Awalan

AKU BUKAN IBUMU


 ADA YANG ANEH PADA DIRI SUAMIKU. SETIAP MELIHAT BAYI KAMI, PASTI DIA MENANGIS. ADA APA?


"Itu bayi kita Mas?" tanyaku, antusias.


"Iya, Sayang. Anak kita cantik, secantik dirimu."


Mas Fano menyerahkan bayi yang kulahirkan beberapa saat lalu. Dia menitikkan air mata. Kutahu suamiku itu terharu, senang. Alhamdulillah, setelah sembilan bulan lebih mengandung, akhirnya lahir juga buah hati pertama yang selalu dinanti-nantikan ini. 


Bayi kami cantik, putih, bersih dan berhidung mancung seperti hidung milik mas Fano. Tak sedikitpun ada mirip-miripnya dengan wajahku. Bayi ini menggemaskan. Ternyata benar kata orang-orang, anak laki-laki cenderung mirip dengan wajah ibunya. Sebaliknya, anak perempuan akan mirip dengan wajah bapaknya.


Sebelumnya, aku dan mas Fano sudah menyiapkan nama untuk bayi kami ini setelah mengetahui bahwa bayi yang kukandung berjenis kelamin perempuan. Cyra Audya Asrafi nama yang kami berikan untuknya. Kami akan memanggilnya Cyra yang artinya bulan. Berharap Cyra akan bersinar seperti bulan yang memancarkan cahayanya di seluruh dunia. Terlihat bersinar, tersenyum, tertawa, ceria selalu di sepanjang masa. 


Cyra Audya Asrafi, Asrafi di belakang namanya itu adalah nama bapaknya, yaitu Muhammad Rafano Asrafi. Nama yang cukup keren menurutku. 


"Masya Allah, bayi kita wajahnya sangat mirip denganmu, Mas. Apalagi hidungnya, seratus persen mirip. Tingginya kebangetan," kataku seraya menyusui Cyra. Sesekali pula mencolek hidung tingginya itu. Kalau lagi liat bayi mungil begini, rasanya ingin kugigit saja telinganya. Sumpah aku gemes sekali.


"Iyalah mirip. Mas ini 'kan bapaknya, tentu saja mirip, Sayang." Mas Fano tersenyum hingga menampakkan lesung pipinya yang manis. Masya Allah.


Aku sangat beruntung memiliki dirinya. Beberapa wanita yang menyukai mas Fano menjadi iri dan sedikit tidak suka padaku, terutama Allen—wanita yang sangat mencintai suamiku dari sejak masih sekolah dulu. Dia juga pernah dijodohkan dengan suamiku oleh Nuria—mama mertuaku, tapi pada akhirnya aku yang menjadi menantunya.


Sampai kini Allen masih membenciku lantaran mas Fano lebih memilihku menjadi istrinya ketimbang dengannya. Bahkan mertua pun agak cuek padaku. Aku memaklumi. Orangtua mana yang rela anaknya menikah dengan wanita yang tidak jelas asal usulnya? Aku tinggal di rumah om Gugun. Katanya ayah sudah meninggal sedang ibu sengaja menitipkan aku di tempat itu, lalu pergi entah kemana.


***


Keesokan hari, aku sudah pulang. Saat ini Cyra sedang dalam gendongan papanya. Kulihat pria bermata sedikit sipit itu mengajak bayi kami bicara. Aku tersenyum, dalam hati terus mengucap kata syukur. Alhamdulillah diberi suami yang baik dan mencintaiku tulus. Semoga hanya maut yang akan memisahkan. Aamiin.


"Cyra, sepertinya ada yang lagi jatuh cinta," bisik mas Fano di telinga Cyra, tapi masih bisa kudengar dengan jelas. Matanya yang indah melirik ke arahku hingga mata kami bertemu. 


"Apaan, sih? Siapa yang jatuh cinta?"


"Tidak mau mengaku dia, Sayang. Padahal biasanya wanita ketika senyum-senyum sendiri itu artinya sedang jatuh cinta. Dia, kok tidak mau ngaku, yah?" katanya.


Kedipan mata kiri yang berusaha menggoda istrinya ini tak bisa menahan diri untuk melemparnya bantal.


"Auh, awas, loh ntar kena Cyra," tegurnya.


"Eh, iya ... yah. Astaghfirullah, maaf Sayang. Abisnya Mas, sih bikin gimana-gimana gitu," balasku.


Mas Fano mendekat, lalu duduk di dekatku dengan ekspresi wajah serius. Dia menyerahkan Cyra padaku. Menatap mata ini dalam.


"Mas, kok liatnya gitu, sih?" ujarku.


"Sayang, mas ke rumah mama dulu. Titip Cyra, yah. Jaga baik-baik." Dikecupnya keningku mesra.


"Nitip? Apaan, sih? Aku ini 'kan mamanya, tentu akan menjaganya sebaik mungkin. Ngomong apaan, sih ... tidak jelas?" Kususui bayiku, lantas menatap bingung pada mas Fano yang seketika menarik nafas berat.


"Ada apa, Mas?" tanyaku. 


"Tidak ada apa-apa, Sayang." Sebuah cairan bening dari kedua matanya tiba-tiba saja jatuh. Seperti ada luka yang menyayat hati. Dia tampak memendam rasa sakit seorang diri.


"Mas, ada masalah?" kejarku. 


"Tidak. Mas hanya mengingat mama. Dia tidak menyukaimu. Bagaimana jika mama tidak menganggap Cyra sebagai cucu?" Mas Fano mengelap air mata. Cengeng sekali. Ternyata hanya karena hal sekecil itu hingga dia menangis.


Bagiku, suka atau tidak suka itu bukan sebuah masalah. Aku yakin suatu saat dia pasti akan menyukai cucunya. Lagipula salah apa bayi ini hingga ikut dimusuhi nenek sendiri?


"Mas, aku tahu mama tidak menyukaiku. Aku pun terima hal itu. Jika Cyra tidak diakuinya sebagai cucu, kita bisa apa? Tapi yakinlah, tidak mungkin mama bisa menahan diri untuk tidak datang melihat cucu pertamanya."


Ucapanku tidak digubris. Mas Fano menghela nafas panjang, lalu dihembuskannya perlahan. Dia tersenyum, mengelus lembut rambutku yang terurai. Pria itu kemudian mengambil ikat rambut yang ada di laci meja rias. Cekatan tangannya mengikat rambutku hingga tak lagi menghalangi wajah.


"Terima kasih, Mas."


"Sama-sama, Sayang. Mas pergi dulu, yah. Kalau ada apa-apa hubungi mas atau jika memerlukan sesuatu, panggil bibi. Assalamualaikum."


" Iya, Mas. Wa'alaikumussalam."


***


"Maaf, Bu ... pak Gugun ada di bawah."


"Suruh ke sini aja, Bi ... tidak apa-apa."


"Baik Bu."


Bi Nari—asisten rumah tangga kami, gegas ke bawah. Aku senang mengetahui om Gugun datang. Mungkin sudah tahu keponakannya ini melahirkan hingga datang tiba-tiba. 


Cyra sudah tidur, aku duduk bersandar di sandaran ranjang, menunggu masuknya om Gugun di kamar. Selang beberapa saat, yang aku tunggu akhirnya datang juga. 


"Om?" sapaku seraya tersenyum.


"Reva, kamu sudah melahirkan?"


"Iya, Om. Alhamdulillah."


"Alhamdulillah." Om Gugun duduk di pinggir kasur, seraya menatap bayiku, lalu beralih menatapku. "Reva, siapa yang meninggal?"


"Meninggal? Tidak ada," jawabku.


"Tadi om melihat mobil Fano berhenti tidak jauh dari kuburan," kata om Gugun.


"Loh, bukannya mas Fano bilang mau ke rumah mamanya? Kok, dekat kuburan?" 


"Om juga tidak tahu. Om panggil tapi tidak didengar. Jadinya terpaksa menyusulnya. Fano ke kuburan seseorang, duduk menangis tersedu-sedu sambil memegang batu nisan itu. Om ingin menanyakan langsung siapa yang meninggal, tapi takut mengganggu. Akhirnya om ke sini. Sepertinya Fano sangat kehilangan."


"Masa, sih, Om? Atau jangan-jangan mama mertuaku yang meninggal? Tapi, kok aku tidak dikabari, yah?" 


Ya Allah, secepat itukah mertuaku pergi? Untuk memastikan kebenarannya, aku menghubungi nomor mas Fano. Alhamdulillah tersambung dan mas Fano pun mengangkatnya.


"Iya, Sayang ada apa?" tanyanya dari sana.


"Siap–"


"Ini mas lagi bicara sama mama. Kamu baik-baik aja 'kan?"


Ucapanku belum selesai, mas Fano sudah memotongnya cepat. Aku makin kaget. Lagi bicara sama mamanya, berarti yang meninggal bukan mamanya? Lalu siapa? 


____


Cerita ini sudah TAMAT di KBM App.

Mohon PERHATIKAN nama penulisnya karena di KBM App banyak judul yang sama.


Judul : AKU BUKAN IBUMU 

Penulis : Akhtaria Syafiura

Facebook : Josie Author 


https://read.kbm.id/book/detail/932f3fd3-99fe-6c3e-34e5-bc68c830f9cc

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel