Awalan

Petaka Daun Muda

 

Aku kaget melihat teman putriku keluar dari mobil suamiku. Dia jalan ngangkang dan wajahnya terlihat lelah sekali. Apa yang dia lakukan di dalam mobil itu?


Part 2


Kepalaku terasa berat, rasa pusing teramat sangat menyerang. Ingin rasanya membuka mata, tapi berat sekali. Aku tak bisa bangun, entah sudah berapa lama aku tertidur.


“Kasian, Bu Nina. Dia pasti terpu-kul sekali dengan kejadian ini.”


“Pak Irwan kok tega ya, sel1n9kuh di belakang Bu Nina, apalagi sel1n9kuhannya masih muda.”


“Ya, namanya laki-laki, melihat daun muda ya pasti terg0d4. Makanya kita harus menyenangkan suami, biar nggak terg0d4 daun muda.”


“Bu Nina sibuk cari u4ng, sibuk masak sampai nggak sempat dandan, makanya Pak Irwan kegaet daun muda.”


Suara-suara sumbang para tetangga terdengar di telingaku. Meski mata ini belum bisa terbuka, aku masih bisa mendengar obrolan mereka. Ternyata mereka tidak sepenuhnya baik, bukannya menolong, mereka justru membicarakan 4ib rumah tanggaku dan menjelek-jelekkanku.


“Huus … kalian ini bicara apa? Bu Nina baru kena musibah kok kalian malah sibuk menggibah. Mbok ya istighfar, jangan sampai hal buruk ini juga menimpa kalian di masa depan karena kalian tidak berempati dengan Bu Nina.” Mbak Minah berhasil menghentikan obrolan para tetangga julid, aku hafal suaranya. 


Beberapa saat kemudian, aku merasa seseorang mengoles sesuatu di bawah hidung, juga di atas mataku. Aroma minyak penghangat menusuk ke indra penciuman, membuat keinginan untuk membuka mata semakin kuat. Perlahan ku gerakkan kelopak mata, mulanya terasa berat, tapi lama kelamaan menjadi ringan hingga akhirnya aku berhasil membuka mata. 


“Ya Allah, Bu Nina sudah sadar. Alhamdulillah.” Mbok Minah tersenyum melihatku.


“Sudah, jangan banyak gerak dulu, Bu Nina,” kata Mbok Minah saat aku berusaha bangun.


“Ini teh hangatnya diminum dulu, Bu.” Mbak Ndari, salah satu koki di warung makanku berkata sambil menyodorkan gelas berisi teh hangat. 


Ia memasukkan sedotan yang terhubung dengan gelas ke dalam mulutku agar aku lebih mudah untuk minum.


Ada sekitar enam orang tetangga juga karyawanku yang kini berdiri mengerubungiku. Mereka menatap dengan tatapan simpati, atau mungkin tatapan kasihan. Aku tak tahu, tapi yang pasti, keberadaan mereka cukup membantu menguatkanku. 


Apapun yang mereka katakan di belakangku, nyatanya aku butuh mereka untuk menemaniku disini. Saat tub-uh terasa lemah, kepala terasa berat, dan keluarga berada jauh, hanya para tetanggalah yang bisa membantu dengan segera.


Aku bingung, tak tahu mesti berbuat apa. Masa depan terasa suram. Liana pergi untuk selamanya. Mas Irwan juga tak tahu dimana keberadaannya. Bisa jadi ia sedang bersenang-senang dengan daun muda seperti yang ditulis Liana dalam suratnya. Ya Allah, apa yang harus aku lakukan?


Air mata mengalir deras dari mata ini saat kembali mengingat peristiwa beberapa waktu yang lalu sebelum aku kehilangan kesadaran. Ya Allah, ini berat. Kenapa semua jadi berantakan seperti ini. Aku nggak sanggup, Ya Allah.


Berkali ku tepuk dadaku yang terasa begitu nyeri. Serasa ada bongkahan b4tu besar mengganjal disana. Sakit, sakit sekali.


“Istighfar, Bu.” Lagi-lagi Mbok Minah mengusap punggungku.


Ia berusaha memberi kekuatan, begitu pula para tetangga yang lain. Melihatku kembali menangis, mereka semakin mendekat. Ada yang memj4t tanganku, ada yang mengus4p kakiku, dan ada pula yang sibuk mengus4p air mata di pipiku dengan tisu. Mereka begitu peduli. 


Saat aku tengah meratapi nasib, tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki dari luar kamar.


“Pak Irwan datang.”


Seketika semua yang ada di dalam kamar menoleh ke arah pintu, termasuk aku. Benar saja, laki-laki yang selama ini begitu ku hormati dan ku puja datang dengan tergopoh-gopoh. Wajahnya menyiratkan rasa cemas.


“Ya Allah, Ma. Ada apa? Kenapa rumah banyak orang begini?” Mas Irwan bertanya.


Ia bingung. Tentu saja. Jangankan Mas Irwan, aku saja yang sedari tadi berada di rumah ini juga masih bingung dan tidak percaya dengan apa yang terjadi.


Beberapa tetangga bergeser dan bangkit berdiri, memberi ruang untuk Mas Irwan mendekatiku.


Mas Irwan mengulurkan tangannya. Ia ingin meraihku. Tentu saja aku tak mau. Dengan sekuat tenaga, kut4ngkis tangan kekarnya. Tak sud1 aku berpel*k4n dengan seseorang yang sudah menjadi penyebab kem4tian putr1ku.


“Ma, apa yang terjadi?” tanya Mas Irwan.


Lidahku kelu. Aku memilih diam, berusaha menahan gejolak emosi yang siap membuncah di dada ini.


“Mbak Liana mencoba g4ntun9 d1r1 di dalam lemari kamarnya, Pak.” Mbok Minah menjawab pertanyaan Mas Irwan.


“APA?!” pekik Mas Irwan.


Ia kaget dan spontan berdiri. Sementara aku, tak mampu lagi ku bendung tangisan ini. Bayang-bayang Liana yang tengah terg4ntung di dalam lemari kembali muncul di benakku. Aku menangis lagi, sejadinya, meraung-raung.


“Apa benar Liana g4ntun9 d1r1, Ma?!” Mas Irwan kembali duduk dan menggoyang bahuku dengan kedua tangannya.


Sepertinya ia ingin dengar langsung dari mulutku tentang hal itu. Aku masih diam, tak sanggup menjawab, hanya tangisan saja sebagai jawaban atas pertanyaannya.


“Ya Tuhan! Jawab, Ma, apa benar 4n4k kita g4ntun9 d1r1?!” bent4k Mas Irwan.


Aku mengangguk, mengiyakan pertanyaannya. Hanya itu yang bisa kuberikan sebagai jawaban, tak kuasa lagi bicara.


Mas Irwan em0si. Ia memuk*l tembok yang ada di belakangku. Semua orang yang ada di kamar menjer1t melihat reaksi Mas Irwan yang terlihat seperti hendak menyer4n9ku. Sementara aku hanya bisa memejamkan mata, tak sempat menghindar. Untung Mas Irwan tidak benar-benar menyer4n9ku.


“Ini semua gara-gara kamu, Nina! Kamu sudah gagal menjadi ibu. Gara-gara kamu aku jadi kehilangan an4kku!” maki Mas Irwan. 


“Sudah, Pak. Istighfar. Ini musibah, Istighfar, Pak!” Mbok Minah berusaha menenangkan Mas Irwan.


“Nggak bisa tenang, Mbok! Dia sudah membun*h an4kku!” teriak Mas Irwan.


Ia semakin menjadi, semakin marah. Bahkan saat ini tangannya menunjuk wajahku. Tentu saja hal itu menyulut em0si yang sedari tadi kupendam. Aku tak terima dia menuduhku.


“Cukup, Pa! Bukan aku yang membuat Liana g4ntun9 d1r1, tapi kamu. Baca ini, Pa!” Kulemp4r!?r surat berwarna merah muda dari Liana ke wajah Mas Irwan.


Dengan kas4r ia mengambil surat yang telah jatuh ke lantai itu, tepat di bawah kakinya. Dia membuka, kemudian membacanya. Seketika wajahnya memucat.


*********

Apa yang akan dilakukan Irwan setelah membaca surat terakhir dari Liana?

Mampir kesana yuk, Kak…


JUDUL: Petaka Daun Muda

Penulis: Yulia_Cahya


Atau bisa juga dg klik tautan di bawah ini🙏☺️

https://read.kbm.id/book/detail/cbc21a3e-9dc4-47bc-b4df-751d32da9fbe?af=1d9836f2-93f6-40c4-b1c1-c7b9db453632


Mohon tinggalkan jejak like dan koment ya, Kak..

Biar Mak Authornya makin semngat lanjutin cerita,....

Like dari Kakak semua sangat berarti, sempatkan ya ….

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel