Awalan

R1NTIHAN DARI KAMAR PENGANTIN

 

"Uuhhh ... huuuu ... "

"Emm ... emm ... "


Langkah kaki yang hendak menuju kamar mandi terhenti ketika melewati kamar dengan pintu dihias indah. Kamar yang aku lewati adalah kamar pengantin milik kakakku.


"Emm ... emm ... "


Kaki yang sudah terhenti bergerak kembali, bukan melanjutkan langkah menuju kamar mandi, tapi mendekati pintu berhias indah itu.


"Ada apa?" gumamku dalam hati "mengapa terdengar suara-suara aneh dari dalam sana?"


Dengan pelan dan berjinjit seperti maling, aku mendekati pintu dan menyimak lebih seksama suara dari dalam kamar pengantin itu. Suara itu masih ada, seperti suara tangis yang ditahan, seperti suara yang tak bisa keluar karena bibir dibekap.


"Apa yang terjadi? Apa yang dilakukan orang kota itu pada kakakku? Apa dia menganiaya kakakku hingga terdengar tangis seperti itu." Aku melirih panik, urung melangkah ke kamar mandi, malah berbalik pergi menuju kamar orang tuaku.


Malam sudah sangat larut, dari jam yang tergantung di dinding ruang tengah waktu menunjukkan pukul dua. Lelah dengan pesta meriah tadi siang membuat orang tuaku pasti tertidur lelap.


"Bu ... Bu ... "


Aku memanggil pelan di depan daun pintu kamar orang tuaku.


"Bu ... Pak ... "


Aku mengulang, tapi tak ada jawaban, mungkin karena suaraku sangat pelan. Tak mungkin membangunkan dengan berteriak karena tak mau orang kota itu mendengar. Akan tetapi setelah panggilan yang entah keberapa kalinya ibuku menyahut.


"Iya, ada apa?" tanyanya dengan suara serak. 


"Bu, cepat bangun! Ada masalah penting yang ingin aku katakan."


"Ya ampun, Ka. Ini tengah malam, bicaranya besok pagi saja."


Ibuku menolak, tapi aku tak menyerah begitu saja.


"Ini sangat penting, Bu. Jangan sampai ibu menyesal karena tak mendengarkan aku. Cepat keluarlah!"


Bahkan dari luar kamar aku mendengar hembusan nafas kasar dari ibuku, tapi terdengar juga derap langkah kaki. Sesaat kemudian pintu terbuka.


"Ada apa?" Ibu bertanya dengan nada malas.


Tanpa menjawab aku menyeret ibuku ke ruang depan.


"Apaan si, Ka?" Ibuku merengut, terlihat kesal, tapi aku tidak peduli.


Setelah sampai di ruang depan aku mulai bicara.


"Bu, ada apa dengan Kak Kenanga? Saat lewat di depan kamarnya aku dengar suara tangis," bisikku.


Ibu nampak kaget.


"Suara tangis?" tanyanya, tepatnya ia melirih.


"Iya, apa mungkin kelaki kota itu menyakiti kakak. Ayolah, Bu. Kita lihat mereka, gedor saja pintunya!" Aku mulai mendesak.


Akan tetapi ibu menggeleng.


"Mungkin kau salah dengar," ujarnya sambil senyum-senyum. Aneh sekali, kenapa ia malah tersenyum saat aku sepanik ini?


Aku jengkel melihat senyum masam ibuku.


"Apaan si, Bu? Kok malah senyum-senyum?" ketusku.


Ibu tak menjawab, malah memegangi pundakku.


"Sudah, tak perlu dipikirkan! Kau masuk kamar saja untuk istrirahat, kakakmu tidak apa-apa, dia baik-baik saja."


Ibuku semakin aneh, dari mana dia tau jika Kak Kenanga baik-baik saja. Dengan sangat jelas aku mendengar suara tangis dan suara seperti orang dibekap. Pikiranku yang jauh mengembara ternyata tak sama dengan pikiran santai ibuku. Aku sangat khawatir pada kakak semata wayangku itu, jangan-jangan orang kota itu menyakitinya.


"Sana, pergilah tidur!" Ibu mengusirku, tapi aku tak bergerak.


"Dari mana ibu tau jika kakak baik-baik saja, dengan jelas aku dengar suara tangis dan suara seperti orang dibekap," ucapku akhirnya.


"Apa?" Ibuku nampak kaget. "Kau ini ada-ada saja, kau mengintip dan menguping kakamu yang sedang malam pertama. Kau ini memalukan sekali. Pengantin memang seperti itu."


Lah, aku pikir ibuku kaget karena khawatir dengan keadan kakak, tak taunya ia malah menuduh yang tidak-tidak. Untuk apa juga aku mengintip mereka yang sedang malam pertama, kurang kerjaan sekali.


"Tidak seperti itu, aku tak sengaja mendengar ketika melintas hendak ke kamar kecil." Aku menyangkal dengan tegas tuduhan ibuku.


"Sudah-sudah! Sana, masuk kamar saja! Kau membuat rusuh malam-malam buta begini, Cempaka." Ibuku malah menghardik, dia kemudian berbalik dan berlalu, tapi ia kemudian berbalik.


"Ingat, jangan kesana lagi! Jangan mengintip lagi!" perintahnya, lalu ia meneruskan langkah menuju kamarnya.


Aku mematung tak tau harus bagaimana, apa mungkin aku yang salah dengar seperti ucapan ibuku? Apa mungkin memang seperti itu seorang pengantin, tangis yang aku ceritakan seperti wajar menurut ibuku. 


Huufff 


Aku membuang nafas dengan kasar, sangat terpaksa bergerak dan kembali menuju kamar. Akan tetapi karena tadi tak sempat menuntaskan hajat ke kamar kecil, akhirnya kuayun langkah ke sana lagi.


Saat tiba di depan kamar kakakku lagi, kembali aku diusik oleh suara itu. Kali ini terdengar lebih keras, lebih sedih hingga hatiku yang mendengarnya seperti tersayat. 


"Uuuuu ... "


Dari kamar pengantin itu aku mendengar rintih kesakitan, rintih kesedihan. 


"Apa yang terjadi dengan kakakku?" Aku sedih sekaligus geram, tak perduli dengan peringatan ibu aku mendekat lagi pada pintu itu.


Aku memberanikan diri menempelkan telinga di daun pintu, berharap bisa mendengar lebih jelas. 


Samar aku mendengar suara lelaki, seperti bentakan namun dengan suara pelan. Rasa penasaran membuatku nekat, rasa khawatir dengan  keadaan kakak membawa wajahku turun dan berniat mengintip lewat lobang kuci. Mataku memicing menyesuaikan dengan lobang kuci yang kecil, awas aku mencari keberadaan kakakku. 


Akan tetapi aku tak menemukannya, malah aku dibaut kaget hampir menjerit bila saja tak mengigat jika sedang dalam misi  pengintaian. Di depanku, berdiri dengan posisi membelakangiku seorang yang tak mengenakan sehelai benang pun. Seorang lelaki bertubuh pendek dan sedikit gendut, lelaki  yang sepertinya sudah tua.


Hatiku terkoyak karena postur tubuh lekaki yang aku lihat tak sama dengan tubuh kakak iparku. Tak sama dengan lelaki dari kota yang siang tadi menghalali kakakku itu. Lelaki yang menikahi kakakku adalah pemuda tampan berkulit putih, tinggi dan kekar. Lelaki muda yang kaya dan terlihat perkasa.


"Apa yang terjadi, mengapa kakak iparku berubah?"


"Siapa lelaki pendek itu?"


"Dimana kakak iparku yang asli?"


Rasa penasaran di hatiku meluap tak bisa dibendung lagi, merasa begitu bingung. Juga mengapa iparku yang tinggi tampan itu berubah pendek dan gendut seperti yang ada di dalam sana. Aku tak peduli dengan resiko, tanganku terayun hendak menggedor pintu, tapi tiba-tiba tanganku disambar dan dicengkeram dengan sangat eratnya, mulutku juga dibekap dengan sangat kuat.


"Eemm ... emmm ... "


Aku berontak dan berteriak, tapi tak kuasa, bahkan tubuhku diseret menjauh.


SUDAH TAMAT DI kbm app. HANYA 27 BAB


Judul : R1NTIHAN DARI KAMAR PENGANTIN 


PENULIS: Zohrah_belah/Az Zahra 


Baca selengkapnya di aplikasi KBM App. Klik link di bawah:

https://read.kbm.id/book/detail/76586b8b-9786-4372-af55-28d952751528


Bersambung

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel