MALAM PERTAMA YANG GAGAL
MALAM PERTAMA YANG GAGAL
Oleh Arwen
#11
Waktu menunjukkan pukul sembilan malam ketika Mbok Yun terlihat gelisah di dapur. Vina segera mengajaknya untuk duduk di ruang tengah. Tapi belum juga hangat sofa yang diduduki Mbok Yun, seperti ada jarum di sana. Wanita tua itu tak bisa tenang.
“Kenapa, Mbok?”
“Oh, nggak pa-pa, Mbak. Cuma nggak enak aja duduk di sini. Malu.”
“Malu sama siapa? Di sini cuma ada kita berdua, Mbok.”
“Iya, Mbak.”
“Apa Mbok pengen pulang?”
“Ya sebenarnya iya, tapi kasian Mbak Vina nanti sendirian.”
“Oh, kenapa nggak bilang dari tadi, Mbok? Kalau Mbok Yun ingin pulang. Nggak apa-apa, Vina sendirian nanti Bang Farid juga pulang.”
“Bener nggak pa-pa, Mbak Vina?”
“Iya, Mbok. Tapi Vina ingin tahu dulu, kenapa akhir-akhir ini Mbok Yun jarang datang ke sini?”
“Oh, kemarin itu, Mbok memang diliburkan oleh Mbak Yani. Katanya nggak usah datang dulu.” Vina termenung sejenak, mengetahui bahwa kakak iparnya meliburkan rewang keluarga mereka. Ketika Mbok Yun penasaran, Vina hanya mengatakan, “Nggak pa-pa, Mbok. Terima kasih.”
Tak butuh waktu lama bagi wanita itu meninggalkan kediaman keluarga Romo Juragan setelah mendapat ijin dari Vina. Sekarang tinggallah Vina seorang diri. Segera dimatikan televisi di ruang tengah dan naik ke lantai atas.
Sebelum masuk ke kamar, Vina melirik ke salah satu kamar yang selalu tertutup. Letaknya tepat di sebelah kamar Farid. Selama ini, kamar itu sering terkunci sehingga Vina merasa isinya mungkin sesuatu yang rahasia.
Terlebih dia pernah satu kali melihat ayah mertuanya masuk ke sana. Vina sama sekali tidak tertarik untuk tahu isi kamar itu sebelumnya, tapi tidak dengan sekarang.
Rasa penasaran membawa Vina untuk mendekati kamar itu, dengan ragu-ragu diputarnya kenop pintu berbentuk seperti jamur. Tak terkunci. Gelap segera menyergap pandangan Vina. Hanya cahaya dari luar jendela yang samar menerangi satu sudut kamar. Dengan penerangan seadanya itulah, Vina meraba tembok, mencari tombol saklar yang biasanya tak jauh dari pintu, ketemu dan klik. Pancaran sinar lembut dari lampu LED menerangi seluruh penjuru kamar yang ternyata tidak banyak isinya, melainkan hanya rak-rak berisi buku dan dokumen serta seperangkat komputer.
Vina melihat-lihat rak-rak yang dengan file organizer aneka warna yang lumayan rapi. Sebagian besar berisi catatan panen salak, hasil penjualan, daftar pengiriman juga daftar upah pekerja. Seketika Vina tersenyum melihat sebuah foto anak kecil yang menggemaskan. Awalnya dia berpikir bahwa mungkin saja itu anaknya Mbak Yani. Tetapi sekejap saja dia segera sadar bahwa foto itu adalah foto masa kecil suaminya. Potret bocah lucu berlatar pohon-pohon salak.
Karena masih penasaran, Vina menyalakan komputer. Ingin melihat apa isinya. Lagipula sekarang dia adalah istri Farid, membuka komputer suami tentu bukan masalah. Vina melihat-lihat berkas foto-foto pernikahannya. Dirinya tampak cantik berkat bantuan MUA yang disewa oleh keluarga suaminya. Itu pasti tidak murah, batin Vina.
Tidak tahu apa jadinya jika dia menyewa jasa MUA sesuai dengan kantongnya. Rasa-rasanya lebih baik tidak dirias saja kalau begitu. Keluar dari direktori berkas, iseng-iseng Vina masuk ke browser. Di sana ada beberapa bookmark yang pasti paling sering dibuka oleh Farid. Untunglah, dulu dia tidak bolos waktu pelajaran komputer.
Ternyata yang paling sering dibuka dari komputer itu adalah situs jual-beli, Youtube, Facebook, Wattpad, Farid suka membaca?, beberapa situs berita dan pertanian. Jari Vina mengklik logo biru Facebook yang ternyata belum di-logout. Jadi ini akun facebook suaminya?
Hampir tak ada yang berarti di sana. Postingan terakhir Farid adalah sekitar dua minggu yang lalu, tentang rasa syukur atas pernikahannya. Selebihnya hanya taggedpost dari kawan-kawannya yang mengucapkan selamat menempuh hidup baru, beberapa yang lain promosi jualan.
Ada angka tiga di logo pesan. Mungkin ada pesan yang belum dibuka. Tapi Vina ragu-ragu untuk membukanya. Dia sadar telah melangkah terlalu jauh. Jemarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja kayu. Buka, tidak, buka, tidak….
Akhirnya Vina memutuskan untuk mengklik ikon tersebut untuk mengetahui siapa pengirim pesannya. Tidak berniat membuka sama sekali pada awalnya. Tetapi, nama teratas adalah nama yang membuatnya melebarkan mata. Belinda. Kali ini Vina tak dapat menahan diri dari tidak membuka dan membaca pesan di kotak masuk.
Mas, serius kamu mau menikah? Ya Tuhan apa jadinya aku?
Oke. Baiklah akan kuterima kenyataan ini. Bahwa kamu benar-benar meninggalkanku, Mas. Mas Farid. I still love you.
Hai, bagaimana kabarmu di sana? Ini aneh bagiku menyadari bahwa kita ada di dunia yang berbeda. Kuharap kamu bahagia dengan pernikahanmu, Mas.
Mas, aku tahu kamu di sana. Jawab, Mas. Ini penting! IBUKU SAKIT! Aku butuh bantuan segera.
MAS FARID, PLEASE, PLEASE HELP ME! :’(
Ini bukan lagi tentang perasaanku, Mas….
Kumohon, aku butuh bantuanmu.
Air mata Vina merembes di kedua ujung matanya. Mengaburkan pandangan tak juga matanya tapi juga hatinya yang mulai tersulut api cemburu. Apalagi bunyi pesan terakhir.
Mas, aku sudah ketemu istrimu yang kampungan itu. Ternyata benar dugaanku, dia tidak secantik aku, kan? Aku masih membuka hati untukmu, selalu, Mas.
Penghinaan Belinda itu, rasanya sukses menusuk hati Vina yang memang tidak mengenal begitu jauh calon suaminya. Mengapa tidak diselidikinya dulu sebelum menikah seperti yang dikatakan oleh Rahma. Vina bertelungkup di atas keyboard, menumpahkan rasa dalam bentuk cairan hangat dari kedua matanya.
Saat sebuah belati tumpul terasa menusuk-nusuk dadanya, Vina mendengar suara mobil masuk ke pekarangan rumah. Dia segera mengusap air mata. Mematikan perangkat, lalu bergegas bangkit keluar dari kamar itu setelah mematikan lampunya. Kamar yang dulunya dia kira sebaga tempat menyimpang barang berharga yang tak boleh diusik, memang benar seharusnya dia tak masuk ke sana.
Cepat-cepat dia mencuci muka dan mengondisikan diri untuk menyambut suami. Vina turun ke lantai bawah dan membukakan pintu. Farid berdiri di sana, dengan wajah lelah, berminyak dan mata sayu.
“Eh, sudah pulang. Bagaimana keadaan Romo?” Vina meraih tangan suaminya untuk dicium.
“Romo udah mulai bisa tidur. Kamu dah makan?” Farid menjawab sembari masuk ke dalam rumah.
“Iya, udah.”
“Aku lapar.”
“Mau makan apa, Bang? Biar Vina siapin.”
“Bikin teh, aja. Abang mau makan roti.”
“Ayok.”
Kedua orang itu segera menuju dapur. Vina menyiapkan teh manis hangat untuk suaminya.
“Mbok Yun pulang jam berapa?”
“Jam sembilanan, Bang.”
“Siapa yang tadi siang datang? Hape abang habis batre. Kok, Kak Ida kayak gitu?”
“Kayak gitu gimana?” Vina tak dapat menahan diri untuk tidak menangis. Bagaimana bisa Farid membiarkan teleponnya mati. Sementara, sore ketika nomornya aktif Farid tak mau bicara lebih dari dua menit. Seolah-olah Vina tidak penting sama sekali.
“Kamu kenapa, Sayang?” Farid sedikit panik melihat reakasi istrinya.
“Aku marah, sedih.”
Farid bangkit dan berjalan ke sisi meja satunya, meraih bahu Vina yang berguncang, wanita muda itu menunduk sembari menutupi wajah dengan kedua tangan. Melawan saat Farid berusaha melihat matanya.
“Apa yang terjadi, Vin?”
“Bel, Belinda.”
Sedetik kemudian Vina sudah tenggelam dalam dekapan Farid. Bahkan saking eratnya, dia dapat mendengar detak jantung sang suami. Ada semacam energi lemah dan halus yang turut serta mengalir pada setiap sisi tubuh yang bersentuhan. Tapi tak sekuat energi jahat yang lahir dari kecemasan dan kecurigaan Vina. Kekuatan yang dibesarkan dan kini menyerang balik dirinya dengan sangat kuat.
Mengusap kening istri, Farid mencoba mendapatkan perhatian. Wajah Vina basah oleh air mata, terlihat lemah dan terluka. Sepasang mata kesayangan Farid yang cantik, kini menunjukkan luka dan itu membuat pria itu merasa bersalah.
“Jadi, tadi Belinda datang?” Vina mengangguk.
“Kan, sudah kubilang dia hanya masa lalu.”
“Yang di katakan, salam dari mantan yang selalu dirindukan, bukan merindukan.”
“Itu kan, kata dia, bukan kata Abang.”
“Aku ini jelek dan kampungan. Tak sepadan dengan Abang, kan?”
“Kok, jadi ngomong gitu?”
“Sudahlah Vina mau tidur!”
Vina meninggalkan suaminya seorang diri di dapur. Laki-laki itu belum mengerti benar apa yang telah terjadi. Apa yang telah dialami Vina sampai dia sesedih dan semarah itu. Rasanya dia ingin mengejar dan memohon agar kemarahannya mereda. Tetapi Farid sendiri sedang kelelahan akibat tak bisa tidur selama di rumah sakit.
Sepuluh menit berikutnya Farid menuju kamar. Dia harus mandi sebelum tidur. Dilihatnya Vina memejamkan mata dengan erat. Meringkuk di bawah selimut.
“Vin, udah tidur?” Sekali lagi Farid membelai rambut Vina yang berpura-pura tak menyadari itu sehingga suaminya percaya bahwa dia telah terlelap.
“Selamat tidur, Sayang.” Lalu Farid mandi dan ganti baju.
Pukul tiga pagi, kaget, Farid terbangun dari tidurnya ketika mendengar tangisan. Segera dia meloheh ke kiri, di mana tidak ada Vina di sana. Ternyata istrinya menangis di lantai. Menyenderkan punggung pada lemari pakaian.
“Vin, Sayang, kamu kenapa?”
“Nggak kenapa-napa.”
Demi mendengar jawaban Vina, Farid naik darah. Kepalanya sakit, baru saja bisa tidur dengan nyaman tiba-tiba harus terganggu dengan sikap aneh Vina. Tapi respon yang diberikan istrinya benar-benar membuat laki-laki itu jengkel.
“Kalau nggak kenapa-napa ngapain nangis di situ? Tahu ini jam berapa?” Nada bicara Farid naik, seiring amarah yang membuncah.
“Kamu tuh, nggak ngertiin perasaan aku,” tuntut Vina tak terima.
“Ngertiin apa lagi sih? Kamu sendiri kan, yang nggak percaya sama penjelasanku tentang Belinda. Dia itu masa lalu. MASA LALU! Tahu artinya?”
“Kamu bentak-bentak aku… gara-gara Belinda.”
“Bukan gara-gara Belinda, tapi kamu sendiri!”
Vina bangkit dengan marah. Dia segera membuka lemari pakaian dan mengisi tas dengan baju-bajunya. Air mata sudah tak sederas sebelumnya. Amarah telah menguasai Vina, dia merasa harus pergi secepatnya.
“Baiknya aku pulang. Daripada di sini kamu bentak-bentak seenaknya!”
Farid meraih tas Vina dan memasukkannya dengan kasa ke dalam lemari, tak ketinggalan membanting pintu lemari itu lalu menguncinya. Dengan cepat dia membuka jendela dan melempar anak kunci itu keluar. Setelah jendela kembali terkunci, dia kembali pada sang istri.
“Pulang? Mau pulang? Oke besok kita pulang!”
“Aku mau pulang sekarang!”
“Apa sih yang membuatmu jadi nggak masuk akal gini, Vin? Sekarang Abang tanya!”
“Aku … aku, sudah baca pesan Belinda.”
Farid diam sejenak, mencerna kata-kata Vina. Kemudian laki-laki itu duduk di sofa sambil menyalakan handphone untuk mencari pesan Belinda. Ternyata Farid lupa kalau paket datanya habis, sehingga dia tidak mendapat notifikasi pesan. Lalu dia menghubungkan teleponnya dengan jaringan wifi. Vina berdiri sambil memperhatikan sang suami yang tampak heran dengan apa yang dibacanya.
“Lihat?”
Farid segera mengusap-usap layar smartphone lalu mendekatkan ke telinganya, tanpa memedulikan Vina yang sudah kembali banjir air mata.
“Sial, nggak diangkat!” Sekali lagi Farid terlihat menelepon seseorang dan itu membuat Vina semakin sedih dan sakit hati. Wanita itu melangkah menuju sofa hendak merebut telepon genggam milik suaminya. Vina benar-benar marah dan kecewa. Bukannya menenangkan sang istri, malah sibuk dengan HP. Tangan Vina sudah ada di udara, berjarak beberapa centi dari telepon yang menempel di kuping Farid, tapi gerakannya berhenti ketika suaminya menyebut satu nama.
“Bid. Abid? Darurat ini!”
Farid yang mengetahui istrinya mendekat, langsung menarik tangan Vina agar duduk di sampingnya. Sambil terus bicara dengan Abid di telepon, lelaki itu menarik kepala Vina agar bersandar padanya sambil membelai-belai rambut yang halus dan lembut juga wangi itu. Vina tak dapat menolaknya. Sejujurnya dia masih marah, tapi ada perasaan rindu yang membuncah. Rindu yang menuntut untuk digenapi sekali lagi.
Mereka berdua bertahan dalam posisi itu sampai adzan Subuh berkumandang. Vina mulai tenang dan bisa diajak kompromi oleh sang suami. Vina tidak lagi bersikeras untuk pulang, dia bahkan seolah telah melupakan amarah dengan bergelayut manja. Meskipun lelah Farid tetap berangkat ke masjid, dia menyimak ceramah selepas Subuh dengan terkantuk-kantuk.
Dah dulu, Sob. Kalau Sobat Gorgeous, ingin diperhatikan atau didengar pasangan, bilang aja jangan mengharapkan suami akan tahu apa yang ada di hati dan pikiran kita sebagai istri. Tidak semua laki-laki bisa peka. Terus, kalau memang ingin dipuji cantik, bilang aja, aku cantik ya, atau "Aku cantik, kan?" Tidak mengapa kalau kita ingin dipuji oleh pasangan sendiri kok. Beberapa kasus bahkan, suami harus dikasih penjelasan sejelas-jelasnya, hindari bahasa kiasan dan bahasa yang rumit.
Baca gratis di sini https://bit.ly/ArwenCTB