Awalan

Hanya Gadis Kecil



"Hal yang dialami Naya adalah sesuatu yang sangat berat. Tidak ada satu anak pun yang ingin bernasib sama dengannya. Masa depannya sudah hancur, padahal sama seperti kalian, jalan ke depannya masih panjang. Asal kalian tahu, sejak peristiwa itu, sudah berkali-kali Naya ingin mengakhiri hidupnya. Untung saja, Tuhan masih memberikan keselamatan. Dan, sekarang ... perbuatan kalian hari ini bisa jadi juga akan membuat Naya melakukan hal yang sama kembali. Jika semua itu terjadi, yang pertama dicari polisi adalah kalian." Sengaja Bu Wid menakut-nakuti mereka, agar ada kesadaran yang timbul, kalau setiap perbuatan dan perkataan itu akan menimbulkan sebuah akibat. 


----


HANYA GADIS KECIL


Bab 13


Langkahnya terus maju secepat mungkin menuju kelas. Tidak ia pedulikan suara Wiya yang memanggil kencang, Naya tetap berlari. Tujuannya hanya satu, mengambil tas ke dalam kelas lalu pulang. Ia tidak ingin sekolah lagi. Hari ini, bisa jadi hanya Wiya yang tahu soal semua ini. Lalu esok, mulut tiga anak itu akan semakin melebar sampai seisi sekolah.


Naya tidak dapat membayangkan, seisi sekola akan memandangnya jijik. Lalu cemoohan dan ejekan membanjiri harinya. Ia tidak sanggup, jika semua itu terjadi. Tidak. Hari ini akan jadi hari terakhir ia ke sekolah.


"Nay, kamu kenapa nangis?"


"Kamu mau kemana, Nay?"


"Naya, ada apa?"


Pertanyaan demi pertanyaan teman-teman di dalam kelas, tidak ia pedulikan. Setelah mendapatkan ranselnya, Naya langsung berlari ke luar. Air matanya terus berderaian. Tepat di depan pintu kelas itu, ia dihadang Bu Wid dan juga Wiya. Wiya memang sengaja menemui Wid untuk menghadang Naya. Ia sama sekali tidak memiliki cara untuk menahan Naya, yang pasti sangat syok karena perkataan Terry dan teman-temannya tadi.


"Nay, kamu mau kemana, Nak?" Bu Wid berusaha untuk berkata selembut mungkin pada Naya.


Wajah Naya sudah basah karena air mata. Yang ia rasakan saat ini rasa perih yang menyayat-nyayat di rongga dadanya. Mulutnya terkunci rapat, tidak ingin berkata satu patah kata pun. Yang ia inginkan saat ini adalah menyepi sejauh mungkin dari hingar bingar gelak tawa dan tatapan mengejek dari semua orang.


"Nay, dengar ibu dulu ...." 


Bu Wid merasakan sesak di dadanya. Terlintas di memori pembicaraannya dengan bapak Naya beberapa waktu yang lalu. Tentang pintanya agar bisa menjaga Naya untuk kambuh lagi pada rasa trauma yang lebih dalam. Tentang sebuah amanah untuk menutup rahasia ini rapat-rapat dari semua isi sekolah. Ia sudah menjaga amanah itu sekuat tenaga. Mulutnya sudah tertutup, bahkan pada teman sesama mengajar pun ia tidak berbicara soal apa yang menimpa Naya. Lalu, dari mana tiga anak itu tahu semua itu? Apa mereka mendapat info itu dari luar sekolah?


Saat Bu Wid lengah, bergelut dengan pikirannya sendiri, Naya mengambil kesempatan. Direnggut tangannya yang masih digenggam Bu Wid. Lalu berlari dengan kencang menuju gerbang sekolah. 


"Ayo kita kejar Naya, Bu," seru Wiya menunjuk-nunjuk ke arah Naya yang baru saja mencapai gerbang.


"Udahlah, Wiya. Biarkan Naya tenang dulu," jawab Bu Wid. Ia lalu menyuruh Wiya untuk segera masuk kelas. Sudah saatnya pelajaran di mulai kembali.


Soal Naya, menjelang jam pulang sekolah nanti, ia akan memanggil Dara, Terry, dan  untuk menemuinya di kantor. Ketiga anak itu harus diberikan peringatan agar tidak selalu semena-mena di sekolah. Sudah banyak pengaduan dari anak-anak lain tentang bagaimana sepak terjang mereka di sekolah.


***


Bu Wid sudah menunggu mereka di kantor. Sengaja ia pilih meja agak ke pojok kantor, agar lebih leluasa untuk menanyai anak-anak itu. Kelas Naya yang menjadi tanggung jawabnya, diserahkan pada guru piket menjelang bel pulang sekolah berbunyi.


Tiga anak yang berasal dari keluarga yang cukup berada di bandingkan dengan anak-anak lain pada umumnya itu, masuk takut-takut lewat pintu. Kepala mereka menunduk, hanya sesekali mengangkat wajah melihat pada Bu Wid yang duduk kaku di belakang meja.


"Ayo, duduk di depan sini," ujar Bu Wid dengan suara yang sengaja dibuat sedatar mungkin. Ia cukup kesal melihat mereka, yang bisa bersikap semena-mena. Padahal untuk ukuran anak-anak seperti mereka seharusnya yang dipikirkan hanya bermain saja. Bukan malah saling menjatuhkan seperti ini. Mungkin perkembangan zaman yang membuat anak-anak memiliki sifat mengerikan seperti ini. Pengaruh gadget, mungkin juga.


"Ceritakan sama ibu, apa yang udah kalian katakan pada Naya!" pinta Bu Wid dengan suara yang sengaja ditekan.


Ketiganya saking sikut. Mungkin berusaha saling melempar satu sama lain. Tetapi tidak ada seorang pun yang berani membuka suara. Mereka masih menunduk dalam-dalam, menatap ke arah bawah.


"Kalian dapat berita tentang Naya darimana? Hm?"


 Lagi-lagi Bu Wid bersuara. Ia masih bersabar menunggu ketiganya membuka suara. Tetapi tampaknya percuma. Mereka masih saling sikut. Tidak ada satupun yang berinisiatif untuk menjawab.


"Jika gak ada satupun yang mau bicara, terpaksa kalian ibu hukum. Nguras kamar mandi, mau?" ancam Bu Wid.


"Jangan, Bu!" Ketiganya serentak menjawab.


"Kami tahu soal itu dari Dara, Bu," jawab Terry.


"Iya, Bu. Kata Dara, ia tau dari mamanya," tambah Jihan semangat. Tampak sekali dari wajahnya ingin lepas dari jerat, walaupun dengan menjatuhkan kawan. Ia tidak peduli. Yang penting ia tidak ikut dihukum.


"Tapi, aku kan ... udah larang kalian untuk bicara. Mamaku pasti marah, kalau tau aku udah cerita soal itu pada kalian." Dara membela dirinya dengan lemah. Di antara mereka bertiga, hanya Dara yang tampak pucat. Ia tampak diselimuti rasa takut takut.


"Kalian tau gak sih, apa resiko dari perbuatan kalian ini? Semua ini bisa menyangkut nyawa Naya. Trauma yang dialami Naya itu sangat berat, itu yang harus kalian tau!"


Mereka saling berpandangan.


"Hal yang dialami Naya adalah sesuatu yang sangat berat. Tidak ada satu anak pun yang ingin bernasib sama dengannya. Masa depannya sudah hancur, padahal sama seperti kalian, jalan ke depannya masih panjang. Asal kalian tahu, sejak peristiwa itu, sudah berkali-kali Naya ingin mengakhiri hidupnya. Untung saja, Tuhan masih memberikan keselamatan. Dan, sekarang ... perbuatan kalian hari ini bisa jadi juga akan membuat Naya melakukan hal yang sama kembali. Jika semua itu terjadi, yang pertama dicari polisi adalah kalian." Sengaja Bu Wid menakut-nakuti mereka, agar ada kesadaran yang timbul, kalau setiap perbuatan dan perkataan itu akan menimbulkan sebuah akibat. 


Wajah ketiganya memucat mendengar penjelasan Bu Wid. Takut, itu hal pertama yang timbul dalam dada mereka. Bagaimana jika memang perkataan mereka tadi menyebabkan Naya mati bunuh diri. Lalu, polisi menangkap mereka dan dipenjara? Belum lagi, arwah Naya yang datang balas dendam, seperti yang biasa mereka tonton di layar kaca. Ketiganya bergidik.


Bersambung 

---------

Buat pembaca Naya, maaf ya, cerita ini akan di stop untuk tayang di fb di bab 14. Selanjutnya, bisa langsung meluncur ke KBM App aja ya. Cuma tersisa 20 bab lagi. 


(Sudah tamat di KBM App)


Judul : Hanya Gadis Kecil

Penulis : Sylvia Basri


Baca selengkapnya di aplikasi KBM App. Klik link di bawah:

https://read.kbm.id/book/detail/9e6cc20b-8e06-f12c-ec25-003d78ae1df5?af=ca825cf3-c6f1-cfc1-236e-e0c086c481d1

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel