Awalan

Lanjutan Hanya Gadis Kecil


  Aku menggeleng kuat. "Enggak Om. Aku gak mau uang jajan. Aku ... aku gak mau Om sakiti lagi. Aku ... berda rah, Om." Aku terus memohon padanya. Berharap belas kasihan, agar dibebaskan dari rasa sakit yang dihujamkan selama ini.

"Berda rah? Apanya? Yuk sini Om liat dulu. Nanti Om obatin ya!" Laki-laki itu menarik lenganku.


-----


HANYA GADIS KECIL


Bab 1


Sakit.


Nyeri.


Hanya itu yang kurasakan. Hari ini dia melakukannya lagi. Entah sudah lima atau tujuh kali, aku tak menghitungnya dengan pasti. Hanya saja, akhir-akhir ini setiap pulang sekolah, ia menghadangku di sana, di samping gubuk tua itu.


Setelah melakukannya, ia tersenyum lalu menyodorkan selembar uang lima ribuan ke tanganku. Aku memang senang mendapatkan uang itu, karena sudah lama tak pernah lagi dikasih uang jajan sama Ibu. Ibu tak henti mengomel dan juga mengeluhkan uang belanja yang tidak rutin dikasih Bapak. Namun, rasa sakit yang kurasakan di bawah sana, terkadang menjadikanku kapok untuk menuruti keinginan laki-laki itu.


Sebelum menyuruhku pergi, dia memilin lenganku dengan sangat kencang. Matanya bulat menatapku dengan amarah, mengancam agar aku tidak mengadukan perbuatannya pada siapapun.


Aku bisa apa?


Tangis karena rasa perih menyayat, hanya bisa kutelan dalam-dalam.


***


Hari ini, dia melakukannya lagi. Percuma kalau aku melawan, karena jalan pulang sekolah di samping gubuk itu sangat sepi. Tidak ada sesiapa yang bisa menolong, meski aku berteriak sekuat tenaga. Rumah kecil kami berada jauh di pelosok kebun yang tidak terawat. Badanku yang kurus ceking takkan mampu melawan tubuhnya yang tinggi besar.


Hari ini rasa sakit yang kurasakan, lebih dari biasanya. Bahkan kedua kaki serasa tak sanggup ku langkahkan. Perihnya bak disayat-sayat. Namun, aku harus tetap kuat. Bekerja membersihkan rumah, dan mencuci pakaian dan piring adalah tugas yang tak bisa kuelakkan. Tak peduli, sesakit apapun yang ragaku tanggungkan. Ibu bisa marah jika ku hanya berdiam diri. Cubitan, tamparan, jambakan, bahkan hantaman sapu ijuk sudah biasa ku terima, jika sedikit saja lalai dari tanggung jawab.


Mengadukan pada Bapak? Percuma. Semenit pun, beliau tak memberiku waktu untuk berkeluh kesah. Hanya hardikan yang kudapat, jika bersikeras menumpahkan segala keluh. Hari-harinya disibukkan oleh hal yang tidak pernah ku mengerti. Jikalau ada waktu beliau di rumah, semua hanya dihabiskan untuk tidur di kamar, atau di sofa butut tepat di belakang jendela.


Piring kotor masih sebaskom penuh menunggu untuk segera kubersihkan. Sakit menyayat kurasakan lagi di sekitaran pinggang hingga pahaku, diiringi rasa ingin buang air kecil. Ku urungkan membereskan cucian, dan beranjak ke kamar kecil, dengan kedua kaki gemetar menahan rasa sakit.


Aku terpekik, karena yang keluar bukannya air seni, tapi tetes-tetes darah. Aku tahu, sebenarnya ini bukan baik-baik saja.


"Naya!"


Suara teriakan Ibu menyentakkanku dari lamunan dan rasa takut itu. Segera ku susut air mata yang entah sejak kapan membanjiri wajah.


Ibu muncul di depan pintu kamar kecil dengan berkacak pinggang. Matanya memerah menatap tajam.


"Ngapain kamu santai-santai di sini? Piring kotor itu sampai kapan kau pajang aja di sana? Hah!" Ibu mendorong kepalaku, hingga tubuhku terhuyung ke belakang.


"Aku ... aku sa ... kit, Bu." Gemetar ku menjawab, takut Ibu melayangkan tangan lagi.


"Sakit? Halaahh! Gak usah berpura-pura Naya. Kau pikir aku bakal kasian, lalu membebaskanmu dari tugas-tugas?" Ibu menarik tanganku agar berdiri sejajar dengannya.


Aku mulai menangis. "Tapi benar Bu, aku sakit, berdarah ... Om itu ...."


Tanpa menanggapi, Ibu menjambak kepangan rambutku yang menjuntai ke samping.


"Ibu gak mau mendengar alasan apa-apa lagi. Dengar?"


Ibu berlalu, meninggalkanku berdiri tergugu di sisi pintu. Berharap dikasihani, berharap pertolongan, tapi yang didapat malah rasa terabaikan. Aku harus bagaimana?


***


Kakiku gemetar mendekat ke arah gubuk. Tak ingin hal yang sama terulang lagi. Rasa sakit yang kurasakan belum mereda. Pun begitu dengan darah yang selalu ikut menetes tiap kali keinginan buang air kecil datang.


Kali ini aku harus bisa lepas dari cengkeraman laki-laki itu. Harus. Tekad sudah bulat, menyiapkan kaki untuk berlari saat belokan menuju gubuk sepi itu. Aku bersyukur, karena yang tampak awalnya cukup sepi. Laki-laki berbadan gempal itu tidak ada di sana.


Aku bersiap, lalu lari.


Tepat di samping sebatang pohon, di sisi kiri gubuk, langkahku spontan terhenti. Dia ada di sana, menghadangku dengan kedua tangan dibuka di depan dada. Wajahnya menyeringai.


"Mau kemana gadis kecil? Lari?" Dia tertawa kencang.


"Tolong lepaskan aku kali ini, Om. Aku ... aku ...." Gugup aku berkata padanya.


Dia tertawa lagi.


"Aku ... sakit, Om. Sakit sekali."


"Apa? Sakit? Haalaah, jangan bohong. Ayolah, sebentar aja. Nanti uang jajannya Om lebihin deh. Sepuluh ribu, atau dua puluh?"


Aku menggeleng kuat. "Enggak Om. Aku gak mau uang jajan. Aku ... aku gak mau Om sakiti lagi. Aku ... berda rah, Om." Aku terus memohon padanya. Berharap belas kasihan, agar dibebaskan dari rasa sakit yang dihujamkan selama ini.


"Berda rah? Apanya? Yuk sini Om liat dulu. Nanti Om obatin ya!" Laki-laki itu menarik lenganku.


"Enggak, Om! Lepas! Aku mohon, tolong lepaskan! Tolong!"


Dia terus menarik tangan yang sudah sekuat tenaga aku pertahankan. Namun, percuma. Kekuatan ragaku kalah jauh dsri badan besarnya.


Dan, lagi-lagi aku menjadi santapannya.


***


Air mata basah membanjiri wajah. Rasa sakit ini semakin nyata, terasa mengoyak seluruh raga. Perih dan menyayat. Bahkan kaki ini tak sanggup lagi kugerakkan.


Kulangkahkan kaki tanpa arah, menelusup ke dalam hamparan semak belukar. Aku sadar ini bukanlah jalan menuju rumah. Namun, untuk apa lagi aku pulang? Karena sebias sedih dan rasa sakit saja tak bisa kulampiaskan. Kemana pun pergi, aku akan tetap menjadi gadis kecil yang sepi, hanya sendiri.


Kepada siapa akan kuadukan segala gundah dan resah? Ibu tiada peduli, Bapak pun seperti tak menyayangi. Diri ini layaknya tenggelam dalam pusaran kesedihan yang mendalam. Rasa sakit bertubi-tubi menerpa badan.


Di tengah lautan kesedihan, aku mendengar suara gemericik air. Terdengar merdu dalam kelamnya nestapa yang menimpa badan. Tak ubah ibarat nyanyian syahdu di tengah raungan kesedihan yang berpanjangan. Kupercepat langkah mencari dimana asal suara itu. Semakin lama, suara itu semakin terdengar jelas, jelas, dan semakin jelas.


Entah dimana aku sekarang. Di depanku terhampar sungai dengan dinding-dinding tanah yang curam. Di bawah sana, mengalir deras air di antara bongkahan-bongkahan batu yang besar.


Di sinikah penawar dari segala rasa sakitku? Wajah almarhumah Nenek, satu-satunya orang yang menyayangiku dengan tulus, tampak jelas di bawah sana. Seolah memanggil, membujuk, agar aku ikut bersamanya, melepaskan segala rasa sakit dan gundah tak berkesudahan.


Aku lelah. Wajah beringas laki-laki itu, gebukan Ibu dan hardikan Bapak yang menggema, adalah makanan wajib yang harus kutelan setiap hari. Aku lelah. Hidup ini terasa sangat menyakitkan. Apalah dayaku yang hanya gadis kecil sepuluh tahun, yang bertubuh kurus ceking layaknya kurang gizi.


Seharusnya di usia ini, aku menikmati yang namanya masa kecil dengan limpahan kasih sayang. Namun, apa yang aku dapatkan? Hanya kekerasan. Tidak hanya kekerasan verbal, fisik, tapi juga seksual.


Untuk apalagi aku hidup? Tidak ada satu alasan pun, yang membuatku semangat untuk bertahan dalam terpaan badai kehidupan ini.


Perlahan kakiku melangkah maju, menuju tepian sungai yang basah, bekas sisa hujan tadi pagi. Tuhan, ambil saja nyawaku! Semakin lama, tubuhku semakin mendekat di tepi sungai. Lambaian tangan Nenek semakin jelas terbayang di ruang mata. Tuhan, aku hanya anak sepuluh tahun. Ini sungguh berat untuk kupikul. Aku ingin bebas, bermain di taman syurgaMu, mereguk sebanyak-banyaknya kebahagiaan yang tak pernah kurasakan di dunia ini.


Dan, sekejap kupejamkan mata, tubuh ini sudah melayang di udara. Aku masih sempat tersenyum, bahagia lepas dari jerat kesedihan ini. Selamat tinggal, Dunia. Aku kembali pada Yang Maha Menyayangi.


Rasa sakit kembali menyerang. Lalu, gelap sempurna.


---


Bersambung 


Sudah tamat di KBM App


Judul : Hanya Gadis Kecil (TAMAT) 

Penulis : Sylvia Basri


Baca selengkapnya di aplikasi KBM App. Klik link di bawah:

https://read.kbm.id/book/detail/9e6cc20b-8e06-f12c-ec25-003d78ae1df5?af=ca825cf3-c6f1-cfc1-236e-e0c086c481d1

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel