TAK DISANGKA SUARA DARI DALAM KAMAR DIRUMAH JURAGAN YANTO MENGGEMPARKAN WARGA KAMPUNG
TAK DISANGKA SUARA DARI DALAM KAMAR DIRUMAH JURAGAN YANTO MENGGEMPARKAN WARGA KAMPUNG
Penulis : Riyana Iyung
Hampir sepuluh jam lamanya Hendra dan Elia masih dalam posisi G4ncet. Kondisi mereka sudah benar-benar lemas.
Selain karena kekurangan cairan juga makanan sebagai sumber tenaga, beberapa kali juga mereka kesulitan bernafas.
"Adnan, kamu tolong ajak dua temanmu untuk nemberikan makanan juga minuman untuk Hendra dan juragan nyonya.
Saya khawatir, jika begini terus mereka bisa meninggal dunia." ujar mbah Dirman mengiba, saat menengok kedua orang yang sudah terkulai lemas diatas tempat tidur itu.
Sejenak, lelaki itu nampak bingung, dan akhirnya memberanikan diri bertanya pada mbah Dirman lagi, "Makan apa maksudnya mbah."
"Terserah kamu. Jika nasi dirasa terlalu merepotkan, berikan saja roti. Yang terpenting ada asupan buat mereka.
Jika memang mereka ditakdirkan meninggal dengan cara seperti, setidaknya kita sebagai sesama manusia terlah berupaya membantu, tak hanya diam saja dengan membiarkan mereka kelaparan dan kehausan."
"Baik mbah, saya akan minta mboh Sarti dulu untuk menyiapkan makanannya."
Lelaki tua yang berprofesi sebagai dukun itu mengangguk. Setelahnya, masih dari depan pintu, dukun tersebut kembali menoleh pada Hendra dan Elis yang sudah tak dapat berkata-kata lagi.
"Miris sekali nasib kalian. Mungkin saja ini akan Menjadi akhir dari hidup kalian." gumam mbah Dirman, sembari membuang nafasnya kasar.
"Mbah, mbah Dirman ...." panggil juragan Yanto mengggetkan lelaki tersebut.
"Iya juragan." mbah Dirman mendekat pada sang juragan. "Ada apa juragan."
"Saya telah memutuskan, untuk membawa Hendra dan Elia kerumah sakit mbah."
"Juragan yakin? Dan siap dengan segala resikonya?" Dukun kampung itu menatap tak percaya pada sang juragan.
"Insya Allah, siap mbah. Mbah Dirman memang benar, kalau pada akhirnya mereka meninggal, yang terpenting, kifa telah berusaha dengan tetap memenuhi hak mereka."
Mbah Dirman mengangguk, "Semoga ketulusan, serta keikhlasan juragan bisa menjadi amal buat juragan."
"Aamiin." jawab semua yang mendengar.
"Dan semoga juga keikhlasan juragan dan Tyas, akan membantu mereka untuk bisa saling melepas." sambung mbah Dirman, namun kali ini tak ada yang mengaminkan.
Kali ini, juragan Yanto memerintahkan ketiga orang pekerjanya, melakukan segala persiapan, untuk membawa pasangan Gancet tersebut kerumah sakit.
Suasana riuh dari halaman rumah juragan Yanto mulai terdengar kembali, saat aktifitas dari dalam rumah mulai terlihat.
"Ada apa? Ada apa?" tanya beberapa warga penasaran, berusaha mencari tau apa yang terjadi.
"Entahlah, para pekerja juragan Yanto hanya diam saja ketika ditanya. Tidak tau apa yang terjadi."
"Apa mungkin yang Gancet itu meninggal."
"Bisa jadi, baguslah kalau meninggal, dari pada hidup menanggung aib, lebih baik ya mati saja."
Begitulah tanggapa beberapa warga asal bicara, namun, tentu saja bisa dimaklumi, sebab apa yang terjadi pada Hendra dan Elia ini memang sangat memalukan.
"Juragan, maaf juragan." Adnan kembali melapor.
"Ada apa lagi." sahut sang juragan.
"Kita tetap saja kesulitan mengangkat tubuh Hendra dan juragan nyonya. Disamping berat, juga butuh beberapa orang tambahan untuk mengangkat tubuh mereka. Bagimana juragan?"
"Benar juragan, paling tidak, kita butuh tandu untuk mengangkat mereka." timpal pekerja lainnya.
"Panggil ambulance saja Adnan. Mungkin mereka punya cara untuk membawa Hendra dan Elia." titah juragan Yanto yang sudah malas mikir.
"Jarak rumah sakit besar kesini cukup jauh juragan, paling tidak butuh 2.5 jam, untuk ambulan tersebut sampai disini.
Jika ambulance mengambil dan mengantar, paling tidak butuh waktu lima jam agar Hendra dan Juragan nyonya mendapatkan penanganan. Jujur juragan saya tidak yakin mereka masih kuat bertahan selama itu." mbah Dirman menyampaikan sarannya.
"Jadi, baiknya kita tetap membawa mereka kerumah sakit mbah."
"Ya. Itu yang cepat, agar keduanya bisa segera di tangani."
"Tapi mbah, kita nggak ada tandu." sanggah satu pekerja lainnya.
"Tidak ada! Tidak ada bagimana maksud kamu. Bukannya keranda juga semacam tandu. Intinya apa saja nggak masalah, asal bisa buat menganggakat tubuh mereka."
"Betul kata mbah Dirman, kalian cepatkan ambil keranda, tapi jangan lupa minta izin dulu ya."
"Baik juragan." ucap Adnan, dan kedua orang temannya. Gegas, mereka melangkahkan kakinya lebar-lebar meninggalkan kediaman juragan Yanto.
Tak berapa lama kemudian, Adnan dan kedua orang lainnya kembali dengan membawa keranda, hal itu tentu saja menjadi pertanyaan para warga yang berkumpul.
Bahkan, sempat sekali seorang warga menghadang Adnan dan teman-temannya hanya karena penasaran dengan apa yang terjadi.
"Tolong minggirlah, kami sedang sangat teeburu-buru." pinta Adnan masih berusaha ssbar.
"Katakan dulu apa yang terjadi, apa Mbak Ambar dan pasangan Gancetnya meninggal? Ayolah nan kita kan dekat, katakan padaku apa yang terjadi, aku kuga ingin tahu Nan."
"Mbak Ambar?" salah satu pekerja nampak bingung. "Nggak tau tapi sok tau ya begini ini." sambungnya kesal.
"Tolong Kus, minggirlah, kalau kamu nggak mau minggir juga, terpaksa saya harus menggunakan cara yang kasar." jawab Adnan yang kesabarannya hampir saja habis.
"Sombong kamu Nan, mentang-mentang tahu segalanya." sinis lelaki yang bernama Kusnandar itu berucap, seraya menggeser tubuhnya, dan memberikan jalan pada Adnan juga rombongannya.
Adnan dan teman-temannya langsung saja menuju kekamar tempat Hendra dan Elia berada. Untung saja pintu kamat tersebut sedikit lebih lebar dari pintu ukuran normal, sehingga memudahkan mereka untuk masuk kedalam kamar tersebut.
Melihat Adnan dan dua orang lainnya memikul keranda, sontak saja membuat Elia terkejut dan marah. Ia membolakan matanya, menatap keranda yang kini berada tepat di sebelah kirinya.
Entah kekuatan dari mana datangnya, yang berhasil membuat Elia kembali berteriak dan meronta tak terima.
"Adnan, jangan kamu jangan ngawur ya, saya ini masih hidup, kenapa kalian bawa-bawa keranda mayat ini kesini.
Apa-apa kalian ingin mengubur kami hidup-hidup?" suara teriak Elia terdengar hingga keluar ruangan.
Hendra pun tak kalah terkejutnya dengan Elia, ia juga berpikir yang sama dengan Elia, namun ia hanya bisa pasrah, sebab tak punya cukup tenaga untuk memprotes atau melawan seperti Elia.
Adnan diam tak menjawab, mbah Dirman kembali masuk kedalam kamar itu.
"Diam kamu juragan nyonya, seharusnya kamu berterima kasih karena kami masih peduli menolong kalian.
Sekarang bergeserlah kalian berdua naik keatas keranda ini. Cepat!" perintah mbah Dirman tegas.
"Tidak. Saya tidak mau. Kami ini masih hidup belum jadi mayat."
"Mau jadi mayat sekarang?" bentak mbah Dirman yang mulai habis kesabarannya menanghadapi Elia yang masih saja kerasa kepala.
"Saya nggak mau mati mbah, tolong ... tolong pisahkan kami." Elia yang takut pada ancaman mbah Dirman, kali ini memelas sambil memohoh meminta belas kasihan.
"Kalau memang itu yang kamu mau, turuti perkataan saya. Cepat bergeser dan naik ke atas keranda itu.
Jika kalian masih ngenyel, maka jangan harap kami akan berusaha menyelamatkan kalian lagi. Cukuplah saja sampai disini, kami tak akan dan tak mau lagi peduli pada kalian.
Mengerti kamu Elia!" ucap mbah Dirman mengultimatum.
***
Baca Selengkapnya DISINI