GARA-GARA SEPIRING NASI
KALAU TAU AKAN BEGINI, KITA TIDAK USAH PULANG KE RUMAH NENEK, BU! 4
'Jadi dia Johan, calon suami Rini? Semenjak mereka menjalin hubungan hingga memutuskan akan menikah, ini kali pertama aku melihat Johan.
Ternyata cukup lama aku tidak berkunjung, hingga aku tidak tahu banyak perubahan yang terjadi.
Selama Mas Bayu sakit, sekalipun tidak pernah ketiga saudaraku datang mengunjungi kami. Terlebih saat aku menelepon Irwan untuk meminta bantuan. Sejak saat itu, ia seperti sengaja menjauh dari kami. Bahkan memutus komunikasi denganku.
Tadinya aku tidak ingin mengeluh dengan ibu tentang kesulitan kami. Aku tahu pasti ibu akan sangat kepikiran. Tapi Irwan yang memberi tahu ibu bahwa aku meminta bantuan padanya.
Sejak saat itu juga, aku mulai paham dengan sikap Irwan. Aku menutupi semua itu dari Mas Bayu dengan memberikan keterangan bahwa Adikku belum bisa membantu karena banyak yang harus Irwan selesaikan. Padahal dengan gamblang Irwan mengatakan tidak akan mengeluarkan apa pun untuk kami.
Mendengar kabar dari Irwan, ibu datang ke Bogor dengan bantuan paman Supri, Adik lelaki ibu. Itu sebabnya ibu sangat mengerti keadaan kami saat ini.
Tapi sejak delapan bulan terakhir, ibu sama sekali tidak pernah berkunjung, karena gula darah ibu yang terus naik, hingga membuatnya harus beristirahat total, aku menjanjikan pada ibu untuk pulang lebaran ini, agar ibu bisa bertemu dengan kedua Cucunnya.
“Sejak kapan kamu datang, Mas?” Rini mengalihkan pembicaraan.
Terlihat Johan menggelengkan kepala sambil berdecak.
“Aku tidak menyangka dengan yang baru saja aku lihat. Seperti itu kamu memperlakukan ibu kandungmu? Lalu bagaimana dengan Ibuku nanti?” Johan berbicara sambil bergeming dari hadapan Rini.
“Ini tidak seperti yang kamu bayangkan, Mas. Kamu harus tahu bahwa sebenarnya Mbak Mira yang me-“
Ucapan yang akan Rini sampaikan pada Johan terhenti karena lelaki itu berlalu dari hadapannya. Ia malah berjalan ke arah ibu.
“Apa ini Mbak Mira yang ibu ceritakan?” Johan bertanya pada ibu dengan nada sangat lembut.
Bahkan caranya memperlakukan ibu jauh lebih baik dari ketiga Anak kandung ibu sendiri.
Ibu mengangguk menanggapi pertanyaan dari Johan. Lelaki itu berjalan ke arahku.
“Saya Johan, Mbak. Orang tua Mbak Mira dulu banyak menolong saya. Almarhum Ayah Mbak Mira sangat berjasa buat saya,” ucapnya, memperkenalkan diri.
“Saya Mira,” jawabku, menanggapi uluran tangan Johan.
“Ibu Fatma sudah banyak bercerita tentang Mbak Mira,” ucapnya lagi.
Menurut cerita ibu, Johan adalah seorang dosen di tempat Rini berkuliah. Johan adalah pendatang dari Jawa Tengah. Dulu waktu Ayah masih hidup, hubungan Johan dan Ayah sangat dekat. Bahkan Ibu sudah menganggap Johan seperti anak sendiri.
Hingga Ayah menjodohkannya dengan Rini. Katanya agar hubungan antara Ayah dan Johan semakin erat.
“Bagaimana keadaan Mas Bayu? Tentu sudah jauh lebih sehat, bukan?” tanyanya, seakan sudah akrab dengan kami.
Aku tersenyum kecil menanggapi ucapan Johan, sambil berpikir 'kenapa Johan bisa bersikap seakrab ini?
“Saya sudah mengenal Mas Bayu, Mbak. Dulu beliau sering datang ke kampus untuk menyelesaikan pembayaran kuliah Rini,” T?terangnya.
Memang benar, dulu meskipun kami tinggal di Kota, tapi Mas Bayu tetap bertanggung jawab menyelesaikan biaya kuliah Rini. Berbeda dengan Irwan yang berkuliah di Kota dan tinggal bersama kami. Tujuanku agar Rini bisa menemani ibu. Karena dulu Mbak Nana memiliki rumah dan tinggal bersama suaminya.
Sebenarnya aku sangat tahu kesulitan Mbak Nana, karena sakitnya, ia harus rela kehilangan rumah. Bahkan sampai surat rumah ibu ikut di gadaikan untuk mencukupi biaya pengobatan Mbak Nana. Memang dulu keuangan Mas Bayu lumayan baik. Mas Bayu bekerja sebagai kontraktor bangunan perumahan elite di Kota kami.
Mas Bayu tidak pernah hitung-hitungan dalam membantu keluargaku. Bahkan ia yang mencukupi biaya hidup Ibu. Tapi saat kami sedang jatuh, semua seakan pergi meninggalkan kami. Karena mereka takut bahwa aku akan mengambil rumah yang memang seharusnya menjadi hak kami. Kalau memang aku dan Mas Bayu tega, kenapa tidak sejak dulu aku membiarkan surat rumah tetap berada di pegadaian? Semua aku lakukan agar ibu dan Adiku tidak kehilangan rumah dan tetap memiliki tempat tinggal. Tapi apa balasan mereka?
“Di rumah ini semakin membosankan!” Mbak Nana yang sejak tadi berdiri memperhatikanku, berjalan sambil sengaja menabrakkan diri ke tubuhku, “Minggir!” ujarnya, tanpa menatapku. Ia berlalu dengan membawa dua apel yang ia raih dari tangan ibu.
Ibu menggeleng heran dengan sikap putri sulungnya itu.
Benar-benar tidak berubah.
“Sejak kapan Mbak Mira datang?” Johan mengalihkan perhatianku yang menatap kepergian Mbak Nana.
“Senja kami baru datang,” jawabku.
“Sampai kapan Mbak Mira berada di rumah ibu?” tanyanya lagi.
“Mungkin secepatnya aku akan kembali ke Bogor,” jawabku.
“Oya? Kenapa tidak menunggu sampai lebaran saja?”
Sebenarnya aku juga ingin berada di sini sampai hari raya, agar aku bisa merawat ibu lebih lama. Tapi sepertinya semakin lama aku disini. Akan semakin membuat ibu tersakati oleh sikap Anak-anaknya.
“Sebenarnya kedatanganku kesini karena ingin menjemput ibu,” terangku.
“Benarkan dugaanku? Mbak Mira akan memboyong ibu setelah rumah ini berhasil kalian jual.” Rini menyahut sambil berkacak pinggang.
Aku merasa tidak enak dengan Johan. Kedatanganku hanya menciptakan keributan. Terlebih aku khawatir jika Johan marah dan sampai bertindak seperti yang ibu takutkan. Pasti Rini akan menyalahkanku.
“Jaga bicaramu, Nak! Berapa kali ibu selalu mengingatkanmu?” Ibu berusaha menasehati Rini.
Sebenarnya aku juga ingin membungkam mulut Anak tidak tahu diri itu. Tapi kembali lagi, aku harus ingat, ada Johan di sini. Anak-anakku juga terlihat semakin bingung dengan pertikaian yang sejak tadi tidak ada ujungnya.
“Ibu terus membela Anak serakah tidak tahu diri itu? Bahkan ibu memihaknya? Sebenarnya kami ini anak ibu atau bukan. Hah?!” teriaknya semakin bengis. Bukannya mereda karena kedatangan Johan, justru Rini semakin tidak peduli dengan sikapnya.
“Berhenti, Rin! Sekarang tidak ada lagi alasanku untuk tak membatalkan pernikahan kita, sikapmu sungguh di luar nalar pemahaman. Kamu lupa bawa wanita yang sedang kamu bentak itu adalah ibumu? Kamu lupa Rini?!” tegas Johan pada Rini.
“Aku setuju dengan Mbak Mira, akan lebih baik jika Ibu Fatma ikut bersama Mbak Mira.” Johan berbicara tanpa memberi Rini kesempatan untuk menjawab.
“Dan bersiaplah, Rin. Kamu akan benar-benar kehilangan orang-orang yang peduli denganmu!” lanjutnya, lalu ia melangkah meninggalkan kamar ibu.
“Berhenti, Mas!” Baru saja Johan mengayunkan kakinya, Rini berteriak menghentikannya, “Tarik semua ucapanmu, atau kau lebih memilih melihatku mati!” ancamnya.
Rini menyambar sebuah pisau pemotong buah yang terletak di atas nakas, lalu mengarakan tepat pada bagian dadanya.
Judul: GARA-GARA SEPIRING NASI
Penulis: rarakusuma
👇
https://read.kbm.id/book/detail/92e73668-83bb-d394-2598-aca46279aadc?af=06f2531a-5295-97f8-3882-2523eb82a18f