Awalan

TANGISAN ISTRIKU


 TANGISAN ISTRIKU (17A)


Mobil melaju menembus jalanan yang terbilang ramai. Di depan ada perempatan, aku mengambil arah belok ke kiri menuju rumah Mahya. Ya, aku akan mengantarnya pulang dahulu sebelum aku dan Della pulang.


Mahya sempat kutanyai naik apa tadi, soalnya tidak kulihat ada mobil terparkir di pemakaman itu selain mobilku. Dia bilang naik taksi online. Namun, saat akan kupesankan taksi online, justru dia menolak. Jadi, aku suka rela mengantarnyamengantarnya meskipun tujuannya tidak jelas ke mana. 


"Lho, kok, lewat jalan ini, Riz? Kamu mau mengantarku pulang ke rumah? Sudah kubilang, kan, saat ini aku nggak mau pulang dulu. Kamu gimana, sih? Kalau gitu, mending turunin aku di sini saja," protesnya, mengomel tanpa henti.


"Ya, terus kamu maunya ke mana?"


"Udah deh, Riz. Turunin aku di sini aja. Males aku sama kamu," ucap Mahya ketus. Sekilas kulihat dari kaca spion, raut wajahnya tampak kesal.


"Mau kamu gimana, Ya? Aku tanya dari tadi kamu tidak jawab. Ya, mana aku tahu. Lagian suara azan maghrib sudah terdengar."


Aku pun yang sedari tadi meredam emosi ikut kesal. Entah sejak kapan Mahya jadi orang yang muluk-muluk. Padahal dulu dia tipe orang yang to the point.


"Sudah azan Maghrib. Kita berhenti di masjid dulu, Mas. Tidak baik menunda-nunda waktu salat," ucap Della lembut setelah terdiam di sepanjang jalan. 


Aku menganggukkan kepala tanpa bicara sepatah kata pun. Tidak berselang lama tampak bangunan masjid besar di tepi jalan raya. Segera kutepikan mobil memasuki area parkir masjid.


Aku dan Della turun dari mobil. Namun, tidak dengan Mahya yang hanya duduk terdiam di dalam mobil. Aku yang baru saja menutup pintu mobil, kembali membukanya.


"Mahya ... kamu tidak turun? Salat di masjid?"


"Nanti aku nyusul," jawabnya pendek.


Aku yang tidak mau ketinggalan salat Maghrib berjamaah segera menyusul Della. Sebentar kemudian kita berpisah menuju tempat wudu masing-masing. Aku di tempat wudu laki-laki dan Della di tempat wudu perempuan.


Usai menunaikan salat Mahrib berjamaah dan berdoa, hampir sebagian besar jamaah masjid ini bubar. Aku pun segera keluar. Melongok ke bagian luar tempat jamaah perempuan. Della belum tampak batang hidungnya. Yang kulihat malah Mahya duduk di tangga serambi menghadap ke jalan raya.


"Sudah salat, Ya?" tanyaku, setelah menghampirinya.


Mahya tersentak kaget kemudian menoleh ke arahku. "Salat?" Dia terdiam sesaat. "Oh, salat Maghrib, ya? Nanti saja kalau udah nyampe," jawabnya enteng.


"Dapet, ya?" tanyaku lagi.


Mahya menggelengkan kepala sebagai jawaban. Oh, dugaanku salah. Kupikir dia bicara begitu karena sedang menstruasi dan malu mengatakannya padaku.


"Terus, kamu mau ke mana sekarang? Penginapan? Hotel? Atau ... ke mana? Aku siap mengantar." Aku melirik jarum alroji yang terpasang di pergelangan tanganku. "Mumpung masih jam segini."


"Cari penginapan atau hotel di sekitar sini aja, Riz."


Akhirnya, Mahya menentukan pilihannya sendiri. Seandainya dari tadi dia mengatakannya pasti kita semua sudah istirahat. Pun, aku tidak dibuat bingung. Ah, perempuan selalu saja begitu. Membingungkan. 


"Mahya jadinya ke mana?" Della yang baru saja datang langsung bertanya.


Aku langsung menyahut, "dia mau cari penginapan di sekitar sini. Tidak apa-apa, kan, kalau kita mengantar Mahya dulu?"


"Tidak masalah," jawabnya singkat dan padat. 


Sesuai kemauan Mahya, kita mencari penginapan atau hotel di sekitar sini. Satu hotel terlewati. Mahya tidak mau menginap di sana karena fasilitasnya minim. Berbagai alasan dia lontarkan hingga lima penginapan dan hotel terlewati.


Kutepikan mobilku di bahu jalan yang kosong. Capai sekaligus kesal dari tadi serasa dipermainkan Mahya.


"Sudah lima hotel terlewati. Sebenarnya penginapan seperti apa yang kamu mau? Apa susahnya milih, Ya?" Kuakhiri kalimatku dengan sedikit penekanan. 


Della mengusap lenganku lembut. Seakan tahu kalau emosiku mulai terpancing. Disodorkannya sebotol air mineral padaku. Aku lantas menenggaknya.


"Sebenarnya ... aku nggak pengen nginep di hotel ataupun penginapan. Apa aku boleh menginap di rumah kalian?"


Air mineral yang ada di mulutku seketika menyembur ke luar. Segera kubersihkan sisa-sisa air di wajahku.


Aku benar-benar tidak menyangka Mahya akan seberani ini minta izin untuk menginap di rumahku. Mengetahui pertemuanku dengan Mahya saja Della tidak suka. Apalagi sampai menginap seperti ini. Bisa-bisa masalah ini diadukan pada Ayah dan Bunda. Runyam dan panjang urusannya.


"Terserah Della. Gimana, Dell?" Aku bertanya tanpa melihat Della. Terbayang wajah kaku dan mata yang menatapku tajam.


"Aku kebelet buang air. Di depan ada SPBU. Kita belok ke sana dulu, ya. Kebelet banget soalnya, Mas."


Gegas kulajukan mobil menuju SPBU yang hanya berjarak puluhan meter. Setelah sampai mobil langsung menepi. Della langsung turun setelah itu. Aku yang khawatir kalau terjadi apa-apa padanya, ikut menyusul turun.


Selang beberapa menit, Della keluar dengan ekspresi lega. Aku menahannya sebentar untuk membicarakan masalah Mahya tadi.


Della menggidikkan bahu. "Terserah kamu, Mas. Itu, kan, rumahmu."


"Kalau kamu tidak setuju tidak apa-apa, Dell. Kita bisa cari alasan. Lihatlah, wajah cemberutmu itu. Aku tahu kamu tidak menyukainya."


Bersambung.


CERITA INI SUDAH TAMAT DI KBM APP.


Ketik di kolom pencarian KBM App sebagai berikut:

Akun: Kiswaa

Judul: TANGISAN ISTRIKU


Klik link di bawah untuk baca bab selanjutnya :

https://read.kbm.id/book/detail/c84a9652-43c5-41ee-bdbe-1afbfca0731c?af=1c394b6f-7e07-02e5-a10f-b84a7ffaaecd

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel