Awalan

PURA PURA AMNESIA


 PURA PURA AMNESIA (3)


Setelah dipikir-pikir, aku harus menemui dokter itu saat di jam biasa. Atau mengikutinya. Karena jika daftar, dataku akan terekam. Jadi, harus benar-benar tidak ada yang tahu Sofia dan Ranti kembar. 


Aku mengikuti dr. Ricky yang akhirnya pulang. Di parkiran khusus dokter, dia menaiki mobil dan buru-buru aku menghadang. Dia membuka kaca.


“dok, bisa bicara?” tanyaku.


“Ada apa ya?” tanya lelaki paruh baya itu. 


“Soal pasien bernama Ranti, tapi saya gak bisa bicara di sini,” jawabku.


“Maaf, gak bisa.”


Kubuka masker dan dia terkejut melihatku, lalu kupasang lagi. 


“Kalian kembar?” tanya dokter itu keheranan. 


“Ini saya butuh bantuan Anda. Sungguh, saya bukan orang jahat. Tapi ini penting sekali. Tolonglah.” Aku memohon dan dia mengangguk, lantas mengizinkanku masuk ke dalam mobilnya. 


“Kalian kembar?” tanyanya lagi.


“Ini juga baru saya sadari setelah melihat video dia viral yang kabur dari rumah suaminya. Ngakunya kan K*RT, tapi disuruh kembali ke suaminya sama polisi. Sampai dia men@brakkan diri dan berniat bu nuh diri,” paparku dengan serius.


dr. Ricky diam saja dan mengangguk.


“Lalu, apa yang bisa kubantu?” tanyanya bingung.


“Aku akan menggantikan Ranti di ruang ICU dan pulang ke rumah suaminya untuk menyelediki kejahtan mereka.”


“Apa? Itu konyol, Neng,” balas dr. Ricky.


“Anda gak akan terlibat. Percayalah, andai ketahuan ... saya akan mengambil alih semua permainan ini dan membuat Anda gak bersalah. Anda terbitkan saja surat kalau dia sudah boleh di kamar rawat, nanti Ranti saya bawa ke Jakarta, pindah ke rumah sakit sana. Sedangkan datanya yang di sini, dibuat dia sudah membaik dan diganti sama saya.” Aku tahu ini gak mudah. Dokter takut dianggap melanggar kode etik. Dia menggelengkan kepalanya. 


“dok, Ranti butuh diselamatkan. Kalau dia kembali pada keluarga suaminya apa dia akan selamat? Kalau kita speak up ke publik apa akan ditangani?” Aku menatap serius. “Lihat! Viral saja tidak membuat para pelaku bergeming. Polisi tetap diam karena kurang bukti, hanya dugaan-dugaan netizen. Kita akan dibela netizen nantinya.”


“Dengar, Nak, kamu jangan bikin saya melakukan hal konyol.” Dia menatap serius dengan menghentikan mobil. “Silakan keluar.”


“Dua milyar?” tanyaku serius. “Aku akan memb@yar Anda dua milyar.”


“Ini bukan soal u4ng. Ini soal kode etik,” jawabnya serius.


“Kode etik diciptakan manusia dan Tuhan mengajarkan kita untuk menolong sesama. Sesekali melanggar kode etik tak masalah, asal jangan melanggar Tuhan bukan? Kita mau menyelamatkan nyawa manusia, bukan mencel4kai nyawa manusia dengan melanggar kode etik Anda itu.” Kutatap dia dengan serius. 


Benar kan beda? Melanggar kode etik dengan tujuan mencel4kai manusia dan menyelamatkan manusia itu berbeda. 


“Bagaimana caranya?” tanya dia lagi.


Kukatakan agar dia menerbitkan surat bahwa Ranti sudah bisa dibawa ke kamar rawat, lalu aku yang menggantikan dia dirawat di kamar itu. Sedangkan Ranti asli, akan dibawa dengan ambulance dan memakai dataku untuk masuk rumah sakit di Jakarta dan menjalani perawatan intensif di sana. Karena hanya itu cara menyelamatkannya, menjauhkan dari keluarganya.


Aku sendiri akan masuk sebagai Ranti dan mencari tahu apa yang terjadi di dalam rumah itu. Perlakuan mereka pada Ranti, pasti akan terulang. Jika benar ada KDRT, pasti akan dialami olehku juga. 


Sejauh ini, aku pernah ikut karate dari SMP, SMA dan kuliah. Jadi, aku yakin bisa menyelematkan diriku dan setidaknya bisa menemukan rekaman demi rekaman kejahatan mereka. 


“Anda bisa ngeles bahwa saat dipindahkan Ranti memang sudah membaik,” kataku pada dr. Ricky yang menganggukkan kepalanya.


Aku meminta Ridho yang membawa Ranti ke Jakarta dengan ambulance dan menyewa alat-alat medis. Pihak rumah sakit tidak ada yang tahu, karena dr. Ricky meminta bantuan dua orang perawat lelaki untuk misi kami ini. 


Akhirnya, Ranti dipindahkan saat Bapak tidak ada. Ranti dibawa ke Jakarta oleh Ridho dan dimasukkan ke rumah sakit lain. Prosedur? Masih banyak rumah sakit yang men4brak prosedur selagi ada u4ng, jadi tenang saja. 


Aku pun mulai membuat diriku seperti Ranti. Di depan dr. Ricky, aku memakai riasan yang terlihat seperti memar, serta luka yang dalam proses sembuh. Rambut dibuat berantakan, lalu memakai pakaian milik Ranti di rumah sakit dan berbaring di ran jang. 


Infus dipasang, aku meringis dan selang oksigen pun disematkan. Aku tetap di ICU tapi tanpa alat-alat darurat. Hanya infus dan oksigen. Semua dilakukan di malam hari, di jam satu malam. Dua orang perawat yang tahu pun aku b4yar, dan aku suruh tanda tangan di mana kalau mereka buka mulut, aku akan menvntut mereka.


Seperti orang sakit, aku tidur di ruangan ini ditemani perawat. Sampai akhirnya pagi pun datang. Bapak diizinkan masuk dan dia menatapku dengan wajah lelahnya.


“Kamu ini nyusahin terus, Ranti,” katanya sambil membuang napas kasar, “untung kamu sudah sembuh.”


Bapak, apakah kamu tahu aku bukan Ranti? Mungkin kamu gak bisa membedakan kami, tidak adakah insting pada kedua anakmu? Atau merasa kehilangan Ranti yang asli?


Aku hanya menatapnya, lalu dr. Ricky datang dan mengatakan aku sudah bisa dipindahkan ke kamar rawat. 


“Iya, suaminya baru akan ke sini karena dia kemarin di luar kota,” balas Bapak pada dokter.


S!al, aku jadi deg-degan sadar akan bertemu dengan Lingga. Lelaki yang sudah membuat kembaranku b4bak belur. Kita lihat, seperti apa orangnya. Benarkah seperti yang dikatakan orang-orang, lemah lembut dan baik hati?


Aku mulai dipindahkan dari ICU ke ruang rawat kelas satu. 


Masa menantu keluarga kaya, hanya diberikan kamar kelas satu, bukan VIP. 


Bapak tak banyak bicara, tapi wajahnya selalu murung. Itu yang kulihat selama beberapa menit dengannya. Ingin mem3luknya, tapi nanti ketahuan. Jadi, aku tahan diri dan memilh terus mengamati.


Tiba di ruang rawat, aku pura-pura tidur sambil menyimak obrolan Bapak di telepon.


“Ranti sudah siuman, semalam sih koma hampir beberapa jam. Dokter bilang ada benturan di kepalanya pas ketabrak,” kata Bapak di telepon, “Nak Lingga kapan ke sini? Oh, iya. Baru saja ini dipindahkan ke kamar rawat.”


Bapak terdengar menjauh, kubuka mata pelan-pelan, dia keluar kamar dan terdengar bicara dengan seseorang di pintu kamar. Kemudian pintu terbuka lagi, buru-buru aku memejamkan mata.


Langkah dua orang terdengar. 


“Kenapa kelas satu, Pak? Saya kan bilang kamar yang terbaik,” kata suara yang terdengar lembut dan santun. 


“Oh, saya pikir terbaik teh kelas satu,” balas Bapak.


“VVIP harusnya,” katanya semakin dekat ke arahku.


Kini, terasa jari tangan mengusap keningku dan meny3ntuh pipiku. Aduh, aku gugup sekali sebenarnya. Takut ketahuan. 


“Ranti ... kamu bangun, Sayang. Ini aku ... suamimu,” bisiknya tepat di telingaku, “bangunlah,” katanya dengan meng3cup pipiku.


Shit!


Bersambung 


Komen, love dan share ...


Judul: PURA PURA AMNESIA

Karya: Majarani


Baca di kbm app 👇👇


https://read.kbm.id/book/detail/841245b1-1d58-47ba-b272-a60c7e7836cc?af=5ac4436d-7a08-5fa2-aa73-ba5e3ab52ead

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel