Awalan

SUAMIKU SELALU PULANG TENGAH MALAM


 SUAMIKU SELALU PULANG TENGAH MALAM (2)


Penulis : Yus Yusni 

_________________

"Abang kok bisa pakai baju kerja yang kemarin lagi?" Aku melepas pelukan darinya.


"Gak apa-apa, Dek. Kasian istri Abang nyuci baju Abang tiap hari, apalagi kotor banget begini. Adek kenapa menangis?" Bang Jamal mengusap bulir bening di pipiku.


"Gak apa-apa, Bang. Semoga lelah Abang menjadi Lillah, ya. Bang ... Adek ikhlas, Bang. Ayuk masuk, biar Adek masak air untuk mandi Abang." Sebelum ke dapur, kuambilkan handuk terlebih dahulu untuknya agar badannya sedikit hangat.


Namun, langkahku tercekat kala melihat dia memperhatikan anak kami yang tengah tertidur pulas di lantai menunggu kepulangan Ayah--nya. Tergambar kesedihan yang mendalam dari raut wajahnya. Ia mengelus pipi Hani. Begitulah dia yang suka sekali mengelus dan memperhatikan wajah anaknya ketika tidur. Kuperhatikan dua bulir bening jatuh mengenai dahi putrinya.


"Hani nungguin Abang pulang," ucapku berjalan kearahnya.


Bang Jamal menyeka air matanya. Tatapan itu tak lepas dari Hani.


"Bangunin saja dia," ucapku.


"Gak usah, sayang. Biarkan anak kita tidur, besok dia harus bangun pagi dan ke sekolah. Setelah Abang mandi, Abang akan mengangkatnya ke kamar." Bang Jamal bangkit meraih handuk di tanganku.


Kuhela napas kasar, dan berlalu ke dapur membuatkan wedang jahe seperti biasa untuknya. Aku kembali ke kamar menyiapkan baju untuk suamiku. Bang Jamal masuk ke kamar memakai handuk, ia semakin menggigil dengan bibirnya yang pucat.


"Cepat pakai bajunya, Bang! Tapi tunggu, biar Adek olesin minyak angin kesekujur tubuh Abang, ya, biar ga masuk angin." Aku mencari minyak angin di dalam laci nakas. Kurasakan perutku dilingkar erat oleh tangan Bang Jamal dari belakang.


"Sayang, pasti mengawatirkan Abang seharian, ya? Istri Abang kenapa tidak berubah?" Pertanyaannya seperti menyentuh hati kecilku.


"Berubah gimana, Bang?" Aku balik badan.


Tangan Bang Jamal menyelipkan anak rambutku di belakang telinga. Dia mengusap-usap wajahku dengan tatapan yang sendu.


"Adek jangan terlalu mencemaskan Abang. Kan tau sendiri jika Abang kerja. Ini semua untuk kalian berdua. Adek cukup berdoa supaya anak kita sukses, jadi anak soleha."


"Yang penting itu kita terus bersama, Bang. Kita akan sama-sama melihat Hani menjadi anak yang sukses."


Bang Jamal mengangguk. Aku pun mulai mengoles minyak angin di badannya. Setelah itu suamiku memakai baju yang sudah kusiapkan.


Kami keluar bersama dari kamar. Bang Jamal kembali melihat Hani, dia membopong anaknya ke kamar. Aku menunggunya di meja makan. Nasi dan beserta lauknya telah kusiapkan ke piring. Bang Jamal pun akhirnya keluar dan duduk memakan nasinya dengan lahap.


"Kenapa lauknya sedikit hambar, ya, Dek," keluhnya dengan mulut penuh.


"Masa sih, Bang."


"Iya, nih. Cobain deh," Bang Jamal menyodorkan sesuap nasi ke mulutku.


Aku menerima suapan darinya. Tidak ada yang terasa kurang dari masakanku, entah itu hanya candaannya saja. Tapi raut wajah tak menunjukkan kalau dia ingin mencandaiku.


"Tapi tetap enak," ucapnya.


"Bang, benarkah di jembatan yang Abang kerjakan itu ambruk dan ada korban yang jatuh, bahkan jasad mereka belum ditemukan? Oh, ya, kenapa subuh sekali Abang pergi dan baru pulang tengah malam begini? Adek berpikir Abang salat ke masjid, tapi sudah berangkat kerja. Bukankah seharusnya pekerjaan dihentikan karena jembatan itu ambruk? Mandor Abang kerja juga datang dan bilang jika Abang ..." segala pertanyaan yang membebani pikiranku terkeluarkan. Tapi tangan Bang Jamal menghentikanku, dia menggamit tanganku. Dingin, masih sama seperti aku menyentuhnya tadi.


"Dek, apa Adek mencintai Abang?" tanyanya serius.


"Kenapa Abang tanya itu? Tentu saja Adek cinta, Bang. Abang kenapa jadi aneh banget begini? Abang gak akan tau gimana perasaan Adek kalau Abang tiada. Lebih baik kita mati bersama." Ndaku yang awalnya pelan menjadi sedikit kunaikkan.


"Hussstt ... gak boleh bilang begitu. Ingat anak kita Hani. Adek harus kuat demi dia."


"Tapi kekuatan Adek itu Abang. Makanya kalau udah bikin sayang itu, ajarin juga bikin benci. Gimana mau lepas dari Abang, kalau tiap hari Adek gak punya keluhan tentang Abang sedikit pun. Udahlah, intinya, Adek bahagia hidup sama Abang, meski kita hidup pas-pasan. Yang penting gak kurang kasih sayang."


Bang Jamal tersenyum renyah hingga tampak barisan giginya yang rapi sempurna.


"Terima kasih, Sayang."


"Oh, ya, jawab pertanyaan Adek tadi. Jangan berdalih lagi."


"Jangan menanggapi hal tidak ingin Adek dengarkan. Abang mulai sekarang berangkat kerja subuh, pulangnya tengah malam. Kalau masak, cukup untuk kalian berdua aja, ya. Kasian kan kalau mubazir, Abang makan di tempat kerja."


"Tapi mandor itu ..."


"Jangan terlalu dipikirin."


"Soal teman-teman Abang yang jadi korban ambruk jembatan itu gimana? Masa iya kalian terus bekerja sementara ada yang tengah berduka," protesku.


"Mereka akan kembali pulang juga kok. Memang udah prosedur--nya begitu, Dek. Jembatan itu harus selesai bulan depan."


"Jadi, kasian Hani dong, ga ketemu Abang."


"Gak apa-apa, yang penting bilang ke dia kalau Abang sayang banget sama dia."


Aku menghela napas panjang. Kami lanjut untuk makan. Setelah selesai, kami kembali keperaduan, mencoba melewati mimpi-mimpi indah yang akan menjadikan sebuah harapan. Berharap bangun esok, akan menjadi sebuah kenyataan.


***


Azan subuh berkumandang merdu, membangunkan tiap jiwa-jiwa yang beristirahat kelelahan, karena sibuk seharian memikirkan duniawi.


Aku membuka mata perlahan, baru aku sadar jika di sampingku telah berganti bantal guling.


Bang Jamal pasti sudah berangkat. Aku bangkit menuju jendela kamar. Kusingkap sedikit tirai, lalu keluar.


Sontak aku kaget melihat Hani tertidur di lantai sambil meringkuk. Apa dia mengigau? Padahal semalam bang Jamal membawanya ke kamar.


"Han ... Hani," panggilku, seraya mengusap pipinya lembut.


Hani menggeliat, matanya menyipit menatapku.


"Bangun, Nak. Kok tidur di sini?"


Hani bangkit dan menguap, menutupi mulutnya. Kesadarannya belum penuh, ia mengedarkan pandangan ke sekeliling.


"Ayah udah pulang, Bu?" tanyanya.


"Udah. Tapi balik kerja lagi. Kan yang bawa Hani ke kamar, Ayah. Kamu sih tidurnya pules banget sampai Ayah pulang ga tau."


"Hani tidurnya di sini aja kok, Bu. Mana mungkin Hani pindah ke kamar."


"Ya iyalah, orang kamu ngigau mana tau udah dipindahin atau gak--nya. Udah mandi, gih! Terus salat. Ibu juga mau siapin sarapan."


Hani manut, dia masuk ke kamar mengambil handuk dan pergi ke kamar mandi.


Aku juga menyiapkan sarapan untuknya. Kumasakkan nasi goreng kesukaan Hani dan bang Jamal. Sayangnya suamiku tidak bisa menikmati karena harus berangkat kerja lebih awal.


Hani pun telah bersiap memakai seragam sekolah. Anakku berjalan gontai sambil menjinjing tasnya ke meja makan.


"Loh, kenapa? Anak gadis gak boleh cemberut pagi-pagi, pamali!"


"Hani kangen Ayah, Bu. Masa Ayah gak ketemu Hani dulu sebelum berangkat sekolah. Dulu sebelum kerja di proyek jembatan itu, Ayah sering nganter Hani ke sekolah."


"Sabar. Kan nanti setelah proyek Ayah selesai, Hani diantar lagi seperti biasa."


Hani menghela napas. Dia memakai sepatu sebelum memakan sarapannya.


"Yaudah, nanti Ibu yang anter, ya." Aku memberinya semangat.


Hani tidak menjawab. Mungkin rindunya terlalu membuncah. Pasalnya, dulu waktu bang Jamal kerja sebagai kuli bangunan di tempat lain, dia selalu mengantar anak kami sebelum pergi bekerja. Katanya, dia tidak ingin melewatkan momen bahagianya menjadi seorang Ayah. Apalagi dari anak perempuan. Dia adalah cinta pertama anak kami. Bagaimana mungkin Hani membiasakan diri tanpa Ayahnya.


"Semalam Ayah pesan, Hani harus jadi anak sukses, dan soleha. Ayah bekerja untuk kita. Ayah sayang banget sama Hani. Jadi untuk sementara waktu biar Ibu yang anterin dulu, ya."


"Bu, nanti malam kalau Ayah pulang dan Hani masih tidur, bangunin Hani, ya, Bu."


"Iya. Yaudah, habisin sarapannya. Ibu mau mandi sebentar."


Aku ke kamar mandi membersihkan diri. Sebelum itu kurendam terlebih dahulu cucian kotor supaya nanti setelah pulang dari mengantar Hani aku tinggal menyucinya saja.


Kuputar kran air dan menampungnya memakai ember. Pakaian kotor yang menumpuk dan tergantung di dinding kupilih agar tidak bercampur dengan pakaian bekas semen milik bang Jamal.


Heran, kenapa pakaian kerja bang Jamal tidak ada? Bukannya semalam dia pulang dalam keadaan basah? Kemarin pakaian yang sama juga ia pakai. Mana mungkin dia memakai itu lagi.


"Bu ... cepat! Nanti Hani telat kesekolahnya," teriak Hani di balik pintu.


"Iya." Aku masih tak habis pikir. Tapi segera kuguyur seluruh badan dengan tergesa-gesa.


***


Sepanjang jalan mengantar Hani ke sekolah, orang-orang yang kulewati melihatku dengan tatapan lain. Hani semakin mepet, dia bergelayut ditanganku.


"Kenapa, ya, Bu mereka melihat kita begitu?"


"Ibu juga ga tau. Ayok kita jalan!" Kami mengabaikan orang-orang yang memandangku berbeda.


Kami pun akhirnya sampai di depan gerbang sekolah. Hani mencium tanganku takzim sebelum masuk ke kelasnya.


Titittiiiitt ....


Darahku berdesir hebat sampai-sampai beristigfar mengelus dada karena mendengar suara klakson motor yang mengagetkan--ku.


"Kamu, Idah," seruku. Melihat Zubaidah mematikan mesin motor.


"Fat, kamu ga ke sungai kampung sebelah?"


"Memangnya mau ngapain?"


"Kok nanya aku. Ya kan suamimu ..." ucapnya terjeda.


"Suamiku baik-baik saja."


Beberapa orang terlihat berlari menuju arah kampung sebelah.


"Ada mayat yang sudah ditemukan ..." seru salah seorang warga.


"Yuk, naik!"


"Ta--tapi."


"Udah, ikut saja. Cepat!" ajak Zubaidah.


Aku terpaksa ikut, dan duduk di belakang. Zubaidah tancap gas meninggalkan sekolah. Kami melewati orang-orang yang berlarian menuju tepi sungai.


Sesampainya di sana, mulutku menganga melihat jembatan yang pembangunannya sudah 70 persen itu ambruk. Harusnya bulan depan diresmikan dan itu jadi penghubung antar desa dan kecamatan agar lebih dekat. Jalan biasa yang kami lalui selama ini berjarak 3 kilometer untuk mencapai desa seberang itu.


Zubaidah menarik tanganku untuk menerobos kerumunan orang. Mereka seolah memberiku jalan. Tatapan mereka seperti mengasihani--ku.


Di tepi sungai, terlihat beberapa orang memakai baju berwarna orange mengangkat kantung jenazah dari perahu karet. Warga semakin mendekat. Tapi kepala desa dan warga yang ikut membantu pencarian menghadang.


Isakkan tangis dari keluarga yang mengharapkan kepulangan orang terkasih, membuat orang yang menyaksikannya ikut menunduk sedih.


"Mbak, silakan liat dulu, barangkali dia bang Jamal." Entah dari arah mana datangnya mandor suamiku itu, bisa-bisanya dia berkata begitu.


Dia menarik tanganku untuk melihat lebih dekat ke kantung jenazah. Petugas dari tim SAR itu membukanya pelan.


Sosok wajah yang pucat pasi dengan luka di bagian wajahnya membuat tungkai kaki--ku lemas. Hampir saja aku jatuh kalau tidak ditahan oleh Zubaidah.


***

Siapakah mayat di dalam kantong jenazah itu?


https://read.kbm.id/book/detail/6723e74f-6773-8b0d-41a4-a5912c3c8e94?af=67d160fd-1acd-b8ac-1de6-5a97b181f625

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel