Awalan

Tak Sengaja Menodai Gadis Desa


 “Jika kau hamil, datanglah padaku.”


“Ha ... mil?”


“Ya.”


Cahaya terpekur mendengar penuturan pria asing yang semalam secara tak sengaja telah merenggut apa yang sangat ia jaga selama ini. 


Wiratama Aksaranata. Sapaan akrabnya adalah Wira.


Bermula dari Wira yang berkunjung ke desa  untuk melakukan satu kepentingan mengenai bisnisnya. Selama seminggu di sana, ia tinggal di penginapan sederhana milik keluarga Cahaya.


Tak pernah disangka jika di malam terakhir saat Cahaya mengantarkan makanan ke tempatnya, sesuatu dalam dirinya bergejolak manakala melihat wanita lugu itu.


Wira sendiri tak tahu apa penyebabnya, padahal sebelumnya, ketika melihat Cahaya ia tak pernah merasakan perasaan aneh seperti itu. Hingga akhirnya kedua insan yang tak saling mengenal, bahkan tak pernah saling sapa berujung terjerat dalam kubangan dosa satu malam.


“Aku akan kembali ke kota hari ini,” ujar Wira tegas, menatap Cahaya yang tergugu sembari menunduk di atas ranjang berantakan.


Tak ada balasan membuat Wira yakin jika wanita yang ia sentuh tanpa ikatan itu pasti sedang memendam amarah yang bergejolak. 


“Untuk semalam, mengenai apa yang telah terjadi di antara kita, aku benar-benar minta maaf. Sejak awal, tidak terbesit niatku sama sekali untuk melakukan itu, dan terus terang saja aku sendiri pun bingung atas keanehan yang tiba-tiba aku alami,” jelas Wira disusul helaan napas gusar. Merasa bersalah.


Melihat wanita itu masih saja membisu, Wira mendekat, berdiri di pinggiran ranjang. Ia ambil sesuatu dari dalam saku celana. Kemudian diletakkan di telapak tangan Cahaya.


“Kartu namaku. Kau pasti membutuhkannya. Datanglah ke kota menggunakan alamat yang tertera di kartu itu.”


Tak hanya memberikan kartu namanya, Wira pun meletakkan amplop coklat berukuran panjang yang tebal.


“Ambillah ... aku tau, kata maaf, bahkan nominal uang ini pun tidak akan cukup untuk menebus apa yang telah aku lakukan terhadapmu, tapi aku memberikannya agar rasa bersalahku bisa sedikit mereda.”


Selepas mengatakan itu, Wira menarik koper keluar. Benar-benar pergi dari tempat itu. Sementara Cahaya mendadak merasa sesak saat menatap kartu nama dan uang yang ditinggalkan. Matanya berkaca-kaca, kemudian tak berselang lama buliran bening itu luruh deras dari sudut mata. Berdesak-desakan membasahi pipi.


Ia meratapi kemalangan hidupnya.


🍒


Tak terasa, berbulan-bulan berlalu. Sejak insiden di penginapan, Cahaya dinyatakan hamil dan kini kandungannya sudah memasuki usia ke delapan bulan.


Saat tahu pertama kali ia sedang hamil, tak ada insiatifnya sama sekali untuk mendatangi Wira di kota sesuai perintah pria itu.


Entahlah, keberanian Cahaya terlalu kecil dan ia begitu takut jika kehadirannya justru tak akan di terima. Namun, lambat laun hati kerasnya mulai tergerak.


Ya, Cahaya tergerak untuk mendatangi Wira di kota. Sebab, sudah kepalang lelah dengan gunjingan orang-orang desa yang gemar sekali menyudutkannya dengan terang-terangan. 


Tak ada yang mau membela karena keluarga yang ia andalkan pun malah membenci dan mengucilkannya karena malu.


Berbekal uang pinjaman dan kartu nama milik Wira, wanita itu nekat ke kota. Setelah melalui perjalanan panjang dan cukup melelahkan, akhirnya tibalah ia di kediaman megah dan besar keluarga Aksaranata.


Cahaya yang sedang berdiri di depan gerbang mengulas senyum sangat bahagia saat mengusap perut besarnya. 


Kemudian ia pandangi intens kartu nama milik Wira.


“Setelah ini, statusmu tidak akan buruk lagi di mata orang-orang, Sayang,” bisiknya memberi tahu pada si kecil.


Terlalu senang, Cahaya sampai tak sadar jika ada seseorang yang sedang menghampirinya dengan kerutan bingung, sebab baru pertama kali melihat wanita hamil berkunjung sepagi ini.


“Ada yang bisa saya bantu, Nona?” tanya sekuriti dari dalam.


Cahaya menengadah, senyum bahagianya, bahkan belum juga surut. Ia mengangguk. “Saya ingin bertemu dengan Tuan ... Tuan Wira.”


“Sebelumnya sudah membuat janji dengan beliau?”


“Um, belum.”


“Jika belum, silakan membuat janji terlebih dahulu, baru bisa menemui beliau.”


“Tapi tanpa membuat janji, Tuan Wira memang meminta saya datang.”


Dahi sang sekuriti semakin berkerut bingung. Bertanya-tanya ia dalam hati. ‘Ada hubungan apa majikannya dengan wanita hamil ini?’


Tentu dengan penampilan Cahaya yang berpakaian kurang layak di pandang, membuat sang sekuriti malah menaruh curiga. Bisa saja wanita ini memang punya niat yang buruk, bukan?


Siapa yang mau percaya dengan wanita berdaster, wajah kusam dan rambut di cepol tak beraturan seperti itu?


“Mungkin Anda salah alamat, Nona. Barangkali yang Anda cari Tuan Wira yang lain karena pria bernama Wira bukan hanya majikan saya saja.”


Cahaya tentu saja membantah dan mengatakan alamat sesuai yang ia baca di kartu nama.


Hingga tiba-tiba saja sebuah mobil hitam mengkilap berhenti di belakang. Mendengar deru mesin, Cahaya lantas membalik badan.


Matanya bahkan sampai tak mengedip sangking tak sabar menunggu sosok yang akan keluar dari kendaraan mahal itu.


“Tuan Wira?” cicit Cahaya menyapa ramah.


Pria yang disebut namanya mengerutkan dahi dengan mata memicing.


Cahaya pun lantas memangkas jarak. Dengan mata berbinar-binar ia berdiri di depan pria berpakaian formal yang bernama Wira. 


“Saya ... hamil, Tuan,” ucap Cahaya to the point.


“Lalu?”


“Saya datang sesuai permintaan tuan waktu itu.”


“Jaga ucapanmu! Kapan aku meminta?! Bahkan aku saja tidak mengenalimu sama sekali!”


“Tuan–”


“Siapa yang membayarmu untuk melakukan drama sampah seperti ini?!”


Sungguh, Cahaya tergugu tak percaya. Mengapa Tuan Wira yang ia temui sekarang sangat berbeda jauh sekali dengan yang ada di penginapan hari itu?


“Saya Cahaya, Tuan ... wanita yang bersamamu malam itu ... jika tuan secepat ini melupakan kejadian itu, biar saya ingatkan kembali tentang–”


“Usir wanita sialan yang mengaku hamil anakku ini sekarang juga!” titah pria itu dengan lantang.


Ketiga pengawal pun bergegas menarik paksa Cahaya dari hadapan Wira. 


“Tuan! Saya Cahaya! Tuan sendiri yang pernah berkata jika saya hamil, tuan menyuruh saya datang ke kota!” teriak Cahaya berusaha menjelaskan saat Wira sudah masuk.


Para pengawal tiba-tiba saja menghempasnya kasar sampai jatuh di pinggir jalan. Cahaya merintih kesakitan, memegangi perutnya dengan mata sudah berkaca-kaca.


“Sebaiknya kau pergi dari sini jika masih ingin nyawamu aman.”


Selepas mengancam, mereka melenggang pergi.


Cahaya terisak. Mengusap pipinya yang basah dengan tangan gemetar. “Tidak mungkin aku salah orang, dia benar-benar Tuan Wira, tapi kenapa sikapnya berubah?”


Lalu, sebuah sentuhan lembut dan hangat terasa di pundaknya. Cahaya berjingkat terkejut dan refleks menoleh. Takut, ia menengadah, menatap sosok yang memakai masker dan switer menutup kepala.


Saat fokusnya jatuh ke arah mata, Cahaya merasa seperti tak asing.


“Tu–an Wi–ra?” cicitnya melotot saat pria itu membuka masker.


“Sssttt ... ya, ini aku,” balasnya berbisik.


Jika yang ada di hadapannya sekarang Tuan Wira, lalu siapa pria yang wajahnya sama persis tadi?


#Part1


TERSEDIA DI KBM APP

Judul: Tak Sengaja Menodai Gadis Desa

Penulis: Riwriter 


Baca selengkapnya di aplikasi KBM App. Klik link di bawah:

https://read.kbm.id/book/detail/8b759b02-2f96-42ac-b45e-8f1e10e1997f?af=82c272da-8b22-4527-ad5c-cab1a1a42739

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel