Selepas Terpenjara
"Kalau bukan aku, nggak akan ada laki-laki yang mau nikahin kamu!"
Aku memejam. Kalimat itu entah sudah berapa ratus kali Mas Ben ucapkan sepanjang pernikahan kami yang menginjak satu tahun. Setiap ada masalah, entah sesepele apa pun itu, dia selalu membawa-bawa masa laluku.
"Kamu harusnya sadar diri, Arimbi! Kamu cuma perempuan mur*han! Jangan banyak tingkah!"
Ya, aku memang perempuan hina. Lebih dari tiga tahun, aku dipandang sebelah mata oleh orang lain hanya karena aku pernah menjadi korban kek*rasan s*ksual.
Kejadian tiga tahun lalu itu membuat aku dicemooh banyak orang, dikucilkan, dan dianggap sebagai perempuan mur*han. Ya, aku korban, tapi justru disudutkan karena gara-gara kejadian itu, satu ny*wa melayang.
Orang yang nyaris saja merenggut kesucianku dib*nuh oleh Zian, kekasihku. Terang saja, aku disalahkan oleh berbagai pihak karena akibat menolongku, Zian akhirnya mendekam di penjara.
Dulu, setelah masuk bui, Zian pernah mengirimi aku sepucuk surat lewat sepupunya. Dia meminta aku untuk menunggunya hingga bebas agar nantinya kami bisa menikah dan hidup bahagia.
Dalam hati, aku pun berjanji akan menunggu Zian. Aku sangat mencintainya. Terlebih dia sudah berkorban demi menyelamatkan diriku.
Dua tahun aku menunggu Zian, sampai akhirnya tahun lalu aku dilamar Mas Ben. Tanpa meminta persetujuanku, Bapak dan Ibu langsung menerima lamaran itu.
Aku bisa mengerti mengapa Bapak dan Ibu langsung menerima Mas Ben. Selain dari keluarga terpandang, kedatangan Mas Ben juga serupa malaikat karena saat itu aku benar-benar dipandang sebelah mata oleh para tetangga.
Menurut Bapak, menikah dengan Mas Ben sama saja menaikkan derajat keluarga sekaligus menyelamatkan h*rga diriku.
"Kamu pasti akan bahagia kalau menikah dengan Ben. Dia itu sudah mapan, kamu nggak mungkin kesusahan."
Ya, memang selama menjadi istri Mas Ben, aku tidak pernah kesusahan secara finansial, tapi aku sama sekali tidak merasakan kebahagiaan. Bagaimana bisa bahagia kalau Mas Ben saja memperlakukan aku seperti boneka? Setiap hari aku tidak boleh ke mana-mana. Aku hanya bisa pergi jika belanja bulanan, itu pun dengan dirinya. Bagaimana aku bisa bahagia kalau selalu dijadikan pelampiasan emosi. Setiap hari dicaci maki seakan aku ini binatang yang menjijikan.
"Kamu dengar, Arimbi?!"
Aku berjengkit saking kagetnya. Semenjak menikah dengan Mas Ben, aku jadi mudah terkejut, mungkin karena sering dibentak dan mendengar benda-benda dibanting.
"Buruan siapin makanan. Udah mau Magrib!" kata Mas Ben lagi.
Aku langsung menata makanan di meja. Aneka lauk-pauk terhidang lengkap dengan kolak pisang sesuai permintaan Mas Ben.
"Kenapa udang lagi?" tanya Mas Ben.
"Itu sisa sahur semalam, Mas," jawabku pelan.
"Kamu ngasih aku makanan sisa?"
Aku memejam. Selalu saja apa yang aku lakukan salah di mata Mas Ben. Padahal, udang itu belum basi. Sayang kalau dibuang.
"Kalau Mas Ben nggak mau, biar nanti aku yang makan."
"Bagus. Perempuan kayak kamu emang cocok makan makanan sisa!"
Untuk ukuran seorang laki-laki, mulut Mas Ben sangatlah taj*m. Setiap kata-kata yang terlontar selalu men*suk. Dia tidak pernah bertutur kata manis sekalipun untuk merayuku di ranj*ng.
"Ingat, Arimbi, jangan sekali-kali kamu pergi ke rumah orang tuamu."
Aku hanya bisa mengangguk. Menentang Mas Ben sama saja menabuh genderang per*ng. Tadi saja aku bilang ingin bertemu Bapak dan Ibu, Mas Ben jadi marah-marah dan pembahasannya merembet ke mana-mana.
Beduk Magrib masih sekitar lima menit lagi saat pintu depan diketuk dari luar. Mas Ben memberi isyarat agar aku mengecek siapa yang datang.
Dengan perut besar, aku berjalan ke depan. Siapa yang bertamu menjelang Magrib begini? Apakah ada tetangga yang hendak berbagi makanan? Pasalnya, aku tidak mendengar ada suara motor atau mobil yang berhenti di depan rumah. Jadi, aku menebak mungkin yang datang adalah tetangga dekat.
Aku membuka pintu, dan detik itu juga aku terpaku. Pasti aku sedang bermimpi. Tidak mungkin laki-laki yang berdiri di depanku saat ini adalah Zian. Dia masih dipenjara untuk beberapa tahun ke depan.
"Apa kabar, Mbi?"
Suara itu membuat sekujur tubuhku merinding. Benarkah dia Zian? Benarkah ini nyata?
"Kamu masih ingat aku?" tanyanya.
Aku menelan ludah dengan susah payah. Bagaimana mungkin aku lupa jika setiap malam aku selalu memikirkannya? Bagaimana mungkin aku lupa kepada laki-laki yang sudah mempertaruhkan masa depannya demi aku? Bahkan meski sekarang penampilannya tampak berantakan, aku tetap bisa mengenali dari sorot matanya yang teduh.
"Mbi …."
Sesaat, kami saling pandang. Namun, detik berikutnya, tatapan Zian tertuju pada perutku yang buncit. Sorot matanya menyiratkan kekecewaan mendalam. Jangankan dia, aku pun sebenarnya kecewa kepada diriku sendiri yang sangat lemah dan tidak bisa menolak saat dinikahi Mas Ben.
"Mbi … kamu—"
"Siapa yang datang?" Suara Mas Ben membuat aku gelagapan. Tanpa berpikir panjang, aku langsung menutup pintu. Begitu berbalik, ternyata Mas Ben sedang mendekat.
"Siapa?" tanya Mas Ben lagi.
"A-anu …." Aku bersandar pada daun pintu agar Mas Ben tidak membuka kembali. "Itu … kurir salah alamat."
"Kurir?" Mas Ben menyipit. "Mana ada kurir datang jam segini? Awas kalau kamu bohong!"
Mas Ben menarik aku dengan kasar, lalu membuka pintu. Tamat sudah riwayatku kalau sampai dia tau yang barusan datang adalah Zian.
"Dasar istri nggak tau diri!"
***
Judul: Selepas Terpenjara
Penulis: Julli Nobasa