Awalan

KAMPUNG SUAMIKU


 Tulang besar yang masih berlumuran darah itu dipegang oleh Mbak Asri.


Aku bergidik melihatnya, tulang hewan apa sebesar itu. Mbak Asri meletakan tulang itu di atas meja makan tanpa menggunakan wadah.


"Tu---tulang apa itu, Mbak?" tanyaku penasaran.


"Ra usah ngerti, ngko malah kowe keweden dewe nek ngerti!" ucapnya dingin.


(Nggak perlu tau, nanti kamu ketakutan kalau tau!)


Tubuhku merinding ketika Mbak Asri memotong tulang itu dengan golok. Tangannya sangat lihai sekali dalam memotong-motong tulang besar itu. Seperti sudah terbiasa melakukannya.


"Rausah ndrodog ngono. Iki gur balung sapi dudu balung wong!"


(Nggak usah menggigil kaya gitu. Ini cuma tulang sapi bukan tulang manusia!)


Seperti tahu isi pikiranku, Mbak Asri berkata dengan ketusnya. Tak kujawab lagi omongannya. Lebih baik aku keluar rumah untuk mencari udara segar.


"Aku pamit keluar ya. Mau cari udara segar, mau lihat-lihat desa ini juga," ucapku meminta izin.


"Ya, hati-hati. Takut ketemu penjahat," ujarnya.


Ah, ingin rasanya kujejali cabai rawit mulut ketus iparku itu. Setiap aku bertanya pasti dia seperti itu. Padahal kemarin-kemarin tidak begitu.


"Mas, aku mau keluar. Kalau kamu sibuk atau nggak mau nemenin ya udah nggak papa. Aku sendirian aja, kalau ada orang jahat kupatahin nanti tulangnya," ketusku balik.


Kesal rasanya dengan perubahan sikap keluarga suamiku ini. Awal-awal aku datang disambut dengan hangat dan baik, tapi sekarang mereka semua berbeda cuma karena kejadian semalam.


Mas Adam hanya menganggukan kepalanya saja, setelah itu memalingkan wajahnya dariku.


"Dasar aneh," gumamku pelan.


Gegas aku berjalan ke luar rumah untuk melihat-lihat suasana desa Mas Adam. Padahal sudah jam 6 pagi, tetapi di luar rumah terlihat masih gelap dan dipenuhi kabut.


Kurogoh ponsel yang ada di saku celana dan videokan pemandangan desa untuk dikirim nanti ke abangku dan orang tuaku.


Segar rasanya menghirup udara pagi di desa ini, tidak seperti di kota Metropolitan yang banyak polusi.


Aku terus berjalan sampai kutemukan sungai kecil yang airnya sangat jernih. Di atas sungai ada jembatan yang terbuat dari kayu. Di pinggiran sungainya ada banyak tanaman putri malu.


Saat asyik sedang foto-foto alam, ada suara orang berdehem di belakangku.


"Ehem,"


Kutengok ke belakang, ternyata ada seorang lelaki dengan perawakan tinggi dan tegap. Mungkin tingginya 180 centimeter, dengan kulit berwarna langsat.


"Kenapa ya?" tanyaku menatapnya.


"Bukan orang kampung sini ya?" tanyanya balik.


"Bukan," jawabku singkat.


"Sepertinya kamu datang dari kota. Penampilanmu lumayan modis. Seperti gadis-gadis di kota pada umumnya.


Tak menjawab pertanyaannya aku kembali melihat suasana desa. Lelaki itu duduk di batu-batu pinggiran sungai.


Saat kakiku baru saja ingin pergi dari sana--kini seorang wanita muda datang menyapu dengan sangat ramah.


"Orang baru, ya, Mbak di sini?" sapanya.


"Eh, bukan. Aku ikut suami pulang kampung," jawabku tak kalah ramah.


"Mbak kalau di desa ini jangan suka jalan sendirian. Untungnya, Mbak, ketemu sama aku dan Mas-ku. Ngomong-ngomong suami Mbak siapa namanya?" tanyanya.


"Adam Mahendra, anaknya Bapak Mahendra dan Ibu Asturi," jawabku.


Wanita dan lelaki itu nampak terkejut mendengar keluarga Mas Adam.


"Serius mbaknya istri Adam?" tanyanya lagi.


Kuanggukan kepala tanda bahwa aku memang benar istrinya Mas Adam.


"Kenapa memangnya?" tanyaku.


"Berhati-hati aja, Mbak, sama keluarga Mahendra. Alimnya keluarga mereka hanya kedok belaka. Perkenalkan, aku Putri dan ini Mas-ku Angga. Kami juga bukan orang asli desa, kami tinggal di sini karena punya tujuan."


Saat Putri ingin menjelaskan sesuatu tiba-tiba saja terdengar suara bising dan kisruh dari sebrang sungai sana--yang ditumbuhi ilalang.


"Tangkap gadis itu, jangan sampai dia lepas!"


Putri dan Angga langsung menarik tanganku dan mengajakku untuk bersembunyi.


Entalah, aku harus curiga pada siapa. Tak mengerti juga dengan maksud Putri dan Angga tentang keluarga suamiku. Dan tujuan mereka ke sini untuk apa.


Angga dan Putri merogoh sesuatu dari pinggang mereka.


Pisau lipat ia keluarkan dari pinggangnya. Ada beberapa buah pisau, satunya diberikan padaku.


"Pegang ini, Mbak. Kalau kita ketahuan Mbak bisa gunakan ini untuk membela diri. Aku yakin kamu orang baik dan bisa bela diri. Pergunakan dengan baik saat situasi mendesak," titahnya.


****

Penulis: Novita Handayani

Judul: KAMPUNG SUAMIKU


Link KBM APP

https://read.kbm.id/book/detail/63e46e21-442a-4a23-fa50-b3855ca9cc82

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel