SALAH NAFKAH
AKU LAGI HAMIL, SUAMI MALAH MENGABAIKAN KU. SETELAH AKU DIDEKATI SEORANG TENTARA, BARULAH DIA PANIK #3
“Yumna, adikmu mau dilamar tentara!” Rida mengabarkan hal itu dengan penuh kegembiraan.
“Sungguh, Bu? Alhamdulillah.” Yumna yang sedang mencuci piring pun tersenyum senang.
Aira sedang mengaduk sayur yang ditumis di kuali. Ia mengernyit kaget.
Dilamar? Siapa yang melamar? Bukankah ia belum punya calon suami? Kenal dekat dengan lelaki saja tidak.
Meski bingung, Aira tak mau bertanya. Ia mendengarkan saja.
“Gimana ceritanya kamu bisa kenal sama tentara, Aira?” tanya Yumna.
Aira hanya mengulum senyum. Ia pun penasaran, siapa sosok tentara yang mengaguminya.
Apakah diam- diam ada seorang tentara yang menyukainya? Biarlah dia menerima lamaran itu. Siapa sih yang menolak saat dilamar abdi Negara berseragam loreng?
“Doain aja Aira cepat nikah, Mbak,” sahut Aira malu- malu.
“Iya, Mbak doain kamu cepat dapet jodoh.”
“Jadi gini, Yumna. Ibu mau pakai rumahmu ini untuk menyambut lamaran itu, soalnya pria itu kan tugas di sini, jadi menurut ibu dia nggak bisa kalau mesti jauh- jauh mendatangi rumah ibu di sana. Boleh kan?” tanya Rida.
“Boleh, Bu. Nanti akan Yumna rundingkan juga sama Mas Yazdan,” jawab Yumna. “Calonnya Aira ganteng ya, Bu?” Yumna melirik Aira.
Yang dilirik tersenyum sipu.
“Gagah dan ganteng,” sahut Rida.
“Soal ganteng mah nomer belakangan, yang penting soleh dan berakhlak baik.” Yumna duduk ke kursi. Napasnya tersengal karena terlalu lama berdiri. Dia memegang perutnya yang nyeri.
Sudah seminggu Aira dan ibunya tinggal di rumah Yumna.
Semenjak kehadiran Aira, Yumna merasa jauh lebih terbantu. Semua pekerjaan dili_bas habis oleh Aira, bungsu yang rajin dan sangat perhatian pada Yumna.
Saat Yumna kelelahan, Aira mampu mengatasi rasa lelah itu dengan memijit.
Suara deru mesin motor menandakan kepulangan Yazdan. Pria itu membelokkan motor ke halaman rumah sambil mengegas- ngegas, berisik sekali suaranya.
Yumna keluar rumah menyambut kedatangan suaminya. Ternyata Yazdan tidak pulang sendirian.
Seperti biasa, dia bersama dengan Nela, buruh yang bekerja satu pabrik dengan Yazdan.
Meski pun mereka mengendarai motor masing- masing, tapi kenapa harus beriringan?
“Aku langsungan ya, Mas!” Nela menekan klakson dan menjalankan motor.
Yazdan melewati Yumna yang berdiri di teras begitu saja. Mukanya masam saat menoleh ke arah pintu dimana Aira dan Rida tengah mengobrol di dapur.
Ruang tamu dan dapur tidak memiliki pembatas. Mudah saja bagi siapa saja yang duduk di ruang tamu untuk melihat kondisi di dapur.
Melihat wajah Yazdan babak belur, Yumna mengikuti suaminya masuk ke kamar.
“Mas, ada apa kok wajahmu bon_yok begitu?” Yumna menghampiri suaminya yang tengah melepas ransel dan melemparnya ke kasur.
“Ada buruh yang kurang ajar di pabrik tadi. Ditambah tentara brings*k yang main hakim sendiri, mentang- mentang pakai seragam, dia mem√kulku. Kusumpahin mati keta_brak mobil!” Yazdan kesal sekali.
Astaghfirullah…
“Istighfar, Mas. Marah- marah itu karena terhasut se_tan. Bawa shalat biar tenang!” tegur Yumna.
“Jangan menceramahiku! Dan jangan jadi ustazah dadakan. Tuh, urus adik dan ibumu yang numpang makan di sini seperti bena_lu! Suruh mereka cepat pulang! Ngabis- ngabisin beras kita saja!” gerutu Yazdan dengan suara kecil. Meski marah, namun ia tetap tak mau mengeraskan suara.
Allah… Kebas sekali hati Yumna mendengar itu.
“Aku nggak mau membiayai hidup adik dan ibumu. Suruh mereka cepat pulang!” geram Yazdan lagi.
“Mereka tinggal di sini sama sekali nggak membebani, justru membantu.”
“Halah, alasan! Mereka ada di sini karena permintaanmu kan? supaya mereka bisa membantu pekerjaanmu di rumah. Kamu itu malas gerak, baru hamil gini saja sudah minta bantu banyak orang. Gimana mau punya banyak anak?” Yazdan menghempaskan badan ke kasur sesaat stelah melepas kaos. Tubuhnya yang berkeringat menempel di bantal yang menjadi sandaran.
“Mas, mereka di sini nggak lama kok. Dan yang terpenting, mereka nggak mengganggu keuanganmu.” Yumna mengambil kotak obat, lalu mengobati luka di wajah suaminya.
“Terserah. Aku nggak suka direpoti.”
“Satu lagi, Aira akan dilamar,” imbuh Yumna. “Calon suaminya adalah tentara yang bertugas di sekitar sini. Supaya mempermudah situasi, ibu minta ijin supaya acara dilangsungkan di rumah kita. hanya untuk proses lamaran saja, kok.”
“Terserah. Yang penting aku nggak ikutan repot dengan urusan itu. jangan suruh aku menyu_mbang atau pun mengeluarkan uang untuk urusan mereka. Mereka itu bukan tanggung jawabku.” Yazdan menekan tombol kipas angin.
Kipas berputar, ruangan sedikit sejuk.
“Aku mu_ak sama tentara. Kenapa juga Aira mesti nikah sama tentara? Apa nggak ada pilihan lain?” kesal Yazdan mengenang Yaman yang membuatnya trauma pada sosok tentara. “Rasanya aku pingin nin_ju kalau lihat tentara.”
“Itu kan oknum. Nggak semua tentara itu sama. Jangan hanya karena bermasalah sama satu orang, lantas kamu sama ratakan semua orang.” Yumna bangkit berdiri, mengembalikan kotak obat ke lemari. “Akhir- akhir ini kamu lembur terus ya, Mas. Ini pulangnya juga udah lewat jam kerja, hampir maghrib.”
“Namanya juga kerja, mengikuti perintah bos."
Yumna malas menanyakan kemana uang hasil lembur, mustahil lembur tidak dibayar. Atau istilah lemburan itu hanya sebuah alasan saja? Aslinya tidak ada lembur. Yazdan menghabiskan waktu bersama Nela?
Ah, plis jangan suudzon dulu sebelum ada bukti. Saat ini Yumna kesulitan mencari bukti mengingat kondisinya sedang hamil begini. Ia masih harus fokus ke acara lamaran Aira. Besok calon suami Aira datang.
Di dapur, Rida menatap ke ponsel saat benda pipih miliknya itu berdering. Meski ia sudah tua, namun tergolong gaul. Sangat mudah memahami segala bentuk tekhnologi canggih, termasuk main hp layar sentuh.
Jempolnya menggeser tombol hijau, menjawab telepon dari nomer tanpa nama.
“Halo!” Rida menempelkan hp ke telinga.
“Assalamualaikum, Bu. Saya Yaman.”
Rida menjawab salam. “MasyaAllah, Nak Yaman.” Rida menatap Aira sambil menunjuk hp dan berbisik, “Calon suamimu.”
Aira tersenyum dan mendekat pada ibunya. Ikut menguping.
“Ibu sudah tanyakan ke putri ibu, apakah dia bersedia dilamar oleh saya?” Suara Yaman yang tegas dan sangat enak didengar itu membuat Aira tersenyum puas.
“Sudah. Katanya bersedia. Ini putri ibu ada di sebelah ibu, ikut mendengarkan suaramu juga.”
“Baiklah, besok saya dan rombongan akan datang ke sana untuk proses lamaran.”
Telepon disudahi setelah mereka berembuk singkat.
“Bu, suaranya gagah sekali,” komentar Aira sambil membenahi jilbab di wajah. Malu- malu.
Tanpa melihat orangnya, batinnya sudah setuju dinikahkan dengan Yaman. Cukup ibunya saja yang menjadi wakil untuk melihat wajah calon suaminya.
“Sedang rundingan apa, Bu?” Yumna yang baru saja keluar dari kamar pun menghampiri.
“Ini loh, calon suaminya Aira menelepon. Katanya besok mau datang untuk lamaran dan menentukan tanggal pernikahan,” jawab Rida.
“Wah, mbak jadi penasaran. Siapa sih lelaki yang berhasil menjatuhkan hati adiknya mbak ini. Pasti ganteng tuh orang.” Yumna menjawil pipi adiknya.
Aira tersenyum dengan muka merona merah. “Ah, mbak Yumna bisa aja.”
Yazdan memasuki dapur dengan handuk menggantung di leher. Badannya yang berotot tanpa lapisan kaos. Ia terbiasa bekerja keras, membuat tubuhnya terlihat kokoh.
Yazdan mengambil teko dan menuang air ke gelas. Lalu meneguknya.
“Kenapa harus menerima lamaran tentara? Seharusnya cari lelaki yang tidak ada ikatan ketentaraan. Pengusaha, petani, karyawan swasta atau apalah.” Yazdan berjalan masuk ke kamar mandi yang ada di dapur.
Tak ada yang menyahuti. Ketiganya hanya bertukar pandang.
Tatapan Yumna tertuju ke tangan Yazdan. Pria itu tidak membawa hp seperti biasanya saat masuk ke kamar mandi.
Ini saatnya Yumna memanfaatkan waktu. Ia bergegas ke kamar, mencari hp Yazdan untuk menyelidiki isi hp suaminya itu.
Judul : SALAH NAFKAH
Penulis : Emma Shu
Baca di kbm
https:/ /read.kbm.id/book/detail/0fc48f43-51bb-4468-8b60-2e60a29f5ea9?af=1ac16d8f-e01b-d443-4207-65e5ef596e98