplikasi KBM App. Klik link di bawah:
https://read.kbm.id/book/detail/3ac5ba2a-4c59-4cb7-9af6-57204be48340?af=2b9d684e-e003-2d09-35b2-83061901e83d