TANGISAN ISTRIKU
ISTRI YANG BIASANYA PENURUT MENDADAK BERUBAH AKHIR-AKHIR INI (17b)
Selang beberapa menit, Della keluar dengan ekspresi lega. Aku menahannya sebentar untuk membicarakan masalah Mahya tadi.
Della menggidikkan bahu. "Terserah kamu, Mas. Itu, kan, rumahmu."
"Kalau kamu tidak setuju tidak apa-apa, Dell. Kita bisa cari alasan. Lihatlah, wajah cemberutmu itu. Aku tahu kamu tidak menyukainya."
Kening Della mengernyit. "Berdasar pengamatanku, Mahya itu tipe orang yang nekat. Aku tidak yakin kamu menolak untuk memberi izin menginap. Dan, ujung-ujungnya dia menginap di rumahmu," ucapnya setengah menyerah.
Seperti yang dikatakan Della. Aku tidak sanggup menghadapi Mahya yang setiap aku beralasan dia selalu menyangkal. Dan akhirnya, kita bertiga sampai di rumahku.
Della langsung masuk kamar dan istirahat. Sementara, aku memperlihatkan kamar yang akan ditempati Mahya.
"Di kamar ini nggak ada AC, Riz?" Mahya bertanya sembari melihat ke sekeliling kamar.
"Tidak ada. Aku hanya memasang di kamar tidur utama yang kutempati dengan Della."
"Kamu tahu aku nggak bisa tidur tanpa AC, kan?"
"Meskipun tidak ada AC, tapi ada kipas angin, Ya. Jadi, kalau kamu merasa gerah dan panas langsung nyalakan kipasnya."
"Tetep nggak bisa, Riz," keluhnya masih tidak terima.
"Ya, ini resikonya kalau menginap di rumahku. Kenapa tadi tidak menginap di hotel saja?"
"Gimana kalau tukar kamar aja? Aku tidur di kamarmu dan kamu sama Della tidur di kamar ini?"
Aku menatap Mahya beberapa saat. "Kamu bercanda?"
"Aku serius, Riz."
Della datang menghampiriku juga Mahya yang sedang bernegosiasi soal kamar. "Ada apa, Mas" tanyanya.
Aku tersenyum tipis. "Oh, bukan apa-apa, Dell."
"Aku kan nggak bisa tidur kalau nggak di kamar ber-AC. Sedangkan di sini adanya cuma kipas angin. Nah, aku tanya Fariz, gimana kalau tukar kamar tidur? Aku tidur di sana, kalian berdua tidur di sini," jelas Mahya tanpa sungkan sedikit pun.
"Kebetulan Della juga tidak bisa tidur tanpa AC. Iya, kan, Dell?"
Kuusap lengan Della sebagai isyarat agar dia mengiyakan ucapanku. Untungnya dia paham dan langsung mengangguk.
"Gimana kalau kamu yang tidur di sini, Riz? Aku ikut Della tidur di kamar ber-AC."
Ternyata masalah AC tidak selesai sampai di sini. Entah apa yang ada di pikiran Mahya. Bisa-bisanya dia bernegosiasi hal semacam ini. Tentu saja aku tidak menyetujuinya.
"Sepertinya tetap tidak bisa, Ya." Kuusap-usap perut buncit Della yang membuatnya sedikit tersentak. "Bayi dalam perut ini tidak mau jauh-jauh dari papanya. Bisa-bisa tidak tidur semalaman kalau jauh dari papanya. Ini memang terdengar lucu. Kuharap kamu mengerti, Ya."
"Masa kamu tega nyuruh aku tidur di kamar ini?" protesnya dengar wajah cemberut.
"Mau gimana lagi? Ini resiko menginap di sini. Kalau kamu tidak mau, cari saja tempat penginapan lain."
"Kenapa nggak bilang dari tadi kalau nggak ada AC-nya?"
Tak kupedulikan lagi Mahya. Aku dan Della bergegas masuk kamar dan mengunci pintu rapat.
***
Menjelang pagi, terdengar suara penjual bubur ayam yang biasa lewat di komplek perumahan. Aku segera keluar dan membeli tiga porsi untukku, Della juga Mahya.
Aku memanggil mereka berdua setelah meletakkan tiga porsi bubur ayam di atas meja makan. Mahya datang lebih dulu, disusul Della. Kita bertiga sarapan dengan menu itu.
Selesai makan, aku belum merasa kenyang. Jadi, aku keluar untuk membeli bubur ayam lagi. Selang beberapa saat aku masuk rumah, terdengar suara benda pecah. Seperti gelas, mangkuk atau piring berbahan kaca.
Gegas bubur ayam kuletakkan di sembarang tempat. Lantas berlari menuju asal suara benda pecah itu. Seperti dugaanku, gelas kaca pecah. Serpihannya bercecer di antara tempat Della dan Mahya berdiri. Keduanya tampak menunduk memandangi serpihan beling di depan masing-masing.
"Della!" teriakku tatkala melihat Della berjongkok memunguti s3rpihan kaca.
Tangan Della berd4rah. Wajahnya tertunduk dalam seakan takut menatapku.
"Maaf, aku tidak sengaja menjatuhkannya," ucapnya seperti ketakutan.
"Udah kubilang biar aku aja. Tapi, Della menolak." Mahya menyela di antara pembicaraanku dengan Della.
"Kok kamu menyalahkan aku, Ya? Bukannya ini salah kamu juga karena dari tadi maksa?" Della menyangkal.
Benar-benar tidak tahu siapa yang harus kupercaya. Namun, karena melihat Della terluka dan wajahnya tampak ketakutan, jadi kasihan padanya. Buru-buru aku membantunya.
"Semua menyingkir! Biar aku yang membersihkan pecahannya nanti. Sini kamu, Dell. Biar kuobati lvkanya."
Della mendekat masih dengan wajah tertunduk. Kenapa dia begitu ketakutan? Apa dia takut kumarahi seperti waktu itu? Ah, kupikir dia trauma gara-gara itu.
"Mahya, segera siap-siap! Kuantar pulang setelah ini. Pusing kepalaku menghadapi kalian berdua!"
"Aku? Pulang? Kan, bukan aku yang salah, Riz. Kenapa kamu malah mengusirku?"
"Bedakan antara mengantar pulang dan mengusir!" bentakku semakin kesal.
Mahya tidak berani membalas setelah itu. Kutarik Della menuju wastafel untuk membasuh bekas lvka kemudian mengobatinya.
Tidak terbayangkan bagaimana jadinya kalau laki-laki mempunyai istri lebih dari satu. Dua, tiga atau empat misalnya. Apa kepala tidak pusing?
Bersambung.
CERITA INI SUDAH TAMAT DI KBM APP.
Ketik di kolom pencarian KBM App sebagai berikut:
Akun: Kiswaa
Judul: TANGISAN ISTRIKU
Klik link di bawah untuk baca bab selanjutnya :
https://read.kbm.id/book/detail/c84a9652-43c5-41ee-bdbe-1afbfca0731c?af=1c394b6f-7e07-02e5-a10f-b84a7ffaaecd