Awalan

PEMBANTU TAJIR


 PEMBANTU TAJIR 

A novel by Lestari Zulkarnain 

Part 6

---


Aku mundur beberapa langkah ke belakang. Ia menatapku dan tak peduli dengan ucapanku. “Mas, hentikan!” teriakku.


“Amira, kalau aku perhatikan kamu itu sangat cantik.”

Ia terus mendesakku dan memepetku ke tembok serta memegang kedua tanganku sehingga aku tidak berkutik.


“Mas, hentikan! Atau aku akan berteriak!” ancamku. Dadaku bergemuruh, aku belum pernah seperti ini, entahlah kenapa aku merasa aneh.

Angga menatapku lekat, nafasnya memburu.

Aku tidak bisa berbuat apa-apa, tenaganya lebih kuat dariku. Andaikan di tempat terbuka mungkin aku bisa melawannya dengan modal ilmu beladiri yang aku punya.


Wajah kami saling berdekatan hingga beberapa inchi, setelah itu ia tertawa terbahak-bahak dan melapaskanku.


“Kurang ajar kamu, Mas!” omelku. Aku membetulkan pakaian yang berantakan.


“Amira, sebetulnya kamu suka, kan?” ucap Angga mengejekku.


“Diam, nanti aku laporkan ke Bu Sarah!”

Masih merapikan baju dan mengatur nafas. Perasaan aneh menjalar ke seluruh tubuh. Seumur-umur, aku belum pernah melakukan seperti ini.


Setelah itu aku memasukkan baju yag telah kusetrika ke dalam lemari, sementara Angga masih memperhatikanku.


“Naruhnya yang rapi dan jangan buru-buru!” ujar lelaki yang tadi sempat membuatku hampir gila.

Aku ingin segera pergi dari kamarnya.


Aku hanya diam sembari merapikannya kembali.

Setelah selesai, aku bangkit dan melangkah pergi, tetapi Angga mencegahku sambil memegang tangan.


“Ada apa lagi, Mas,” ucapku. Kukibas tangannya dengan keras.


“Amira, kenapa kamu mau menjadi babu? Kamu cantik, masih muda, pekerjaan seperti ini rasanya tak cocok untukmu,” ucap pria tampan tetapi menyebalkan itu.


“Bukan urusanmu! Suka-suka aku,” jawabku ketus.

“Lagi pula ngapain nanya-nanya!” sambungku.


“Mending kamu jadi pacarku saja,” ledeknya sambil terkekeh.

Tak kuhiraukan ucapannya, aku segera keluar dari kamarnya setelah pekerjaanku selesai, bisa-bisa tambah kurang ajar.


“Permisi, Mas, aku pergi!.” Dengan setengah berlari aku keluar dari kamarnya.

Ada perasaan aneh dan jantung yang berdegup kencang, Aduh!

Aku langsung masuk ke kamar dan merebahkan diri di kasur. Pikiranku melayang mengingat kejadian tadi. Sungguh, aku belum pernah mengalami hal seperti itu.

Kenapa aku merasa suka? Astaga!

Mami, Papi, tahukah kamu bagaimana anakmu sekarang. Aku rindu kalian, rindu Mbok Tinah yang selalu melayaniku kapanpun aku mau dan butuh.


Akhirnya aku teringat beberapa minggu lalu ketika masih di rumah sebelum aku ke sini dan bekerja di kediaman Pak Fredy.

.

.

Flash back ….

.

.

Setelah wisuda berarti berakhirlah masa kuliahku. Aku ingin melanjutkan kuliah S2 di Jepang mengambil jurusan Tehnik setelah di sini aku lulus Arsitek dengan predikat cumlaude.


Namun, Papi tidak mengizinkanku dengan alasan karena sifatku yang cuek. Akupun belum bisa mengerjakan apapun.

Setiap hari aku hanya bermalas-malasan, makan harus di sediakan, pakaian juga harus diambilkan, semua-muanya harus dilayani.


Mami pun tidak mengizinkan karena aku masih ketergantungan. Belum bisa mengerjakan sendiri, berantakan. Mungkin iya, usiaku sudah 22 tahun, tetapi belum bisa apa-apa. Mami berfikir jika menikah nanti, bagaimana bisa melayani suami?


------


Flash back sebelum bekarja menjadi Asisten Rumah Tangga.


Namaku Amira Hilda—anak tunggal seorang pengusaha properti terkenal di Tangerang. Segalanya tercukupi, apapun permintaanku, pasti dipenuhi sehingga aku sangat manja.

Meski demikian, Mami selalu mengajarkanku pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, tetapi aku tidak mau hingga sebesar ini tidak bisa apa-apa.


Mami ingin aku seperti Mami, meski memiliki ART, tetapi Mami trampil dan mahir mengerjakan pekerjaan rumah. Mami pandai memasak untuk Papi sehingga Papi tidak ingin masakan orang lain.


Suatu hari ….


Pintu kamarku diketuk, aku yang sedang mengotak-atik ponsel, kemudian melangkah dan membukanya.


“Amira, dipanggil Papi, beliau ingin bicara,” kata Mami. Ada apa? tumben Papi ingin bicara padaku.


“Iya, Mi,” jawabku penasaran. Kuletakkan ponselku kemudian bangkit dan melangkah keluar menemui Papi yang berada di ruang keluarga.

Rasa penasaranku semakin menjadi ketika Papi dan Mami seperti membicarakan sesuatu yang serius.


“Sini, Nak, duduk dengan Papi,” ucap Papi sembari mempersilakanku duduk di dekatnya.

Akupun menurutinya.


“Iya, Pi, sepertinya ada hal penting yang ingin Papi sampaikan."


“Benar sekali, Nak.”

Papi dan Mami saling berpandangan.


“Amira, Papi sama Mami telah membuat kesepakatan.” Papi menghentikan ucapannya lalu menarik napas panjang.

“Kamu ingin melanjutkan studi di Jepang, bukan?” tanya pria yang kini usianya sudah empat puluh delapan tahun itu.


Aku mengangguk dengan semangat, aku pikir pasti Papi dan Mami mengizinkan.


“Papi mengizinkanmu, Nak,” ujar Papi, tapi ….”

Papi tidak melanjutkan ucapannya.


“Tapi apa, Pi?” ucapku. Perasaanku tidak enak, wah, kenapa harus ada tapi?


“Tapi ada syaratnya.”


“Kenapa harus ada syaratnya, Pi?”


“Iya, Nak,” sahut Mami—wanita yang selalu ada ketika aku membutuhkan.


“Jadi begini, Nak. Mami sama Papi ingin agar kamu bekerja untuk mendapatkan pengalaman. Seorang wanita itu, kelak pasti memiliki pasangan hidup. Sepandai-pandainya kamu dalam bidang akademik, tentu saja tidak akan lepas dari mengurus rumah,” ujar Papi. Matanya menatapku sedikit nanar. Aku menyimak apa yang diungkapkan Papi, tetapi masih belum mengerti apa sebenarnya yang Papi sama Mami inginkan.


“Iya tapi bagaimana?” sahutku tak mengerti.


“Mami sama Papi ingin agar kamu bekerja menjadi asisten tumah tangga.”


“What!” Aku keget dan berdiri.

Kupandangi mereka berdua tak percaya.

“Pi, Mi, ini serius? Kenapa kalian tega padaku? Aku tidak mau!” jawabku.


“Tenang, Nak, ini hanya setahun saja, kok.”


“Apa? Setahun? Jangankan setahun, sehari saja aku tidak kuat. Bagaimana mungkin aku yang setiap hari dilayani, harus melayani orang? Tidak Pi, aku tidak mau.”

Mami berdiri lalu mendekatiku dan mengelus pundakku.


“Ini demi kebaikanmu.”


“Tapi tidak harus menjadi asisten rumah tangga, kan?” ujarku kesal. Mami sama Papi tega padaku, masak iya aku harus menjadi asisten rumah tangga.


“Amira, kalau kamu ingin kerja di kantor, gampang, tinggal kerja di kantor Papi, bahkan nanti semua menjadi milikmu, tetapi Papi sama Mami ingin agar kamu merasakan bagaimana bekerja sebagai asisten rumah tangga seperti Mbok Tinah,” kata Papi. Lelaki itu meyakinkanku bahwa menjadi asisten rumah tangga itu mengajarkan kita bagaimana mengurus rumah.


Aku diam. Pekerjaan menjadi ART berbeda seratus delapan puluh derajat dari kebiasaanku sehari-hari.


“Kalau kamu sudah memiliki pengalaman menjadi asisten rumah tangga, maka Mami sama Papi tenang melepasmu kuliah di Jepang, karena kamu sudah bisa melakukan pekerjaan rumah tangga,” ujar Papi.


“Ini penawaran Papi sama Mami jika kamu ingin ke Jepang,” kata Papi, kemudian setelah itu beliau pergi meninggalkanku.


“Pikirkan lagi ya, Nak,” ucap Mami sembari mengelus pundakku lalu mengikuti Papi.

“Ini demi kebaikanmu,” sambung Mami lagi.


‘Tega! Kalian sama saja ingin menyingkirkanku,' batinku.

Aku kembali ke kamar, kurebahkan badan ini di kasur, kuedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Kamar yang begitu luas dengan tatanan yang apik, lengkap dengan fasilitas hotel bintang lima, televisi menempel di tembok, AC juga kamar mandi lengkap dengan batch up. Air yang bisa di stell panas dan dingin membuat nyaman selalu di kamar. Mbok Tinah yang selalu siap jika aku butuh sesuatu.


Lalu, jika aku menjadi ART, tidak bisa kubayangkan bagaimana nanti pekerjaanku, terutama kamar tidurnya. Sebagai gambaran, kamar tidur mbok tinah yang hanya berukuran tiga kali dua dengan ranjang dari kasur busa. Aduh! Ya Allah, bagaimana ini.

Belum lagi pekerjaan rumah seperti memasak, mencuci, menyetrika, menyapu, mengepel dan seluruh pekerjaan-pekarjaan yang selama ini aku belum pernah melakukannya.

Di sisi lain, ke Jepang adalah impianku.


Malam ini aku tidak bisa tidur membayangkan syarat-syarat yang diajukan Papi sama Mami. Apakah aku harus menerima tantangan ini atau tidak. Huft.


Hampir satu minggu aku tidak keluar kamar, pikiranku kalut.

Papi memberiku waktu seminggu untuk memikirkan ini dan nanti malam batas terakhir aku memberikan jawaban.

Malam pun tiba, malam ini, Papi sama Mami di ruang keluarga.


Tok … tok … tok ….

Pintu kamarku di ketuk, “Neng Amira, dipanggil Tuan!”

Suara Mbok Tinah memanggil namaku. Deg!

Apa yang harus aku jawab? Tuhan, aku bingung.


Baiklah, aku akan memberikan jawaban.

Akupun keluar dari kamar dan menuju ruang keluarga menemui Papi sama Mami.


“Seminggu ini ke mana, Nak, betah amat di kamar,” ucap Papi. Aku terdiam.

“Sini duduk di dekat Papi,” lanjutnya sembari menyuruhku untuk duduk di sampingnya.


“Bagaimana, Nak, siap? Jika siap, Papi akan daftarkan di lembaga Baby Sitter.”

Kuangkat kepalaku dan memandangi mereka berdua, mataku nanar, hampir jatuh air mataku.


“Papi sama Mami tega sekali sama aku,” ucapku sedih.


“Ini demi kebaikan kamu, Nak. Seharusnya ini menjadi tantanganmu, bukankah kamu suka tantangan? Saat sekolah, kamu suka dengan kegiatan ekstrim. Dari panjat tebing, naik gunung, taekwondo, kegiatan pramuka dan lain-lain. Sekarang, takhlukkan tantangan dari Mami sama Papi,” ucap Mami menguatkanku.


Melihat semangat mereka untuk memberi tantangan padaku, baiklah, aku akan coba tantangan dari mereka.


“Baiklah. Jika memang itu keinginan Papi sama Mami, aku terima tantangan kalian.”

Mereka berdua lalu memelukku dan menciumku.


“Wah, anak Papi pasti bisa,” kata Papi semangat.

“Papi sudah mengatur semuanya. Besok akan ada petugas dari yayasan Baby sitter yang akan mengantarmu pada majikanmu. Pesan Papi, jangan sampai identitasmu diketahui oleh majikanmu dan selama sebulan, jangan menghubungi Mami sama Papi.”

Persaratan yang berat. Pasti aku kangen sama Papi sama Mami. Tapi baiklah.


“Baiklah, Pi, Mi, asal hapeku jangan disita. Tapi Pi, Mi, jika aku kangen kalian, apa yang harus aku lakukan?” tanyaku. Kupandangi wajah mereka satu persatu.


“Lihat saja foto kami di hape,” sahut Mami, “Sudah sana, siapkan pakaianmu minta bantu sama Mbok Tinah.


Aku melangkah ke kamar dengan langkah gontai. Besok mungkin hari bersejarah bagiku. Aku seorang pewaris tunggal pemilik perusahaan yang bergerak di bidang property, menjadi seorang pembantu.


Aku masuk ke kamar, kubanting tubuhku ke kasur busa. Aku membayangkan bagaimana ketika majikanku nanti memperlakukanku tidak baik. Jika majikanku nanti selalu memerintahku seenaknya seperti aku memerintah Mbok Tinah. Aduh … .


“Neng.” Suara Mbok Tinah mengagetkanku. Aku segera bangkit dari kasur dan duduk.


“Iya, Mbok,” jawabku lemah. Simbok adalah orang yang merawatku sejak kecil. Dia tahu segalanya tentangku, bagaimana karakter dan sifatku, akupun menganggap Simbok seperti orang tuaku.


“Neng, kata Tuan, Mbok disuruh untuk merapikan pakaian?”


“Eh, iya, Mbok.”

Simbok memasukkan semua keperluanku ke dalam travel bag termasuk pakaian serta barang-barangku.


“Mbok, masukkan baju ini,” sahut Mami tiba-tiba masuk kamar. Mami memberikan dres bermotif batik pada Mbok Iyem.

Aku tak peduli, pokoknya semua telah dipersiapkan oleh simbok.

Seperti malam-malam sebelumnya, malam ini aku tidak bisa tidur membayangkan bagaimana sulitnya nanti menjalani hari-hariku sebagai pembantu rumah tangga. Hingga pagi menjelang, akhirnya mata ini tak kuat. 


Matapun terpejam hingga aku merasa tubuh ini terguncang hebat seperti ada gempa.

Aku merasa ada yang memanggil-manggil namaku, tetapi aku tak dapat menjawabnya.

Kembali tubuhku diguncang hebat dan aku berteriak, “Tolong!”


Aku terbangun, rupanya Mami yang membangunkanku.


“Amira, ada apa?” ucap Mami panik dan juga heran.


“Ada gempa, Mi,” jawabku setengah sadar. Aku terguncang ke sana ke mari.”


“Owh, itu Mami yang membangunkanmu. Bangun, sudah Subuh. Sholat dan bersiap, sebentar lagi ada Bu Aty yang menjemputmu,” perintah Mami sambil meengelus puncak kepalaku. Mami memang seperti itu, tiap hari, wanita kesayanganku itu yang membangunkanku. Jika tidak dibangunkan, mungkin bablas sampai Dhuhur. Itulah aku.


“Ngantuk, Mi, ngantuk banget,” keluhku sambil menggeliat.


 “Semalam aku nggak bisa tidur.”


“Kenapa?”


“Kepikiran hari ini, Mi.”


“Sudahlah, jalani saja. Dah sono, mandi air hangat, Mami tunggu di meja makan untuk sarapan.”

Setelah itu Mami beranjak dari kamarku dan berlalu.

Dengan malas, aku menuju ke kamar mandi sekaligus mandi. Sehabis mandi lalu sholat Subuh dan menuju ke meja makan. Kulihat Papi sama Mami telah berada di sana.


“Pagi, Pi, Mi,” sapaku pada mereka.

Melihat kedatanganku, mereka tersenyum dan memandangiku dari ujung kaki sampai ujung kepala.

Papi sama Mami berdecak.


“Ckckck, Amira, kamu mau kemana,” tanya Papi heran.

Aku memperhatikan penampilanku, rasanya tidak ada yang aneh, biasanya juga seperti ini.


“Bukankah hari ini aku diberangkatkan kerja, kan?” jawabku.


“Kamu mau berangkat kerja memakai pakaian seperti itu?”

Kulihat penampilanku, aku menggunakan kaos longgar dan celana panjang levis dengan model sobek di bagian paha.


“Ganti dengan yang lebih sopan, juga rambutmu itu, jangan dikuncir begitu,” perintah ayah.


“A—aku nggak punya baju yang lain, Papi.”

Aku memang tidak memilikk dres, hampir semua pakaianku adalah kaos dan hem serta celana jeans serta celana pendek.


“Ada, nanti Mami ambilkan. Waktu itu Mami belikan untukmu tetapi kamu tidak mau memakainya, lalu Mami simpan.”

Mami kemudian bangkit dan berjalan menuju ke kamarnya. Tak lama, iapun kembali membawa dres lengan pendek dengan panjang selutut.


“Pakailah ini,” perintah Mami. Aku melotot melihat pakaian itu.

“Gak mau, Mi, nanti aku nggak bisa gerak.”


“Pakai dulu, cobalah. Nanti di dobel dengan dalaman celana, jadi aman.”

Ya sudah, aku turuti permintaan Mami sama Papi. Kupakai dress dari Mami dan rambut panjangku kuurai.


“Nah, ini lebih baik. Namun nggak pantas, deh, jadi pembantu rumah tangga,” ujar Papi menahan tawa, begitu juga Mami.


“Begini saja, rambutmu diikat dan pakailah sendal jepit,” saran Mami.

Kuturuti permintaan Papi sama Mami biar mereka senang.


“Pi, Mi, kapan makannya, dari tadi ngobrol terus.”

Kupotong pembicaraan mereka dari pada banyak bicara.


Ting tong …. Bel berbunyi pertanda ada tamu yang datang.


“Mbok, coba lihat, ada siapa?” perintah Papi.

Simbok berlari menuju ke ruang tamu.


“Tuan, ada Bu Aty,” kata Mbok Tinah.


“Oya, suruh masuk dan tunggu saya.”


-----


Next baca selengkapnya DISINI 



Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel