Awalan

BUKAN PASUTRI ROMANTIS


 BUKAN PASUTRI ROMANTIS

Part 4


"Udah jangan nangis. Ntar saingan sama kuntilanak."


Aku menarik selimut tinggi-tinggi untuk men*ngg*lamkan tubuh yang tanpa baju. Pada akhirnya, Panji mendapatkan haknya setelah tadi sempat terjadi neg*siasi alot. 


"Udah."


"Udah-udah. Sakit tau!" Aku bersungut-sungut. 


Panji tertawa. "Ya, terus gimana? Mau dibetadine?"


"Apanya?" Aku melotot.  


"Yang sakit. Tadi kan berdarah. Sini aku kasih betadine."


Aku memukulnya menggunakan bantal. Usia sih tua, tapi suka ngawur! 


"Sini peluk."


"Nggak mau!"


"Halah, nggak mau juga ujung-ujungnya mau." Dia ikutan masuk selimut, lalu memelukku dari belakang. "Udah. Jangan nangis lagi. Besok aku beliin bubur."


Dih, dikira aku bayi?


Panji menang. Aku nggak bisa berontak dari pelukannya karena sudah lelah. Lagi pula mau nolak seperti apa pun, kenyataannya kami suami istri. 


***


Adzan Subuh lamat-lamat terdengar. Aku membuka mata dan terkejut karena ternyata aku yang meringkuk memeluk Panji. Dih, bisa GR dia kalau tau! 


Aku langsung menjauhkan tangan dari badan Panji. Dia sepertinya sangat nyenyak sampai tidak terusik pergerakanku. Sebelum turun dari kasur, aku memperhatikannya. Ini adalah pertama kali aku benar-benar menatap wajah Panji dengan seksama. Kalau dilihat-lihat, dia cakep, kok. Herannya, kenapa dia melajang sampai usianya tiga puluh lima tahun? 


"Udah?" tanya Panji dengan sengau. 


"Apanya?" tanyaku. 


"Lihatin aku. Ganteng, kan?"


"Dih. GR!" Aku menyingkap selimut. "Ada iler tuh!"


Panji terkekeh. "Yang ileran kan kamu. D*daku sampai basah."


"Bodo! Salah sendiri peluk-peluk!" Aku turun dari ranjang, lalu menuju kamar mandi yang berada di dalam kamar. 


Aku buru-buru mandi karena takut kesiangan shalat Subuh. Namun, saat sedang sabunan, aku ingat tidak bawa handuk. Kemarin kan aku ke sini hanya bawa baju ganti satu stel, itu pun tertinggal di tas yang tergeletak di ruang tengah. 


Aduh. Masa iya, sih aku harus minta tolong Panji? Mana baju yang kotor tadi basah terkena air. 


Tidak ada solusi lain, aku harus minta tolong Panji. Gara-gara dia aku keramas pagi-pagi. 


"Mas!"


"Mas Panji!"


Di mana sih tuh orang?


"Mas Panciii!"


"Apa sih, Dep?" Lah giliran dipanggil panci malah nyaut dia. 


"Mas, aku nggak bawa handuk. Boleh pinjem, nggak?"


"Nggak."


"Mas, ih!" 


Tidak terdengar suara di luar. Tapi, tiba-tiba gagang pintu bergerak-gerak. "Mau handuk nggak?"


"Mau!"


"Buka pintunya."


Aku buka pintu sedikit. Tanganku juga terulur buat minta handuk. Tapi, pintu malah didorong Mas Panji. Dia menyerobot masuk. "Sekalian. Takut kesiangan!"


"Ih, Mas. Aku kan lagi mandi."


"Ya, sama. Aku juga mau mandi."


Aku meringkuk di pojokan sambil menutupi tubuh sekenanya. 


Panji berdecak. "Udah lihat semuanya, Dep. Nggak usah ditutupin."


Dasar! 


Beruntungnya, dia benar-benar mandi. Tidak ada ritual macam-macam sampai aku ke luar lebih dulu. Dia menyusul beberapa saat kemudian dan langsung lari ke masjid walaupun sudah kesiangan. 


***


Hari ini, aku dan Panji pulang ke rumah Ibu. Tradisi di desaku, setiap habis menikah, pengantin perempuan akan mengirim makanan ke semua saudara pengantin pria sebagai ajang pendekatan. Kemudian, orang yang mendapat kiriman akan memberikan u*ng kepada pengantin perempuan. Itulah mengapa disebut kiriman pait. 


Sebagai orang yang terpandang di desa ini, keluarga Panji tentulah banyak. Setidaknya ada lima puluh keluarga yang harus aku datangi rumahnya. 


Puluhan rantang diangkut menggunakan mobil pick up. Panji sendiri yang menyetir, sedangkan aku duduk di sebelahnya. Rumah pertama yang kami tuju adalah rumah juragan empang yang tidak lain adalah mertuaku. 


Jujur, sebelum menikah dengan Panji aku tidak pernah berinteraksi langsung dengan keluarga Pak Sutikno. Ya beberapa kali aku menyapa beliau atau istrinya kalau tidak sengaja berpapasan di jalan, tapi hanya sebatas itu. 


Kedatanganku dan Panji disambut hangat oleh keluarganya. Tentu untuk mertua, aku memberikan rantang spesial yang sudah disiapkan Ibu. 


Rumah saudara Panji bergerombol, berdekatan dengan rumah mertuaku. Jadi dari sini kami hanya perlu berjalan kaki. 


"Awas becek," kata Panji yang menenteng dua rantang. Kami memang melewati jalanan becek entah terkena air dari mana. 


Sambil berjalan, aku mengangkat gamis tinggi-tinggi agar tidak kotor. Langkahku tertinggal di belakang Panji. 


"Kok kamu jalannya kayak gitu?" tanya Panji yang ternyata tengah menungguku. 


"Kenapa emangnya?"


"Aneh. Kayak pinguin."


Aku mendengkus. "Ini kan gara-gara kamu!"


"Emang iya?" Dia tertawa. "Masih sakit?"


"Berisik ih. Ngapain nanya begituan di jalan." Aku berhasil menyusulnya dan mendahului. 


"Tunggu, Dep. Kamu gandeng tanganku, kek. Biar kayak pengantin baru."


"Lah, emang kita enggak?"


"Kamu kabur-kaburan gitu jalannya. Sini. Pegang tanganku."


Karena sedang berada di kawasan saudara Panji, aku akhirnya manut. Daripada ada yang melihat kami berdebat dan nanti jadi bahan gunjingan. 


Satu per satu rumah sudah kami datangi. Kantong gamisku pun penuh dengan amplop dari mereka yang rata-rata memberi disertai ucapan, "Buat b*li sabun."


"Mereka nggak ada yang bilang buat b*li rokok, ya. Mulutku kan kecut," gerutu Panji. 


"Kecut ya makan gula, lah!"


"Makan kamu, Dep. Yang ada manis-manis asemnya."


"Otak kamu tuh—"


"Udah semua?" Pertanyaan Bu Supiah menghentikan ucapanku.


Aku buru-buru tersenyum. "Masih sepuluh lagi, Bu. Kata Mas Panji rumahnya jauh."


"Iya. Kalian istirahat dulu saja. Pasti capek, kan?"


Tiba-tiba Panji meraih tanganku. Kami masuk ke rumah ibunya. "Panas banget, Bu. Ada es?"


"Ibu sengaja bikin es buah buat kalian."


Bu Supiah menggiring kami ke meja makan. Namanya orang kaya, perabotnya kinclong-kinclong semua. Aku sampai rikuh untuk sekedar duduk. 


"Dev, Panji ini suka makan di rumah. Jadi, kamu harus sering-sering masak. Makanan kesukaannya itu sambel terong sama sambel teri. Nanti Ibu kasih resepnya, ya."


"Iya, Bu." Aku mengangguk patuh.


Panji mengambilkan es buah untukku, baru kemudian untuk dirinya sendiri. Ternyata bisa manis juga nih orang. Atau jangan-jangan hanya pencitraan?


"Dimakan. Nanti kita lanjut ngider lagi," kata Panji. "Biar cepet selesai."


Selagi aku dan Panji menikmati es buah, Bu Supiah mondar-mandir entah sibuk apa. Beliau menolak makan es buah karena kata Panji ibu mertuaku itu sedang puasa. Sesaat, aku merasa sangat kurang ajar sekali. 


Terdengar salam dari pintu depan. Seorang gadis berseragam SMA masuk. Dia adik bungsu Panji, kalau tidak salah namanya Iis. 


Iis masuk ke kamarnya. Kemudian bergabung ke meja makan setelah berganti baju. Dia cantik. Kulitnya putih dengan tubuh tinggi yang mengalahkan diriku. 


"Mas Panji," panggil Iis. 


"Apa?" 


"Mas Panji kenapa? Kok kayak habis dicakar?"


Aku menoleh cepat ke arah Panji dan baru menyadari ada bekas cakaran di pipi, leher, dan juga tangannya. Dan aku ingat betul, itu belum ada apa-apanya dibandingkan punggung dan pundaknya. 


"Oh ini …." Panji menyeruput es buah. "Dicakar kucing."


"Emang Mas Panji punya kucing?" tanya Iis lagi. 


"Punya. Kucingnya lucu. Suka gigit. Rawrrrr!"


Aku keselek. Sumpah. Aku dianggap kucing? Nyebelin! 


***


Judul: Bukan Pasutri Romantis

Penulis: Julli_Nobasa


https://read.kbm.id/book/detail/38229758-3bfc-41d4-99fb-5a930345b255

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel