Awalan

Jodoh Hasil Rampasan


 "Kenapa Abang jadi galak? Kalau tidak mau kan tidak harus marah-marah." Aku mulai menangis.


Hatiku terasa begitu sakit. Entah karena merasa dia terlalu kasar hanya karena masalah sepele seperti ini, ataukah saat dia kembali membawa-bawa nama Kania.


Obsesi katanya? Dia bilang aku iri? 


Ya. Aku memang iri. Gadis bernama Kania telah mencuri perhatian dan semua waktu yang dulu bang Haikal berikan untukku. Lebih memilih mengantar Kania yang berlawanan arah ketimbang menjemputku dari pulang les meski tempat tinggal kami berdekatan.


"Minta Eka atau Pak Ali menjemputmu, ya. Kasihan kalau Kania pulang sendirian."


Alasan ke sekian yang membuatku begitu membenci Kania.


*


Aku dan suamiku akhirnya memakai mobil ayah. Dia akhirnya mengalah setelah melihatku menangis, lalu meminta maaf karena terlalu kasar dan berjanji tidak akan mengungkit soal Kania lagi. 


Ya. Sebesar itu cara dia menghargai perasaanku. Tapi, jika perasaannya sendiri juga belum berubah untuk mencintaiku, aku bisa apa?


Kami sampai di tempat acara. Sebuah kafe yang dibooking dari sore hingga malam untuk merayakan ulang tahun Dea. Dea langsung menyambut kedatangan kami dengan begitu antusias. Dia temanku sejak SMP dan SMA hingga sekarang.


Dia juga salah satu orang yang tak percaya bahwa akhirnya aku akan menikah dengan pria dari masa kecilku. Mengingat begitu besarnya perbedaan aku dan Kania saat itu. Pria normal mana pun pasti akan lebih mengagumi sosok Kania ketimbang aku.


"Sadar, Dwi. Kania itu wanita super. Cantik, dewasa, pintar, pekerja keras, selalu ceria. Bang Haikal tidak akan mungkin menukarnya dengan gadis ingusan sepertimu. Sudah bodoh, cengeng, manja. Dan yang paling membuat mereka cocok adalah...." Dea sedikit merapatkan bibirnya ke telingaku. "Mereka sederajat. Tak ada lagi peluang untukmu." 


Bisikannya terdengar seperti ayat kursi pada orang yang kerasukan. Membuat kupingku panas dan hampir kejang-kejang.


Itulah kata-kata Dea yang sempat membuatku memblokir semua akses padanya selama tiga hari, hingga dia sampai harus meneror seluruh keluargaku agar aku memaafkannya.


Kini seperti menjilat ludah sendiri, dia begitu memuji betapa ideal dan romantisnya hubungan kami saat ini.


Aku dan suamiku duduk di kursi pojokan sambil menikmati hidangan. Wajah kecut itu hanya diam. Tak ada pembicaraan yang kami lakukan dari sepanjang jalan tadi. Tak sedikit pun tersirat di wajahnya menikmati suasana pesta. Seperti yang sudah-sudah, dia hanya ikut layaknya menjalankan sebuah kewajiban saja.


"Abang mau salad buah? Aku ambilkan, ya?" Aku mencari alasan untuk mengajaknya bicara. Dia hanya mengangguk, tak menolak.


Aku langsung bangkit dan menuju meja hidangan. Mengambil satu porsi salad buah, lalu ingin segera kembali. Tanpa sadar seseorang menepuk pundakku dari belakang.


"Dwi!" 


Aku langsung menoleh. Mataku menyipit meyakinkan diri bahwa aku tidak salah lihat.


"Bima?" Aku langsung mengenali pemuda itu.


"Kupikir kau sudah tidak ingat." Dia tersenyum ramah.


"Tentu saja aku masih ingat. Sedang apa kau di sini?"


"Menghadiri pesta."


"Ya. Maksudku, kau...."


"Aku kembali. Setelah lulus SMA kami kembali tinggal di sini."


"Oh, begitu." Aku mengagguk tanda mengerti.


"Kau bersama siapa?" tanyanya lagi.


"Aku bersama suami. Dia ada di sana." Aku menunjuk ke arah Bang Haikal yang masih bersandar di sofa pojok, masih dengan wajah datar seperti sudah bosan berada di sana.


"Suami?" Matanya menyipit. "Kau... tidak kuliah?"


"Eh, sudah, ya? Suamiku pasti sudah menunggu." Aku bergegas pergi tanpa berniat menjawab pertanyaannya.


Kuliah? 


Bahkan berangkat sekolah dulu pun aku sudah malas. Tak ada pelajaran yang aku sukai. Juga tak ada guru tampan atau kakak kelas yang membuatku bersemangat menuju ke sana. Yang kupikirkan hanyalah bagaimana caranya agar cepat pulang dan melintasi rumah kontrakan yang ditempati Bang Haikal dan keluarganya.


"Ini saladnya, Bang." Aku meletakkan mangkuk kecil di atas meja. Dia hanya mengangguk.


"Abang lama menunggu, ya? Tadi aku berbicara sebentar dengan teman. Sudah lama tidak bertemu. Dulu dia itu__."


"Tidak apa-apa," selanya sebelum aku menyelesaikan ucapan. "Kau temui saja dulu teman-temanmu. Aku tunggu di sini." 


"Abang bosan, ya?"


"Kubilang tidak apa-apa. Ini pesta temanmu. Berbaurlah."


Aku tak menggubris ucapannya. Aku lebih memilih menemaninya meski tahu tak akan ada pembicaraan berarti di antara kami. Ingin sekali aku mengajaknya pulang. Kasihan karena kelihatannya dia tidak betah. 


Lagipula tak satu pun yang dia kenal. Hanya Dea dan juga beberapa teman wanitaku saja yang dulu sering main ke rumah. Selebihnya hanya para mahasiswa dan juga mahasiswi yang tidak sefrekuensi dengannya yang seorang karyawan.


Tak lama acara di mulai. Aku menarik tangan suamiku untuk berdiri dan mendekat. Usai memotong kue tart dan membaca doa, kurasa aku bisa mengajaknya pulang. Aku dan dia tentu saja tak perlu menikmati acara musik sebagai puncaknya hingga larut malam nanti.


Lagu selamat ulang tahun dinyanyikan. Ucapan doa juga sudah dilantunkan. Potongan demi potongan kue Dea berikan pada beberapa orang, temasuk aku. Lalu semua kembali ke posisi dengan koloninya masing-masing.


"Kita pulang, ya, Bang." Lagi-lagi dia hanya mengangguk. 


Usai pamit pada Dea dan teman-teman yang lain, aku kembali menghampirinya. Aku meraih lengannya saat dia tengah berdiri mematung memandang sesuatu. Aku langsung menoleh ke arah pandangannya. Tiba-tiba saja jantung ini menjadi begitu sesak.


Seorang gadis tengah berdiri di sudut sana, melihat ke arah suamiku. Entah sudah berapa lama mereka saling berpandangan. Dan itu menghancurkan hati dan juga harga diriku.


Aku yang kini berdiri di sisi suamiku mendongak untuk melihat wajahnya. Raut wajah itu seperti sedang menyimpan sebuah kerinduan. Sorot matanya tak lekang menatap objek di depannya.


Hatiku hancur. Air mataku lolos begitu saja. Tak lama gadis itu mengalihkan pandangan karena seseorang mengajaknya bicara. Tawa riangnya dengan lawan bicaranya membuat raut wajah suamiku begitu menyedihkan. Seperti mengingat-ingat kejadian di masa lalu.


Aku sudah tak tahan lagi. Lalu berlari keluar meninggalkan laki-laki itu tanpa pamit. Entah dia menyadari atau tidak, bahwa baru saja aku tadi berada di sisinya, lalu meninggalkannya begitu saja.


Aku sampai di tempat parkir menuju mobil. Menangis di samping pintu sambil menarik-narik handelnya. Pikiranku kacau hingga tak lagi sadar bahwa kuncinya masih dipegang oleh suami jadi-jadian itu.


Aku menangis sesenggukan. Bahkan merengek sambil mengentakkan kaki saking kesalnya.


Kania. 


Kenapa gadis itu berada di sana? Menatap suamiku tanpa rasa bersalah. Harusnya dia tahu diri bahwa mereka kini tak lagi bersama. 


Akhir-akhir ini dia bagai teror yang terus menerus berada di sekitar suamiku. Membuatku berpikir bahwa ini bukan hanya sebuah kebetulan. Mereka pasti selama ini sudah bersandiwara dan sengaja membuat janji bertemu.


Aku semakin sesenggukan hingga dadaku terasa begitu sesak. Aku berjongkok saking tak kuatnya menahan sakit. Kedua lututku lemas membayangkan jika selama ini aku telah dikhianati.


Dalam tangisan kulihat sepasang kaki melangkah dari arah depan. Sebentar saja sepatu sport itu sudah berbaris rapi di hadapanku.


"Kau sedang apa?"


                                 ~~~~


Sudah tamat di kbm

Judul kbm :  Jodoh Hasil Rampasan



Link kbm


https://read.kbm.id/book/detail/de72a85b-cbc0-4df2-9a31-70e9e0a9e9b8

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel