Awalan

NAFKAH LIMA RIBU Bab 5


NAFKAH LIMA RIBU 5
 
[Yud, anak ibu yang paling ganteng. Adik kedua kamu ingin menikah. Kamu masih punya tabungan kan untuk membantu ibu melamar calon istri adik kamu. Nggak banyak cuma tiga juta saja. Soalnya uang simpanan ibu mepet juga.]

"Hah? Astaga!"

Wahyudi merasakan kepalanya semakin berat dan napasnya yang mendadak tercekat. Dia segera duduk di kursi teras dan membaca ulang pesan dari ibunya.


"Aduh, ibu ini gimana sih? Udah jatuh, tertimpa beton ini namanya. Untung saja aku kuat dan nggak kena stroke," ujar Wahyudi. Dia segera meraih ponsel nya dan menelepon ibunya.

"Halo, assalamu'alaikum, Bu."

"Waalaikumsalam, halo anak ganteng! Gimana kabar kamu? Sudah baca pesan dari Ibu?"

"Sudah, Bu. Tapi...."

"Nah, kamu bisa kan nyumbang tiga juta saja. Kalau acara nikahnya masih akan dibicarakan waktu lamaran. Tapi sepertinya tiga bulan lagi kata adikmu. Soalnya adik kamu mau nabung dulu. Dan kamu nanti nyumbang lima juta ya saat adik kamu nikahan? Adikmu mau beli mobil setelah ibu membelikannya rumah yang lebih murah dari kamu. Dia pasti butuh sumbangan dana yang besar."

Wahyudi menelan ludah.

"Bu, sebenarnya ada yang ingin aku katakan."

"Oh ya? Ada apa? Katakan saja?"
Wahyudi menelan ludah dengan susah payah.

"Ibu, sepertinya aku tidak dapat membantu lamaran dan pernikahan Wawan."

Terdengar hening sejenak.

"Astaga, kok bisa sih? Kamu ini benar-benar kacang yang lupa pada kulitnya? Kamu nggak ingat kalau ibu sudah membelikan kamu rumah? Kamu dan Wawan itu masing-masing mendapatkan jatah tiga ratus juta. Kamu meminta semua jatah kamu untuk membeli rumah yang memang mahal di daerah kota sebelah.
Sementara adik kamu cukup dengan uang dia ratus ribu untuk beli rumah yang sudah bagus di daerah ini. Yang seratus juta, dia ingin beli mobil. Kalian itu seharusnya selalu membantu orang tua kalau orang tua dalam kesulitan. Apa artinya uang tiga juta dan lima juta untuk kamu yang telah mendapatkan uang tiga ratus juta dari ibu?" tanya Ambar, ibu Wahyudi dengan berang.

"Bu, Wahyudi tahu kalau ibu baik sekali dengan ku. Dan aku juga setiap bulan sudah mengirimkan sebagian besar gajiku pada ibu," ujar Wahyudi dengan kelu.
"Oh, jadi kamu mulai itung-itungan

dengan ibu yang telah mengandung,

melahirkan, menyusui, dan mengasuh

kamu dari kecil sampai gede? Udah

gede, juga diberi rumah, eh kamu nya

nggak mau gantian bantu keluarga?"

keluh Ambar, membuat Wahyudi

merasa tidak enak.

"Bukan itu! Kalau kondisi normal, Wahyudi pasti mau bantu, Bu. Tapi sekarang aku juga sedang dalam masalah. Tolong mengerti sedikit, Bu!" ujar Wahyudi dengan nada meninggi.
"Astaga, kamu sekarang berani membantah dan membentak ibu?! Ini semua pasti karena Adelia! Mana istri kamu! Kamu itu kan belum punya anak, masa sih enggak ada simpanan sama sekali? Ini pasti karena Adelia boros kan? Menghambur-hamburkan gaji suami saja!" ujar Ambar ketus.

"Nah, masalahnya itu dari Adelia, Bu! Dia... "

"Tuh kan, Adelia memang pembuat masalah! Masa gaji lima juta habis begitu saja! Dan kamu pasti juga menambah uang saku Adelia dengan lemburan kan?"
"Bu, sebenarnya... Gaji Wahyudi kan lima juta. Tiga juta kuberikan pada ibu. Dan dua juta kupegang sendiri untuk ngopi. Adelia hanya dapat seratus lima puluh ribu perbulan. Setelah menikah, Wahyudi jarang ambil lemburan juga."

"Nah itu bener. Kita harus hemat dan nggak boleh boros. Sederhana dalam makan dan minum sehingga bisa nabung. Lihat ibu dan almarhum bapak kamu bisa nabung dan beli sawah untuk bekal kalian.
Kami dulu sering makan ubi dan jagung rebus hasil bertanam sendiri demi bisa nabung. Kalau Adelia pinter, dia kan nganggur dan nggak kerja di pabrik lagi, dia nanem-nanem tanaman di dalam pot. Agar kalian bisa nabung dan berhemat mumpung belum punya anak. Kamu gimana sih mendidik istri?" tanya Ibu nya dengan nada memojokkan.

"Bu, itu... Sebenarnya, Adelia sudah menjaminkan rumah ini pada renten*r." Wahyudi pun dengan terbata-bata menceritakan semua kejadian buruk yang menimpanya.
"Astaga, kamu kok guobl*k gitu sih, Yud? Kenapa kamu sembrono menyimpan serti fikat rumah kamu, hah? Padahal ibu dan almarhum bapak menabung dengan susah payah demi membelikan kamu dan adik kamu rumah! Ibu tidak mau tahu! Cari Adelia sampai dapat, minta pertanggungjawaban nya!"

"Ini juga sudah berusaha mencari, Bu! Tapi apa boleh buat, aku masih belum menemukannya," ujar Wahyudi dengan nada putus asa.
"Ck, kalau begitu, ibu harus turun tangan dan meminta bapaknya Adelia untuk membayar semua hutang anaknya itu! Tunggu! Ibu siap - siap kesana! Ah, kamu itu benar-benar mengecewakan! Nggak bisa mendidik istri!" ujar ibunya kesal.

"Hah? Ibu mau apa kemari?" tanya Wahyudi kaget.

"Ibu harus ketemu dengan bapaknya Adelia! Minta uang sama dua!"

"Jangan, Bu! Wahyudi tidak mau kalau masalah ini jadi ramai!" ujar Wahyudi panik.

"Kamu tidak usah bingung. Biar ibu yang mengurus semuanya."
"Bu, kalau Wahyudi minjam uang pada ibu sekitar tiga puluh juta untuk membayar hutang Adelia dulu? Wahyudi mau bayar utang Adelia dulu selama empat bulan agar rumah ini bisa dipertahankan," ujar Wahyudi memelas.

"Hah? Apa Ibu tidak salah dengar? Apa kamu gi la? Kamu mau meres ibu yang sudah tua ini? Ibu ini ibarat parutan kelapa kering yang sudah tidak bisa diperas lagi. Ora sudi! Kalau kamu butuh uang untuk membayar utang Adelia, lebih baik kamu minta pada bapaknya saja! Nanti ibu yang memintakan nya!"

"Bu, tapi Bu! Bapaknya Adelia itu... "
Klik!

"Astaga! Kepalaku... Kepalaku migrain dan vertigo!" keluh Wahyudi. Dia memegangi kepalanya dan bersandar di kursi teras rumahnya.

Wahyudi menghela napas panjang dan berusaha untuk menyedot oksigen sebanyak mungkin ke dalam paru-paru nya.

"Sepertinya aku harus masuk ke dalam rumah dulu, paling tidak aku harus mengistirahatkan pikiran," Ujar Wahyudi.
Dia menatap ke arah Sebenarnya pintu. pintu depan ini mempunyai kunci duplikat, tapi ada di dalam kamarnya. Wahyudi tidak pernah membawa kunci itu karena dia jarang lembur, sehingga jarang pulang malam. Kunci utama jelas dibawa Adelia, kunci duplikat ada di dalam kamarnya.

Sedangkan Pintu belakang dan pintu depan, tidak mempunyai kunci duplikat dan dikunci dari dalam rumah. Mau tidak mau, Wahyudi harus merusak gagang pintu depan agar bisa masuk ke dalam rumah.
**

Wahyudi yang sudah masuk kedalam rumah, tertidur di sofa panjang dan mengganjal pintu depan yang tidak terkunci dengan kursi kayu ruang makannya terkejut saat mendengar ponsel nya berdering dengan nyaring. Dia tidak menyadari hari yang sudah malam karena minum obat sakit kepala langsung dua dosis.

Wahyudi dengan mata setengah terpejam, meraih ponsel nya dan menerima panggilan telepon tanpa melihat nama di layar.
"Halo, Mas Yud! Ibu, Mas! Aku mengantarkan ibu ke rumah mertua kamu. Dan.. Dan mereka saling adu mulut sekarang! Cepat kesini, Mas! Bantu melerai, aku kewalahan! Kami jadi tontonan tetangga!"

Wahyudi seketika mendelik mendegar kata-kata sang adik.

"Aduh, Gusti! Cobaan apa lagi ini?"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel