Awalan

Terpaksa Menikah dengan Calon Mertua

 

Lanjut Baca part 12 DISINI 


Part 11 B


"Apa Ibu sudah terlambat datang bulan?"


"Selama menikah saya belum pernah dapat haid, Dok. Biasanya sih awal bulan. Tapi, ini sudah tanggal lima belas saya belum dapat haid juga."


"Kalau begitu, saya akan memberi surat rujukan ke dokter kandungan. Nanti setelah keadaan Ibu mulai membaik, Ibu dan Bapak bisa ke poli kesehatan ibu dan anak untuk pemeriksaan lebih lanjut. Nanti jika ternyata ibu tidak hamil, kita lanjutkan pemeriksaan, siapa tahu Ibu memang menderita usus buntu atau mag akut."


Bibir plum milik Sadewa melengkung sempurna laksana bulan sabit yang tengah bertahta di langit. 


"Ah, masih tokcer juga aku!" seru Sadewa riang.


"Tokcer apanya, Om? Memangnya Om Dewa obat?" 


"Iya. Aku memang obat luka hati kamu. Dan aku berjanji akan selalu menjadi malaikat pelindung kamu di saat terlelap maupun terjaga, dan tidak akan menggoreskan luka walaupun hanya sedikit saja di dinding hati kamu, Sayang. Aku sangat mencintai kamu. Kuharap suatu kamu juga bisa memiliki perasaan yang sama seperti aku." Dikecupnya jari jemari Sania, lalu menautkan telapak tangan perempuan bermata bulat dengan bulu lentik menaunginya itu di dada, membuat dokter serta perawat tersenyum iri melihat keromantisan Sadewa.


"Ya sudah, saya permisi dulu, Pak, Bu. Ditunggu kabar gembiranya ya?" 


"Iya, Dokter. Terima kasih."


***


Siang harinya, dua orang perawat datang membawa kursi roda dan membantu Sania untuk bangun. Mereka lalu mengantar Sania ke poli kesehatan ibu dan anak menemui dokter kandungan yang sudah direkomendasikan.


"Selamat siang, Ibu, Bapak?" sapa perempuan berhijab ungu dengan stetoskop menggatung di leher dengan ramah.


"Siang juga, Dokter." Sadewa menyahut dan menyalami tangan sang dokter, duduk dengan mode tetap menggengam jemari istrinya seolah ingin menunjukkan kepada khalayak umum kalau dunia hanya milik mereka berdua saja.


Setelah berbasa-basi sebentar, dokter meminta asistennya untuk membantu Sania berbaring di atas ranjang kecil, memintanya untuk menyingkap gamis yang dikenakan pasiennya dan mulai menggunakan sarung tangan.


"Saya mau diapain, Dokter. Om, aku nggak mau." Sania menggeleng ketakutan, memberi kode kepada suaminya untuk segera menghentikan dua orang yang tengah membuka lebar-lebar kakinya.


"Tenang, Bu. Tidak usah takut. Ini yang disebut USG transvaginal.


USG transvaginal adalah prosedur pencitraan menggunakan gelombang suara yang dipancarkan melalui v*gi*a untuk memeriksa organ reproduksi wanita, atau memastikan kehamilan calon Ibu yang usia kandungannya masih sekitar empat sampai delapan mingguan, karena USG seperti ini lebih akurat," terang dokter dengan intonasi sangat lembut juga segamblang mungkin, supaya Sania paham dan tidak lagi merasa takut.


"Maaf saya mulai, ya Bu. Agak sedikit kurang nyaman tapi rasanya," imbuhnya lagi ketika mulai memasukkan tongkat transducer yang sudah dibungkus k*n*om ke liang sensitif milik Sania.


Sepanjang proses itu tengah dilakukan, Sania terus saja mengatur napas serta detak jantung yang mulai tidak beraturan. Antara takut, belum siap jika ternyata dia benar-benar mengandung juga sedikit risih karena ini kali pertamanya ada orang lain melihat dia hingga begitu dalam selain Sadewa.


"Alhamdulillah, Pak, Bu, susah terlihat ada kantung janin di rahim Ibu. Nanti sekitar dua mingguan lagi Bapak dan Ibu kembali datang ya, agar kita bisa melihat perkembangannya." Perempuan berkacamata itu menunjukkan gambar di layar seraya melekuk senyum.


Pendar bahagia terpancar jelas di wajah Sadewa. Dia terus saja mengembangkan senyum, namun, lengkungan bibir itu seketika memudar melihat ekspresi datar istrinya. 


Apa Sania tidak bahagia dengan kabar ini? Pikirnya. 


Akan tetapi dia segera membuang jauh-jauh pemikiran itu, dan kembali mengulas senyum menyambut kehadiran calon buah hati.


Selesai memeriksa kandungan Sania, dokter berwajah cantik serta kulit putih itu memeriksa catatan medis yang diberikan dokter yang menangani sebelumnya, lalu memberikan sedikit arahan kepada sepasang suami istri itu cara untuk menjaga kesehatan selama masa kehamilan.


"Menurut catatan medis dari Dokter Ria, Ibu mengalami keram perut, dehidrasi parah juga kelelahan. Sepertinya kalian masih pengantin baru ya?" tanya dokter kandungan dan dijawab anggukan oleh Sadewa.


"Begini, Pak. Untuk jaga-jaga, selama Ibu masih mengalami kram perut, sebaiknya Bapak jangan ngajak nyampur dulu. Soalnya itu sangat beresiko terhadap calon janin kalian, dan, kalaupun sedang melakukan 'olahraga' harus dikontrol semangatnya. Pelan-pelan saja!" pesan sang dokter membuat Sadewa langsung meneguk saliva dengan susah payah.


Puasa? gumamnya dalam hati seraya melirik ke arah sang istri.


"Ya sudah kalau begitu saya buatkan resep dulu, nanti silahkan ditebus resepnya di apotek."


Sepasang suami istri itu kemudian segera keluar dari ruangan dokter kandungan setelah mengucap terima kasih, lalu diantar kembali oleh perawat menuju kamar rawat inap Sania.


"Aku mau langsung pulang, Om. Nggak mau nginep di sini?" protes Sania karena merasa jenuh terus berada di rumah sakit.


"Tapi, Sayang?" Sadewa merasa sedikit keberatan.


"Aku nggak betah tinggal di sini. Perut aku enek, bau obat, Om!"


"Sabar, Bumilku."


Sania memutar badan memunggungi Sadewa dengan gerakan spontan, membuat Sadewa langsung beranjak dari duduknya, memegangi perut sang istri sambil menghela napas.


"Hati-hati. Geraknya pelan-pelan saja, Sayang. Ada dedek bayi kita di dalam perut," ucapnya kemudian.


"Tuh, 'kan. Sekarang yang diperhatikan cuma perut aku doang. Akunya enggak!" protes Sania sambil merengut.


"Sama bundanya juga tetep perhatian dong. Tambah sayang malahanan."


"Masa aku dipanggil Bunda sih?"


"Terus maunya dipanggil apa?" Tangan kekar pria beralis tebal itu mengusap lembut pipi kemerah-merahan Sania yang selalu membuat dia tergoda dan ingin selalu menghidu wanginya yang masih seperti bayi.


"Ya sudahlah, gosah dibahas lagi. Aku maunya minum jus tomat campur wortel, pake madu tapi jangan pake susu!"


"Nyari di mana, Sayang?"


"Usahalah, Om." 


"Oke, Sayangku."


Tangan Sadewa terlihat sibuk berselancar di salah satu aplikasi layanan pesan antar makanan milik perusahaan transportasi berbasis online dan memesan apa yang dipinta oleh belahan jiwanya yang sedang hamil muda.


***


Terus merubah posisi tidur, Sadewa merasa seperti kegerahan juga tidak nyaman. Sekuat tenaga dia berusaha memejamkan mata, namun hingga jarum pendek jam menunjuk ke angka dua dini hari dia masih tetap terjaga.


Ditatapnya lamat-lamat wajah wanita yang tengah terlelap di sebelahnya, menahan sesuatu yang tidak bisa dituntaskan karena dokter menyarankan dia untuk puasa selama beberapa hari ke depan.


Ting!


Tiba-tiba ponsel pintar yang tergeletak di atas meja terdengar berbunyi. Ada sebuah notifikasi pesan masuk. Dan karena penasaran, Sadewa segera menyambar benda pipih persegi tersebut karena ingin melihat isi pesannya, sebab chat itu datangnya dari Veronika.


[Ketemuan yuk, Wa. Memangnya kamu nggak kangen apa sama aku. Aku tau, kok. Kalau kamu sebenarnya masih cinta sama aku.]


Sadewa hanya membaca dan mengabaikan pesan dari mantan istrinya.


[Ayolah, Wa. Aku tunggu sekarang di motel. Aku sudah berpisah sama suami aku yang baru lho...aku free sekarang. Aku tau kalo saat ini kamu juga lagi puasakan? Istri labil kamu lagi nggak boleh disentuh?]


Sudah tamat di aplikasi KBM App

Judul: Terpaksa Menikah dengan Calon Mertua

Penulis: Ida Saidah


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel