Awalan

Baca Selengkapnya

 

“Ayolah cepat lakukan!.”


Aku terus mendesak sopirku itu untuk memuaskan diri ini, namun nyatanya lelaki itu malah memundur hingga dirinya terpentok disudut dinding kamarnya.


“Jangan nyonya, Tuan besar akan marah jika mengetahui hall ini!” peringatnya, dengan keringat yang mulai bercucuran.


Aku tersenyum getir, 5 bulan lamanya aku sudah tak pernah disentuh oleh mas Pram. Suamiku itu terlalu sibuk dengan pekerjaannya hingga ia melalaikan nafkah batin yang harus dituntaskan.


Aku beralih duduk ditepian ranjang, tatapan mataku mengarah pada lelaki yang masih tersudut dipojokan. Ia tampak menghela napas panjang, sedangkan aku memikirkan segala cara agar sopirku itu mau memadu kasih denganku malam ini.


Bahkan aku membela-belakan menggunakan baju dinas yang sepatutnya hanya khusus dilihat oleh mas Pram seorang, namun karna sering kali ia berucap kata 'Lelah' saat diri ini meminta hak, aku sudah tak peduli bahkan sebagian cinta ini sudah mati terhadap suamiku itu.


“Bukankah kau butuh uang?, katakanlah sebanyak apa uang yang kau mau. Asalkan dengan syarat puaskan diriku,” terangku, memberi penawaran.


Terlihat lelaki yang menjadi sopirku itu berulang kali meneguk salivanya, aku tahu ia sangat membutuhkan uang lantaran harus menghidupi ibunya dikampung.


“Tapi nyonya....”


“Ssttstss.... Ini pasti akan membuatmu merasa puas, bukankah kau belum pernah melakukannya?” tanyaku, ia menggeleng. Aku tersenyum penuh arti, hingga aku mulai kembali mendekati dirinya.


“Tapi nyonya, saya tidak mau berzina. Itu dosa besar!.”


Langkah kakiku terhenti, ucapannya barusan sedikit menyadarkan diri ini tentang dosa. Aku termenung diam dan bersitatap dengan lelaki itu, hingga kesunyian ini dibuyarkan oleh bunyi deru mobil.


“Nyonya!, cepatlah keluar. Tuan besar sudah tiba!” pekik Arfa, mendorong sedikit tubuhku.


Dengan cepat aku keluar dari kamar ukuran 3×3 itu dan beralih masuk kedalam kamar milikku berdua dengan mas Pram. Duduk ditepian ranjang sembari menghembuskan nafas kasar, udara terasa sejuk ditambah oleh baju dinas ini yang seperti saringan tipis.


Beberapa saat terdengarlah knop pintu terbuka, bola mataku langsung tertuju pada mas Pram yang masih menggunakan jas kebanggaannya. Bahkan karna jas itu, diriku dipandang rendah oleh suamiku itu. 


Tak ada satu katapun yang keluar, sikapnya begitu dingin terhadap diriku. Bahkan sering kali aku berpikir, aku ini istrinya atau hanya teman tidur. Itupun jarang-jarang ia tidur dirumah, biasanya setiap bulan selalu ada kerjaan yang harus pergi keluar kota.


“Tolong siapkan kopi,” perintahnya, lekas aku bangkit dan melangkah keluar dari kamar ini tanpa meninggalkan kata.


Tanpa aba-aba tanganku dicekal kuat olehnya, membuat langkahku terhenti. Mata elang itu menatap dari ujung kaki hingga ujung rambut, kuyakin ia sangat heran dengan penampilanku ini.


“Untuk apa kamu pakai baju ini?” tanyanya dingin.


“Kamu pikir aja sendiri mas, aku cape!” cetusku lalu melepaskan cekalan dan kembali melanjutkan langkah.


Kali ini aku takkan banyak membantah, separuh hati ini sudah mati rasa. Karna harta mas Pram, melalaikan tugasnya sebagai suami. Dan karna harta pula, mas Pram menjadi pribadi yang angkuh dan sombong.


Memang ia sama sekali tidak pelit, bahkan ia selalu memberikan apa yang ku minta. Kecuali nafkah batin, jika kebahagiaan itu 'harta' namun bagiku tidak. Tidak semua harta dapat membeli kebahagiaan, akupun butuh perhatian dan tempat bercerita sebagai pasangan suami istri.


Menuangkan air panas panas serbuk kopi, dan kembali membawa cangkir itu kedalam kamar. Terlihat mas Pram sedang duduk dibalkon dengan ponsel yang selalu digenggamnya, aku ikut duduk berhadapan dengan dirinya.


Dingin, seperti udara malam. Memang benar adanya, seseorang akan berubah karna harta. Entah itu akan menjadi kepribadian yang baik, atau malah sebaliknya. 


“Mas, aku ingin bicara denganmu,” tuturku, lelaki itu hanya mengangguk.


“Mas, aku ini istrimu bukan?” tanyaku sedikit meninggikan nada.


“Menurutmu?” tanyanya balik, ku sentak napas ini. Sungguh harus memiliki rasa sabar sedalam lautan demi menghadapi satu orang ini, entah mengapa sikapnya berubah 180 derajat. Padahal dulu ia sangat bersikap romantis hingga hatiku terpikat olehnya.


“Hargai aku mas, aku disini bukan dibenda itu. Jika kamu bekerja hanya untuk menafkahi dan mencukupi segala kebutuhan ku itu memang benar, namun ada satu nafkah lagi yang harus dilakukan dan itu adalah 'HAK' seorang istri,” ucapku panjang lebar, dan menekankan kata 'HAK'.


Mas Pram menaruh benda pipihnya dimeja, dan menyeruput kopi panas dihadapannya. “Sudahlah jangan banyak drama, beli saja sesuka hatimu menggunakan uangku. Bahkan kalau bisa, sewa saja lelaki lain untuk memberikan nafkah batin yang selalu kau inginkan itu,” jawabnya santai. Lalu bangkit dan meninggalkanku seorang dibalkon.


“Apa kau sudah tak normal mas?” tanyaku lirih, air mataku jatuh membasahi pipi. Angin malam bertiup kencang membuat kulitku terasa dingin, hingga aku memutuskan untuk masuk kembali kedalam kamar dan merebahkan diri menutupi selimut.


Menyembunyikan Isak tangis, tega sekali mas Pram menorehkan luka yang begitu membuatku tersiksa. 


'Jangan salahkan aku mas, jika aku lebih memilih berselingkuh' batinku. Lalu menghapus air mata ini dan berusaha untuk terpejam hingga terbuai oleh mimpi dan meninggalkanku kesedihan mendalam ini.


****


#SUAMI_CADANGAN


TAMAT DIKBM APP

JUDUL : SUAMI CADANGAN

PENULIS : Cecilion30_


Baca selengkapnya  Klik link di bawah:

https://read.kbm.id/book/detail/a8716874-db1f-44fc-bb76-9e0d39fdf343?af=fa515ec1-c167-4509-b819-e8fd9f375993

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel