SAKITNYA MENJADI ISTRIMU Full Episode
SAKITNYA MENJADI ISTRIMU 10
Dari rasa ingin bertahan, berjuang mati-matian. Ternyata yang paling benar adalah pulang, pulang dimana kamu dihargai. Di sayangi, dan di anggap ada.
Tidak peduli apa yang akan dikatakan orang lain mengenai hati yang kalah ini, yang paling benar adalah pergi, menutup hati dan mulai melanjutkan hidup.
Terdengar menyedihkan, tapi jauh lebih benar daripada terus bertahan.
Tidak peduli sesakit apa selama ini, seikhlas apa diri menerima. Jika ia sudah mencampakkan, itu artinya kamu dimenangkan. Meski harus menahan sakit.
“Nilung,” wajah ini menoleh, lamunanku seketika buyar. Mamak membuka pintu kamar, berjalan menghampiriku.
“Iya, Mak?”
Mamak meletakkan plastik hitam di atas ranjang, tepat disampingku. Tanganku terulur, meraih plastik itu. Kedua mata ini berbinar, berseri-seri memandangi plastik hitam yang mana didalamnya ada baju baru.
“Ini, buat Nilung, Mak?” Tanyaku ragu. Mamak mengangguk. Ikut membuka plastik, mengeluarkan baju gamis berwarna kecoklatan.
“Hm, ini dari Bapak. Katanya, untukmu Nduk, bapak juga bilang. Nanti di pakai, ya.” seru mamak.
Betapa bahagianya hatiku, sampai aku melompat dari ranjang. Kemudian berputar- putar seraya mencoba gamis baru pemberian bapak, sangat cantik. Cantik sekali gamis ini, sepertinya ini gamis yang paling bagus yang pernah ada.
Apa lagi bapak yang membelinya.
“Siap-siaplah,”
Aku termenung, berhenti berputar. Dan ikut duduk di samping mamak, mamak menggamit jari-jemarinya. Entah apa yang beliau pikirkan, sampai raut wajahnya terlihat sendu.
“Ada apa, Mak?” Tanyaku pelan. Tanganku menggenggam tangan mamak, kuletakkan di atas paha ini, meragu mamak membalas tatapanku. Sampai air matanya tumpah ruah seraya menarik tanganku, kemudian memeluk erat tubuh ini.
“Ada apa, Mamak,” bisikku. Mamak enggan menjawab, semakin membenamkan wajahnya di bahuku.
“Mamak?” ulangku.
Mamak mengusap air matanya, memandangi wajah ini. Tangannya terulur, mengusap pipi ini. Tidak pernah mamak menangis seperti ini, rasanya sakit sekali melihatnya menumpahkan air mata karena aku.
“Bapak … Bapak meminta kita datang ke acara pernikahan Fauziah, Mamak ndak mau. Mamak ndak mau putri Mamak dihina lagi, Mamak ndak rela,”
Allah.
“Mamak jangan menangis, nanti Nilung ikut menangis, loh,” rayuku tersenyum, meskipun aku sama terkejutnya. Datang ke acara pernikahan Fauziah? Sama saja bertemu lagi dengan mas Lukman juga keluarganya. Apa yang akan mereka katakan jika melihatku? Sedangkan ketika menjadi menantu, kehadiranku bukan apa-apa bagi mereka.
“Mamak, memangnya untuk apa kita datang?”
Mamak menggeleng. “Bapak bilang karena kita diundang, bukan berarti kita tidak datang. Hanya karena sudah putus hubungan, bapak tidak mau membuat orang kecewa, nduk. Mangkanya ini, bapak membeli baju paling bagus untuk putri kami, katanya supaya Lukman menyesal.” Terbata-bata Mamak menjelaskan. Dadanya ikut kembang kempis seraya menahan dada.
“Mamak jangan khawatir, sudah. Mamak jangan menangis, kalau itu alasan bapak. Ndakpapa, Nilung akan datang kesana. Benar, meskipun sudah bercerai, bukan berarti harus putus hubungan dan menjadi orang asing, kan?”
Mamak mendelik. “Kamu yakin, nduk?”
Kepala ini mengangguk yakin. “Nilung nggak takut apapun, kan. Ada Mamak juga bapak, hanya memenuhi undangan. Setelah itu pulang,” ujarku.
Tanganku senantiasa menggenggam tangan mamak, berusaha mengalirkan kekuatan. Meski tak dapat ku tampik, jika aku pun ketakutan.
Aku tidak tahu, hinaan apa yang akan mereka layangkan nanti padaku. Bagaimana tatapan hina itu menguliti hati ini nantinya, entahlah. Namun itu tidak akan kubiarkan terjadi, aku harus kuat. Benar kata Bapak, tanpa mas Lukman. Aku mampu berdiri, bangkit dari segala keterpurukan.
Dengan gamis baru ini, akan ku kenakan. Akan ku tutup mulut mereka yang merendah diri ini nantinya.
“Baiklah, kita ke kondangan. Kondangan mantan ipar, yang turut menyakiti hatiku dahulu.” gumamku.
***
“Ibu cantik sekali,”
“Terimakasih, sayang. Mumtaz juga tampan sekali, pakai Koko baru. Udah bilang terimakasih sama Mbah Akong, belum?” Pujiku pada putraku.
Kini kami berdiri di teras, menunggu bapak yang tengah bersiap-siap. Sedangkan mamak tidak ikut, katanya takut. Jadi Mamak dan Layung dirumah saja, tidak apa. Lagi pula tidak akan lama, hanya duduk dan memperlihatkan diri jika aku baik-baik saja.
Gamis yang Bapak beli sudah ku kenakan, dipadukan pasmina berwarna senada. Bapak membeli gamis satu set dengan hijabnya, tidak lupa ku pakai bross cantik pemberian Bapak untuk memperindah tampilan hari ini, meskipun jarang sekali aku demikian.
“Wah, Bapak ganteng sekali,” pujiku. Bapak keluar dari rumah, peci hitam ia kenakan. Koko senada yang sama seperti dikenakan Mumtaz, Mumtaz menghampiri Bapak, kemudian menggandeng tangannya.
“Alhamdulillah,” lirih Bapak. Aku mengulum senyum, binar bahagia terlihat jelas di wajah Bapak.
“Jalan sekarang yuk, Pak. Nanti kesorean,” ajakku.
Bapak mengangguk, aku menyalami tangan mamak, juga mencium pipi Layung. Kami berjalan beriringan menuju depan, untuk mencari kendaraan yang akan mengantarkan kami ke kediaman mantan suami.
Di desa seperti ini, biasanya kondangan ke pernikahan dilakukan tiga sesi. Pagi, siang dan sore sampai malam. Pagi itu khusus keluarga inti, siang untuk undangan terdekat. Dan sore dari kerabat jauh ataupun tetangga khusus ibu-ibu yang memang kerap datang belakangan, biasanya menunggu sepi.
Jarak yang ditempuh pun cukup jauh, kami naik ojek. Ojek pengkolan yang sudah langganan, bapak bilang. Ketemu di pasar sebelum kami pulang, dan bapak sudah mengatur kedatangan kami yang disengaja untuk datang ke acara pernikahan Fauziah, mantan adik iparku.
Bapak bilang, tidak apa putus tali pernikahan, asal tidak putus tali silaturahmi. Betapa baiknya hati beliau, meskipun mendengar dan melihat dengan kedua mata kepala sendiri ketika putrinya ditalak bagaikan sampah.
“Ayo,” ajak bapak. Mumtaz membantu bapak turun, sedangkan aku termenung di atas motor.
Panggung pelaminan terlihat dari kejauhan, barisan motor juga kendaraan roda empat berbaris rapi di parkiran. Meragu aku turun, ketika bapak menepuk pelan pundak ini.
Ku telan saliva berkali-kali, mengusap keringat yang mengalir. Udara tidaklah dingin, namun aku menggigil. Telapak tangan menjadi basah, keringat dingin memenuhi tubuh.
“Apa ini tidak salah? Datang kembali setelah diusir terang-terangan?” Astaga.
“Ibu,”
“I-iya?”
Mumtaz menunjuk tenda pelaminan, di sisinya ada pintu masuk yang dihias sangat indah, dan ada mbak Liana disana. Wanita itu ditugaskan menyambut tamu, andai aku masih ada. Mungkin aku masih di belakang, sibuk mengurus piring kotor. Ataupun menjadi bahan pesuruh oleh mereka, beruntungnya aku sudah sadar, dan diselamatkan oleh Allah. Meskipun aku terlambat menyadari setelah tiga belas tahun berlalu.
“Ayo masuk. Masuklah dalam keadaan buta, dan keluar dalam keadaan bisu. Tidak perlu didengarkan segalanya, kita datang memenuhi undangan. Dianggap atau tidak, tidak apa. Ayo, nduk.” ajak Bapak.
Bapak mengeluarkan dua amplop, satu untukku. Dan satu ditangannya, entah berapa jumlahnya, aku tidak tahu. Aku menyesali, kenapa Bapak harus menyiapkan dua amplop, padahal cukup satu amplop saja, tidak apa. Toh, keluarga itu tidak peduli selain menertawakan.
“Ayo, Bu,”
Tanganku meraih tangan Mumtaz, ku genggam begitu kuat. “Ibu,” Mumtaz meringis, aku terlalu kuat menggenggam tangannya.
“Eh, iya. Maaf, ya,” aku celingukan. Menghapus jejak di dahi, takut-takut ada yang melihat.
Bapak lebih dahulu melangkah maju. Disusul aku juga Mumtaz dari belakang.
“Wahh … mantan IPAR kok, datang?”
Aku mengerlingkan mata, mbak Liana menyambutku dengan tatapan meremehkan. Apa lagi tangannya spontan menutup mulut, matanya begitu liar memandang penampilanku. Sampai ia tertawa, hingga pagar ayu yang ditugaskan di balik meja penerima tamu ikut cekikikan.
“Ya ampun, lung … lung, meskipun baju baru, setidaknya lepas dahulu tag bajunya,” jarinya menunjuk padaku. Aku menunduk, dimana ujung pergelangan bajuku terdapat label baju yang masih menempel. Seingatku, sudah ku lepas.
Ya Allah, aku menepuk jidat. Yang ku lepas adalah tag jilbabku, bukan baju. Ya Allah.
Pipiku memerah, bertepatan MC yang ditugaskan di atas panggung berhenti bersuara. Akibat keributan di ambang pintu masuk, aku menunduk. Tidak kuat melihat tatapan mereka, terutamanya ada mas Lukman yang tengah mengambil makanan di meja prasmanan.
Tawa masih terdengar, apa lagi mbak Liana yang mengatakan hal lainnya.
Namun, ketika rasa malu menyeruak hingga menutupi seluruh tubuhku. Ada laki-laki yang dengan berlapang hati menghampiriku, langkahnya yang tertatih-tatih berhenti di depan tubuhku. Bapak meraih tangan ini, menggigit tali label baju yang masih menempel pada ujung pergelangan tangan.
“Bapak,” bibirku gemetar, sekujur tubuhku membeku. Bapak mengusap pipiku, lalu menggeleng pelan. Seakan mengatakan “tak apa, ada Bapak disini,”
“Apa yang kalian tertawakan? Apa lucunya? Putriku tengah bahagia, karena selama menikah dengan salah satu adik suamimu. Putriku tidak pernah beli baju baru, apa yang kamu pikirkan ketika melihat putriku?”
“Pak,” panggilku pelan. Bapak menatap pagar ayu juga mbak Liana, aku tahu. Pasti bapak tersinggung, meskipun semuanya salahku. Aku terlalu bahagia dapat baju baru, sampai lupa tag bajunya belum ku lepas.
“Biasa aja dong, ya udah sana. Masuklah, tapi dikondisikan, kalau makan, sesuaikan isi amplop!” Ketus mbak Liana. Kukepalkan tanganku, begitu menyakitkan ia berkata. Seolah-olah kami tidak pernah makan.
“Sudahlah, Pak, ayo.” Tanganku menarik bapak menjauh. Sedangkan Mumtaz mengikuti dari belakang tubuhku.
“Sudah bercerai toh?” Pertanyaan itu terdengar, sesaat aku berhenti di depan meja. Meja khusus untuk menerima para tamu, ada buku yang di peruntukan untuk mengisi daftar yang datang. Pertanyaan itu tetap ku abaikan, aku fokus tanda tangan.
“Wajar cerai, wong katanya nggak pandai bersyukur, nggak cantik juga.” timpal yang lain. Saudara jauh dari mantan suamiku itu mencibir, para gadis yang dimintai menjaga meja. Pagar ayu yang tidak secantik dandan mereka.
“Iya gimana nggak cerai, kan. Dandannya udik, kondangan pakai sandal jepit. Sama aki-aki lagi,”
“Hati-hati kalau ngomong, apa lagi masih gadis, takutnya. Dapat mertua buruk, dan pandai mengatur. Nggak mau, kan. Bernasib sama kaya aku?” Sindir ku telak. Tidak lupa membubuhkan senyuman termanisku, apalagi salah satu dari mereka begitu dekat dengan Fauziah, juga salah satu dari manusia yang tidak berhati.
“Terimakasih, ya. Oh iya, kamu kemarin yang nikah, kan? Fauziah nggak datang kan, ya? Kok kamu mau hadir? Oh, iya. Lupa … nikahnya karena digerebek, kan, ya?”
SAKITNYA MENJADI ISTRIMU - widya
Nilung--- Sebaiknya berpisah, jika kita akan saling menyakiti.
Lukman --- Aku menyayangi istri dan ...
Baca selengkapnya. Klik link di bawah:
https://read.kbm.id/book/detail/42d989d0-7aca-48e5-a313-6b0dca6c1e41?af=51456a72-84fc-4e6e-8803-e0efb019b974